...semoga semua pihak yang terlibat dengan tulisan ini medampat pahala dari Allah, penulis maupun yg membaca Nya...Insya Allah...amin....

freej

Sunday, 6 December 2015

Surat Al-Zalzalah (QS : 99)




Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikansekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatansekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah: 1-8)

Apa itu Zalzalah? Surat Az-Zalzalah, yang bermakna guncangan, banyak sekali mengandung pelajaran yang bisa kita petik. Paling tidak, ada 5 point penting yang bisa kita petik dari surat Az-Zalzalah. 

Pertama, tentang kedudukan atau posisi surat Az-Zalzalah. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan salah satu hadits riwayat Tirmidzi, Rasulullah saw menyampaikan bahwa Surat Az-Zalzalah itu setara dengan setengah Al-Quran, surat Al-Ikhlas setara dengan 1/3 Al-Quran, dan surat Al-Kafirun setara dengan ¼ Al-Quran.
Dalam kesempatan lain, rasul juga pernah menanyakan kepada salah seorang sahabatnya yang belum menikah, dengan alasan tidak memiliki mahar, apakah dia hafal surat Az-Zalzalah? Ketika dijawab bahwa dia hafal, maka rasul menyuruh sahabat tersebut menikah, dengan mahar surat Az-Zalzalah. Ini menunjukkan bahwa surat Az-Zalzalah memiliki keutamaan yang sangat besar, sesuai hadits nabi tersebut di atas. Maka dapat kita pahami, kenapa Imam As-Syahid Hasan Al-Bana ketika menyusun Wadzifah kubra dalam Al-Ma’tsurat, salah satu wiridnya adalah surat Az-Zalzalah.

Pelajaran kedua dari surat Az-Zalzalah adalah makna guncangan yang Allah sebutkan dalam ayat 1 surat tersebut, yang terjemahnya:” Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat” menurut penafsiran Ibnu Katsir, guncangan ini adalah guncangan yang terjadi di hari kiamat nanti, dimana pada saat itu bumi akan diguncangkan dari porosnya/langsung dari pusat sumbunya. Kita bisa bayangkan pada saat gempa terjadi tahun 2004 lalu di Mentawai, NAD dengan kedalaman pusat gempa 10 km saja, efeknya bisa menimbulkan tsunami dengan ketinggian gelombang lebih dari 4 meter. Padahal kedalaman poros bumi masih sangat jauh dari jarak tersebut. Jadi meskipun guncangan yang dimaksud dalam surat tersebut adalah guncangan hari kiamat, tapi sebetulnya terjadinya banyak gempa, bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga buat kita, bahwa betapa dahsyatnya nanti kejadian yang akan dialami pada hari kiamat. Di samping itu, terjadinya banyak gempa. baik tektonik ataupun vulkanik, juga menjadi salah satu tanda dekatnya hari kiamat, seperti yang rasul sampaikan.

Selanjutnya pelajaran ketiga ada pada ayat yang berikutnya, dimana Allah menyampaikan “dan bumi telah mengeluarkan beban berat yang dikandungnya. Apa yang dikeluarkan oleh bumi? Yang dikeluarkan oleh bumi pada saat itu adalah jasad-jasad manusia yang sudah hancur, dan selama ini sudah terkubur di dalam bumi. Jasad-jasad tadi bermunculan seperti jamur yang tumbuh di musim hujan, dan keluar/muncul dalam keadaan yang berbeda-beda. Ada yang keluar dengan muka berseri-seri, ada yang keluar dengan muka yang gelap/hitam. Keadaan yang demikian terkait dengan tingkah laku seseorang pada saat masih di dunia. Selain jasad manusia, bumi juga akan mengeluarkan beban-beban lain, semacam emas perak, dan barang-barang tambang lain. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa saat bumi mengeluarkan emas perak, berkatalah seorang pembunuh,. Karena sebab inilah (emas perak, dulu saya menjadi pembunuh. Kemudian berkatalah orang yang memutuskan silaturahim, Oleh sebab inilah saya dulu memutuskan hubungan silaturahim. Berkata juga seorang pencuri. Oleh sebab ini pula saya dulu mencuri. Demikian hadits yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Dalam hadits tersebut terlihat betapa manusia pada akhirnya menyadari, dan akan menyesal, bahwa kecintaannya terhadap dunia telah menjadikan dirinya lupa dan buta, sehingga melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan Allah, yang membuat kecelakaan bagi dirinya di Yaumil akhir nanti. Cinta kepada dunia (penyakit wahn) inilah, penyakit yang banyak menjangkiti umat Islam, seperti pernah disinyalir oleh Rasulullah dalam salah satu hadits, bahwa suatu saat nanti umat Islam akan menjadi rebutan umat lain, seperti hidangan yang diperebutkan. Kemudian para sahabat bertanya. Ya Rasulullah, apakah karena jumlah kita pada waktu itu sedikit? rasul menjawab: bahwa jumlah kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian terkena penyakit wahn. Sahabat bertanya: apa itu penyakit wahn ya Rasulullah, beliau menjawab: cinta dunia dan takut mati. Sehingga kondisi kalian seperti buih di atas lautan, yang mudah untuk terombang-ambing.
Jika kita cermati kondisi yang pernah menimpa bangsa Indonesia, makna bahwa bumi mengeluarkan beban berat yang dikandungnya, bisa kita hubungkan dengan banyaknya material-material berat yang telah dimuntahkan oleh gunung merapi. Total muntahan lava dan lahar selama erupsi merapi beberapa waktu lalu, tercatat sampai 140 juta kubik, lebih tinggi dari jumlah yang telah dikeluarkan merapi pada erupsi tahun 2006 (sumber republika). Keluaran semua material tersebut, dibarengi dengan keluarnya awan panas, telah banyak memakan korban jiwa. Di sinilah kesadaran kita sampai pada sebuah titik bahwa kekuasaan Allah swt sungguh sangat dahsyat, wallahu ala kulli syain qadir.
Kelanjutan ayat dari surat Az-Zalzalah yang harus kita renungkan dan menjadi pelajaran keempat adalah: “Pada hari itu, bumi menceritakan beritanya.“ Apa yang diceritakan oleh bumi? Bumi akan menceritakan seluruh perbuatan manusia yang menapaki/menempatinya. Bumi akan menjadi saksi. Ya, saksi yang akan hadir dalam pengadilan Allah terhadap manusia di yaumil akhir nanti. Tidak ada sejengkal bumi pun yang pernah kita lalui, yang pernah kita injak, yang pernah kita diami, yang pernah kita lewati, kecuali dia akan menjadi saksi atas apa yang pernah kita lakukan di atasnya. Semakin banyak bumi yang kita injak, semakin banyak yang akan menjadi saksi, apakah kebaikan atau kejahatan yang kita lakukan. Jika selama hidup di dunia kita banyak melakukan kebaikan, maka semakin banyak tempat yang kita lalui, berarti akan semakin banyak saksi yang meringankan kita pada saat pengadilan Allah nanti. Maka renungkanlah dan rasakanlah, setiap jengkal tanah dimana kita menapak di atasnya, sesungguhnya bumi/tanah tersebut tidak ubahnya seperti CCTV yang akan selalu merekam setiap jejak langkah kita.

Yang empat, apa yang bisa kita ambil pelajaran dari surat Az-Zalzalah adalah firman-NYA yang menegaskan bahwa: “Dan barangsiapa berbuat kebajikan meskipun seberat biji dzarah, maka dia akan mendapat balasannya, dan barangsiapa berbuat kejahatan, meskipun seberat biji dzarah, maka dia juga akan mendapatkan balasannya. Di mata Allah, semua yang dilakukan oleh hambanya, tidak ada yang terluput, tidak ada yang disepelekan, meskipun kelihatannya kecil. Berbeda dengan manusia, kadang manusia suka meremehkan hal-hal yang kecil, mengabaikan dan tidak memberikan penghargaan. Tapi bagi Allah tidak demikian, Sekecil apapun perbuatan yang dilakukan oleh manusia, di hadapan Allah akan ada nilai dan konsekuensinya Jadi jangan pernah menganggap remeh melakukan perbuatan dosa, meskipun kecil, karena tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus. Sebaliknya juga jangan meremehkan melakukan kebaikan meskipun sesuatu yang kelihatannya kecil. Misalnya tersenyum dan bermuka manis kepada teman. Sesuai dengan yang disampaikan Rasulullah saw bahwa “Tabbasumuka fi wajhi akhika laka shadaqah” senyummu untuk saudaramu itu bernilai sedekah. Contoh lain misalnya mengusap dan memeluk anak kita (khususnya yang masih kecil), jika kita lakukan dengan penuh kasih sayang, hal ini akan menjadi bernilai ibadah, dan berdampak positif bagi anak kita. Anak kita akan merasakan kedamaian dan ketenteraman, merasakan kasih sayang yang tulus dari orang tuanya. Pada gilirannya anak yang terbiasa mendapatkan kasih sayang, maka dia akan tumbuh menjadi pribadi yang penuh kasih sayang.

Terkait dengan ayat tersebut, Rasulullah saw pernah berpesan kepada Aisyah ra, “ Wahai Aisyah, selamatkan dirimu dari api neraka, meskipun hanya dengan sebutir kurma”. Mungkin kita bertanya, mungkinkah hanya dengan sebutir kurma kita bisa menyelamatkan diri dari api neraka? jawabannya sangat mungkin. Bukankah jika memang hanya sebutir kurma yang kita miliki, dan barangkali juga itulah satu-satunya yang ada pada kita, maka dengan pengorbanan kita mampu memberikannya pada orang lain yang membutuhkan, berarti kita telah mencoba untuk menjadi seorang yang berlaku itsar. Dan itsar adalah puncak /nilai tertinggi dari ukhuwah. Dan tidaklah seorang saling bersaudara karena Allah, yang diwujudkan dengan memberi, maka Allah menempatkannya di surga, bahkan dengan wajah yang bercahaya, sampai membuat iri para rasul karena cahaya wajahnya yang terang. Maka lakukan selalu kebaikan, meskipun dari sesuatu yang kecil. Sebarkan semangat pada saudaramu, meski ujian banyak menerpa jalan dakwah. Wallahu a’lam

Selamat mengundi Indonesia...Pilkada serentak...semoga Dumaiku memiliki pepmimpin yang "baik"...

Wednesday, 18 November 2015

Surat Al- Bayyinah (Q S 98)



بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
1. Orang-orang yang menyangkal [kebenaran] dari golongan Ahli Kitab, dan para penyembah berhala, tidak bisa terlepas [dari orang-orang beriman] sampai bukti yang terang datang kepada mereka:
Bila ada petunjuk historis mengenai berbagai peristiwa khusus dalam Alquran, kita selalu bisa menerimanya sebagai berlaku juga bagi kita di zaman modern ini. Di antara orang-orang yang menganggap dirinya sebagai 'ahli kitab', tapi mengingkari dan menutupi kebenaran, akan terus dalam kesangsian dan penyangkalan sampai bukti yang terang datang kepada mereka. Namun ketika bukti itu benar-benar datang pun, mereka akan tetap dalam pengingkarannya. Orang-orang yang ingin ingkar akan terus berbuat begitu, demikian juga mereka yang ingin menyangsikan.
رَسُولٌ مِّنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًا مُّطَهَّرَةً
2. Seorang rasul Allah yang membacakan halaman-halaman yang suci,
Pengertiannya di sini adalah bahwa sebagian dari kitab-kitab tercatat yang telah diturunkan sebelum Nabi Muhammad sudah tidak utuh lagi, sudah berubah atau, kalau tidak, bentuknya menjadi tidak lengkap lagi. Ini adalah salah satu dari makna muthahharah (suci). Nabi Muhammad menegaskan semua nabi sebelum beliau; ia tidak membawa hal-hal baru selain syariat yang disempumakan. Alquran berulang kali menceritakan kejadian yang menimpa para nabi sebelumnya seperti Musa, Isa, dan lain-lainnya. Beberapa kejadian yang sama senantiasa terulang kembali, dengan beberapa perbedaan hanya pada lingkungan dan warna masyarakatnya. Pada pokoknya, sifat rendah dan tinggi manusia adalah sama sepanjang masa.
فِيهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ
3. Di dalamnya terdapat peraturan-peraturan yang jelas dan benar.
وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءتْهُمُالْبَيِّنَةُ
4. Dan orang-orang yang diberi Kitab tidak terpecah-belah hingga setelah datang kepada mereka bukti yang terang.
Al-bayyinah (dari bana, jelas, terang) adalah bukti dari Nabi yang terakhir, yakni kitabnya. Tafarraqa, dari faraqa, berarti 'menjadi terpisah, terpencar-pencar, terbelah dan dibeda-bedakan'. Dalam hal ini berkenaan dengan kaum yang terpecah ketika menerima pesan Nabi Muhammad. Ketika datang bukti kepada mereka, yang mempertegas apa yang ada di tangan mereka dan menyucikannya dari interpretasi yang salah, sebagian menerimanya dan sebagian menolaknya.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
5. Dan mereka tidak disuruh [melakukan] apa pun selain menghamba kepada Allah, ikhlas mematuhi-Nya, jujur, tulus, dan mendirikan salat, [menyucikan diri dengan] membayar zakat, dan itulah agama yang benar.
Perintah Allah, perintah Realitas, tak lain hanyalah ikhlas dalam menyembah Allah, Sang Pencipta. Hunafa’ adalah orang yang mendirikan salat secara lengkap, menegakkan din, dan melaksanakan penyucian serta berderma. Perintah sang Pencipta hanyalah menyembah dan beribadat kepada-Nya.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِجَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
6. Sesungguhnya orang-orang yang menutup (kafir) dari golongan Ahli Kitab dan penyembah berhala, akan berada dalam api neraka, menetap di sana; mereka adalah makhluk yang paling buruk.
Jika kita mengingkari satu-satunya pesan yang berulangkali disampaikan yang memberitahu kita bagaimana agar selamat, bagaimana berperilaku dan bagaimana mencapai potensi kita yang paling maksimal dalam eksistensi ini melalui salat dan zakat (untuk membersihkan diri), maka kita akan mengalami kemgian dan melakukan perbuatan syirk (menyekutukan Allah). Orang-orang yang mengingkari pesan dan kemurnian turunnya, yang muncul dalam bentuk nyata, yakni kitab-kitab wahyu, maka mereka sudah berada dalam suasana neraka, dalam suasana jahanam yang bergolak. Ini adalah lubang tak berujung yang di dalamnya tidak ada stabilitas maupun kedamaian, tak ada kehidupan maupun kematian. Sebaliknya, yang ada adalah pergolakan dan kekacauan yang tiada henti. Manusia senantiasa mencari kestabilan, karena memang itulah sifatnya. Salat ritual harus dilaksanakan di atas dasar yang kokoh karena dalam salat-salat tersebut kita mencari pengetahuan tentang Allah, Yang Kekal dan Tak Berakhir, Yang tidak stabil bukanlah kebenaran, karena kebenaran hanya sekadar informasi.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُوْلَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
7. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan kebaikan, merekalah makhluk yang paling baik.
جَزَاؤُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُخَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْخَشِيَ رَبَّهُ
8. Ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka adalah taman keabadian, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, tinggal di sana selama-lamanya; Allah ridha pada mereka, dan mereka ridha pada-Nya. Itu adalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Di lain pihak, mereka yang percaya pada Realitas (amanu, dari amana, mempercayai, menerima), yang ada kedamaian dan keamanan dalam dirinya, yang percaya bahwa mereka akan mengetahui, yang telah percaya bahwa yang terkandung dalam kitab-kitab wahyu adalah kebenaran mutlak yang memancar dari Wujud Mutlak, dan yang mewujudkan kepercayaan itu ke dalam berbagai perbuatan yang benar, mereka adalah sebaik-baiknya ciptaan. Keadaan batin yang percaya pada rahmat Allah yang meliputi segala hal harus diwujudkan ke dalam tindakan, kalau tidak maka akan tetap menjadi hal yang abstrak.
Jaza'uhum berarti 'ganjaran mereka', dan ganjaran dari sang Pemberi ini muncul dalam bentuk taman-taman yang diairi oleh mata air-mata air dan sungai-sungai yang airnya mengalir dari bawah. Ini menunjukkan bahwa mereka disuburkan oleh energi-energi yang tidak nampak. Sungai-sungai atau energi-energi ini berupa sifat manusia yang luhur, seperti suka memaafkan, dermawan dan bermarta-bat. Kaum beriman selamanya dalam keadaan itu, karena, begitu seseorang mengalami keadaan tersebut, atau sekalipun melihatnya sekilas saja, ia akan semakin membelok ke arah tersebut.
Alquran berulang kali mengingatkan kita bahwa dasar dari Jalan ini adalah kesabaran. Kesabaran adalah akal sekat. Ini adalah keadaan seseorang yang percaya bahwa akalnya akan lebih tajam. Ia akan sampai pada pengetahuan dengan cara yang akan membuat kehidupan, perilaku dan lingkungannya lebih baik. Ini adalah iman positif yang diwujudkan ke dalam tindakan. Orang-orang yang mencapai kepercayaan sempurna lalu mempraktikkannya di dunia ini dengan segala kendala dan batasannya, mereka dijanjikan taman-taman abadi. Mereka akan berada dalam keadaan yang menurut anggapan orang lain sudah memiliki unsur-unsur surga. Namun, mereka tidak akan dikucilkan dari yang lain, tidak juga pura-pura dilindungi. Tidak ada perlindungan dan juga pemisahan.
'Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya'. Mereka dalam keadaan ridha (puas), keadaan yang muncul dari pengetahuan dan bukan optimisme pura-pura atau sekadar berpikir positif. Kepuasan yang datang melalui pengetahuan merupakan aspek kesempurnaan. Apa pun yang terjadi selalu sempuma, dan jika kita tidak memberikan penilaian tentang berbagai peristiwa maka kita akan melihat kesempurnaan di dalamnya. Namun, jika kita sudah berprasangka terhadap suatu keadaan dan sudah sepenuhnya berseberangan, maka kita akan melihatnya hanya dari perspektif dangkal kita.
Umpamanya, ambil saja contoh komedi. Penonton menyaksikan apa yang terjadi pada si pelawak dan tertawa, tapi si pelawak tidak tahu bahwa ember yang ditelungkupkannya penuh dengan cat. Dari sudut pandang si pelawak ini adalah sebuah tragedi. Tapi jika kita mengambil sudut pandang syahid (yang menyaksikan), maka kita akhirnya akan mencapai keadaan yang positif yakni rasa puas terhadap pengetahuan. Bila kita melihat sebuah gelas yang separuh kosong, tentu saja kita tidak memperhatikan separuh penuh dan berkata, 'Bagus sekali! Separuhnya adalah penuh!' Manusia sudah sifatnya tidak menyukai hal yang setengah-setengah; kita menginginkan semuanya penuh. Bagaimana pun, separuh geias adalah kosong karena separuh isinya telah diminum. Oleh karena itu, kita harus menerima keadaan dalam kesempurnaannya. Bagaimana pun keadaan itu menampakkan diri pada kita, kita harus menerimanya dengan ilmu pengetahuan, dengan hati dan kepala. Bila pemerimaan itu terjadi, 'Allah puas pada mereka dan mereka puas pada-Nya.' Realitas puas pada kita, dan kita puas pada Realitas; dengan demikian, segala sesuatu dalam eksistensi akan puas pada kita karena kita benar-benar seirama.
'Yakni bagi orang yang takut kepada Tuhannya'; pintu menuju ridha, pintu menuju kepuasan adalah khasyyah, yang berarti 'perasaan takut yang positif. Perasaan takut tersebut adalah rasa takut melanggar, takut mengemban tugas yang secara lahiriah kita tidak dapat melangkah dengan benar, apalagi secara batiniah, suatu tugas yang ketika mengembannya kita tidak mempunyai tujuan yang jelas. Sebelum kita melangkah lagi, hendaknya kita bertanya mengapa. Ketika kita mengatakan Bismtllah, maka kita melaksanakan perbuatan kita dengan Nama Allah, dan dengan cara demikian kita memohon rahmat-Nya. Mereka akan berhasil atau gagal dan apa pun hasilnya kita mengatakan, al-hamdu lillah, 'Puji bagi Allah'. Kita beramal karena Allah, dan jika kita tidak berhasil maka itu karena Allah tidak menghendakinya, meskipun kita sudah berusaha sebaik-baiknya.

Khasyyah adalah tahap pertama sebelum takwa. Orang yang memiliki rasa takut akan memperhitungkan akibat yang mungkin dari mengikuti jalan tertentu yang bersifat merusak dan karena itu ia tidak mau menempuhnya. Khasyyah berarti waspada jangan sampai melanggar, takut pelanggaran itu akan menimpa kita. Itulah sebabnya mengapa kita mengatakan astaghfirullah, dan dengan ungkapan ini kita memohon ghufran Allah, tidak hanya berarti 'ampunan'. Tidak bisa begitu saja. Hanya ada satu Realitas tunggal, maka siapa dapat memaafkan siapa? Ghufran berarti terlindung baik dari segala perbuatan yang diakibatkan oleh kita tanpa niat yang benar atau pengetahuan yang benar, dan dari apa yang pemah kita lakukan di waktu lampau yang tidak dilakukan atas nama Allah, yang efeknya akan kembali pada kita. Inilah pengampunan yang dimaksud itu. Pengampunan bukanlah dialog antara dua orang, karena hal itu adalah syirk, yakni dualitas. Yang kita kehendaki adalah realisasi penuh dari ketauhidan kita; kita menghendaki kemanunggalan, tanpa pemisahan.

Monday, 19 October 2015

Surat Al- Qadar (QS - 97)



“Sesungguhnya telah Kami turunkan dia pada malam Kemuliaan.” (ayat 1). Artinya ialah bahwa Kami yaitu Allah telah menurunkan Al-Qur’an yang mula-mula sekali kepada Nabi-Nya pada malam Kemuliaan. Lailatul-Qadr,  kita artikan malam kemuliaan, karena setengah dari arti qadr itu ialah kemuliaan. Dan boleh juga diartikan Lailatul-Qadr malam Penentuan, karena pada waktu itulah mulai ditentukan khittah atau langkah yang akan ditempuh Rasul-Nya di dalam memberi petunjuk bagi ummat manusia. Kedua arti ini boleh dipakai. Kalau dipakai arti Kemuliaan, maka mulai pada malam itulah Kemuliaan tertinggi dianugerahkan kepada Nabi SAW, karena itulah permulaan Malaikat Jibril menyatakan diri di hadapan beliau di dalam gua Hira’ sebagai yang telah kita tafsirkan pada Surat Al-‘Alaq yang telah lalu. Dan pada malam itu pulalah perikemanusiaan diberi Kemuliaan, dikeluarkan dari zhulumaat, kegelapan, kepada nur, cahaya petunjuk Allah yang gilang-gemilang. Dan jika diartikan penentuan, berartilah di malam itu dimulai menentukan garis pemisah di antara kufur dengan iman, jahiliyah dengan Islam, syirik dengan tauhid, tidak berkacau-balau lagi. Dan dengan kedua kesimpulan ini sudahlah nampak bahwa malam itu adalah malam yang istimewa dari segala malam. Malam mulai terang-benderang wahyu datang ke dunia kembali setelah terputus beberapa masa dengan habisnya tugas Nabi yang terdahulu. Dan Nabi yang kemudian ini, Muhammad SAW adalah penutup dari segala Nabi dan segala Rasul (Khatimul Anbiya’ wal mursalin).

“Dan sudahkah engkau tahu, apakah dia malam Kemuliaan itu?” (ayat 2). Ayat yang kedua ini tersusun sebagai suatu pertanyaan Allah kepada Nabi-Nya untuk memperkokoh perhatian kepada nilai tertinggi malam itu. Dan setelah pertanyaan timbul dalam hati Nabi SAW apakah makna yang terkandung dan rahasia yang tersembunyi dalam malam itu, maka Tuhan pun menukas wahyu-Nya: 

“Malam Kemuliaan itu lebih utama daripada 1000 bulan.” (ayat 3).
Dikatakan dalam ayat ketiga ini bahwa keutamaan malam Kemuliaan atau Malam Lailatul-Qadr itu sama dengan 1000 bulan, lebih daripada 80 tahun, selanjut usia seorang manusia. Lalu diterangkan pula sebabnya dalam ayat selanjutnya: 

“Turun Malaikat dan Roh pada malam itu, dengan izin Tuhan mereka, membawa pokok-pokok dari tiap-tiap perintah.” (ayat 4).
Itulah sebab yang nyata dari kemuliaan malam itu. Laksana satu perutusan, atau satu delegasi, malaikat-malaikat turun ke muka bumi ini bersama-sama dengan malaikat yang di sini disebut ROH, yaitu kepala dari sekalian malaikat. Itulah Malaikat Jibril yang kadang-kadang disebut juga Ruhul-Amin dan kadang-kadang disebut juga Rahul-Quds, yang menghantarkan wahyu kepada Nabi yang telah terpilih buat menerimanya, (Mushthafa), Muhammad SAW dia dalam gua Hira’.

Nilai malam itu menjadi tinggi sekali, lebih utama dari 1000 bulan, setinggi-tinggi usia biasa yang dapat dicapai oleh manusia. Pada kali pertama dan utama itu Jibril memperlihatkan dirinya kepada Muhammad menurut keadaannya yang asli, sehingga Nabi sendiri pernah mengatakan bahwa hanya dua kali dia dapat melihat Jibril itu dalam keadaannya yang sebenarnya, yaitu pada malam Lailatul-Qadr, atau malam Nuzulul-Qur’an itu di Gua Hira’, dan kedua di Sidratul Muntaha ketika beliau mi’raj. Pada kali yang lain beliau melihat Jibril hanyalah dalam penjelmaan sebagai manusia, sebagai pernah dia menyerupakan dirinya dengan sahabat Nabi yang bernama Dahiyyah Al-Kalbi.
Di dalam Surat 44, Ad-Dukhkhan ayat 3, malam itu disebut “lailatinmubaarakatin”, malam yang diberkati Tuhan.
Amat mulialah malam itu, sebab malaikat-malaikat dan Roh dapat menyatakan dirinya dan Muhammad SAW mulai berhubungan dengan Alam Malakut, dan akan terus-meneruslah hal itu selama 23 tahun; 10 tahun di Makkah dan 13 tahun di Madinah, yaitu setelah lengkap wahyu itu diturunkan Tuhan. Di ujung ayat disebutkan bahwa kedatangan malaikat-malaikat dan Roh itu dengan izin Tuhan ialah karena akan menyampaikan pokok-pokok dari tiap-tiap perintah. Setiap perintah akan disampaikan kepada Rasul SAW, setiap itu pulalah malaikat dan Roh itu akan datang, sehingga lancarlah perhubungan di antara alam syahadah dengan Alam Ghaib.
“Sejahteralah dia sehingga terbit fajar.” (ayat 5). Dalam ayat ini bertambah jelas bahwa malam itu adalah malam SALAAM, malam sejahtera, malam damai dalam jiwa Rasul Allah. Sebab pada malam itulah beliau diberi pengertian mengapa sejak beberapa waktu sebelum itu dia mengalami beberapa pengalaman yang ganjil. Dia merasakan mimpi yang benar, dia mendengar suara di dekat telinganya sebagai gemuruh bunyi lonceng. Mulai pada malam itu terobat hati manusia utama itu, Muhammad SAW, yang sudah sekian lama merasa diri terpencil dalam kaumnya karena perasaannya yang murni sudah sejak kecilnya tidak menyetujui menyembah berhala dan tidak pernah beliau memuja patung-patung dari batu dan kayu itu sejak kecilnya. Dan sudah sejak mudanya hati kecilnya tidak menyetujui adat-adat buruk bangsanya. Pada malam itulah terjawab segala pertanyaan dalam hati, terbuka segala rahasia yang musykil selama ini. Itulah malam damai, malam salam, sejak terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar hari esoknya. Di waktu itu, sebab pada malam itulah “dipisahkan segala urusan yang penuh hikmah.” (Surat 44 Ad-Dukhkhan ayat 4). “Yaitu urusan yang benar dari sisi Kami; Sesungguhnya Kami adalah mengutus Rasul.” (ayat 5). “Sebagai rahmat dari Tuhanmu; Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Mendengar, lagi Mengetahui.” (ayat 6).

***
Dalam keterangan 3 ayat Lailatul-Qadr, ditambah 3 ayat pembuka dari Surat Ad-Dukhkhan teranglah bahwa Malam Lailatul-Qadr itu adalah malam mula turunya Al-Qur’an.
Bilakah masa Lailatul-Qadr itu? Al-Qur’an telah menjelaskannya lagi. Di dalam Surat 2, Al-Baqarah ayat 185 jelas bahwa “Bulan Ramadhan adalah bulan yang padanyalah diturunkan Al-Qur’an, menjadi petunjuk bagi manusia, dan keterangan-keterangan dari petunjuk itu dan pemisah, di antara yang hak dengan yang batil.
Tetapi menjadi perbincangan panjang lebar pula di antara ahli-ahli Hadis dan riwayat, bilakah, malam apakah yang tepat Lailatul-Qadr itu? Sehingga di dalam kitab Al-Fathul-Bari syarah Bukhari dari Ibnu Hajar Al-Usqallani yang terkenal itu, disalinkan beliau tidak kurang dari 45 qaul tentang malam terjadinya Lailatul-Qadr, masing-masing menurut pengalaman dengan catatan Ulama-ulama yang merawikannya, sejak dari malam 1 Ramadhan sampai 29 atau malam 30 Ramadhan ada saja tersebut Ulama yang merawikannya di dalam kita tersebut. Dan semuanya pun dinukilkan pula oleh Syaukani di dalam “Nailul-Authar”nya. Ada satu riwayat dalam Hadis Bukhari dirawikan dari Abu Said Al-Khudri bahwa tentang malam bulan Ramadhan itu diramaikan dan diisikan penuh dengan ibadat. Tetapi terdapat juga riwayat yang kuat bahwa Lailatul-Qadr itu ialah pada malam sepuluh akhir dari Ramadhan, artinya sejak malam 21. Karena sejak malam 21 itu Nabi SAW lebih memperkuat ibadatnya daripada malam-malam yang sebelumnya, sampai beliau bangunkan kaum keluarganya yang tertidur.
Abdullah bin Masud, dan Asy-Sya’bi dan Al-Hasan dan Qatadah berpendapat bahwa malam itu ialah malam 24 Ramadhan. Alasan mereka ialah karena ada Hadis dari Wastilah bahwa Al-Qur’an diturunkan pada 24 Ramadhan.
Suatu riwayat lagi dari As-Sayuthi, yang kemudian sekali dikuatkan oleh Syaikh Khudhari, Guru Besar pada Fuad I University (1922), jatuhnya ialah pada 17 Ramadhan. Orang yang berpegang pada 17 Ramadhan ini mengambil istimbath daripada ayat 41 dari Surat 8, Al-Anfal karena di sana tersebut:
“… dan apa yang Kami turunkan kepada Hamba Kami pada Pemisahan, hari bertemu dua golongan.”
“Hari bertemu dua golongan” ialah dalam peperangan Badar, pada 17 Ramadhan, sedang “Hari Pemisahan” ialah hari turunnya Al-Qur’an yang pertama, yang disebut juga malam yang diberi berkat sebagai tersebut di dalam Surat 44 Ad-Dukhkhan di atas tadi. Maka oleh karena berhadapan dua golongan di Perang Badar itu, golongan Islam dan golongan musyrikin terjadi 17 Ramadhan, mereka menguatkan bahwa Lailatul-Qadr, mulai turunnya Al-qur’an di gua Hira’, ialah 17 Ramadhan pula, meskipun jarak waktunya adalah 15 tahun.
Kita pun dapatlah memahamkan bahwa ini pun adalah hasil ijtihad, bukan suatu nash qath’i yang pasti dipegang teguh, sebab Nabi SAW menyuruh memperhebat ibadat setelah 10 yang akhir, bukan pada malam 17 Ramadhan.
Menurut keterangan Al-Hafiz Ibnu Hajar juga, di dalam Fathul-Bari, setengah Ulama berpendapat bahwa Malam Lailatul-Qadr yang sebenarnya hanyalah satu kali saja, yaitu ketika Al-Qur’an mulai pertama turun itu. Adapun Lailatul-Qadr yang kita peringati dan memperbanyak ibadat pada tiap malam hari Bulan Ramadhan itu, ialah untuk memperteguh ingatan kita kepada turunnya Al-Qur’an itu. Sudah terang malam itu pasti terjadi dalam bulan Ramadhan. Kita hidupkan malam itu, mengambil berkat dan sempena dan memperbanyak syukur kepada Allah karena bertetapan dengan malam itulah Al-Qur’an mulai diturunkan Allah. Berdiri mengerjakan sembahyang yang disebut qiyamul-lail atau tarawih, di seluruh malam Ramadhan ataupun menambah ramainya di malam 10 yang akhir, pastilah salah satu bertetapan dengan malam turunnya Al-Qur’an.
Bukanlah ini saja hari-hari besar yang disuruh peringati di dalam Agama Islam. Kita pun disuruh mempuasakan 10 Muharram, atau ‘Asyura karena mengenangkan beberapa kejadian pada Nabi-nabi yang terdahulu pada tanggal tersebut. Nabi SAW pun menegakkan beberapa Sunnah dalam manasik haji guna mengenangkan kejadian zaman lampau; seumpama Sa’i antara bukit Shafa dan Marwah mengenangkan betapa sulitnya Hajar mencari air untuk puteranya Ismail di lembah yang tidak bertumbuh-tumbuhan itu. Kita pun disuruh melontar Jumratul ‘Aqabah bersama kedua Jumrah lagi, memperingati perdayaan syaitan kepada Nabi Ibrahim karena akan menyembelih puteranya atas perintah Tuhan. Namun Ibrahim tetap teguh hatinya dan tidak kena oleh perdayaan itu. Maka jika kita tilik memperingati Lailatul-Qadr, atau Malam Kemuliaan, atau Malam Penentuan, dapatlah semuanya kita pertautkan jadi satu, yaitu membesarkan syi’ar Allah untuk menambah Takwa hati.
Ada juga yang mengatakan bahwa Malam Lailatul-Qadr itu dapat disaksikan dengan kejadian yang ganjil-ganjil. Misalnya air berhenti mengalir, pohon kayu runduk ke bumi dan sebagainya. Semuanya itu adalah hal-hal yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut ilmu agama yang sebenarnya.
Heran dan kagumlah saya dengan orang tua saya, Syaikh Yusuf Amrullah yang wafat pada 11 Ramadhan 1392 (19 Oktober 1972), dalam usia 86 tahun, seketika saya menziarahi beliau pada 10 April 1972. Beliau menyatakan pendapatnya yang sesuai dengan pendapat Ulama yang disalinkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar tadi, bahwa Lailatul-Qadr yang sebenarnya hanya sekali, yaitu ketika mula-mula Al-Qur’an diturunkan. Yang kita perkuat berbuat ibadat di dalam bulan puasa menunggu Lailatul-Qadr itu ialah memperingati dan memuliakan malam Al-Qur’an pertama turun itu. Kita kenangkan tiap tahun, agar kita bertambah teguh memegang segala yang dituntunkan Tuhan di dalam Al-Qur’an. Saya menjadi kagum, karena sudah lama mata beliau tidak dapat melihat kitab-kitab lagi.
Ada juga terdapat beberapa perkataan mengatakan bahwa Lailatin-Mubaarakatin, malam yang diberi berkat itu bukanlah Lailatul-Qadr, melainkan malam Nisfu Sya’ban. Tetapi dalam penyelidikan terhadap sumber agama yang sah, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis yang shahih, tidaklah bertemu sumbernya. Riwayat tentang Nisfu Sya’ban itu tidaklah dapat dipegang, sanad-sanad ambilannya kacau-balau, riwayatnya banyak yang dha’if, bahkan ada yang dusta. Oleh sebab itu tidaklah dapat dijadikan dasar untuk dijadikan akidah dan pegangan.

Friday, 25 September 2015

Surat AL- ALaq. (QS 96)



Surat Al-‘Alaq merupakan surat yang pertama kali diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw di Makkah.Sebagaian besar mushaf yang beredar saat ini menulis surat ini dengan nama Surat Al-‘Alaq. Dan lima ayat pertamanya menjadi wahyu pertama beliau yang disampaikan melalui Malaikat Jibril. Serta ayat-ayat lainnya yang tersisa diturunkan setelah beberapa waktu berlalu dari sejak wahyu pertama diberikan.
Tema yang diangkat surat ini cukup beragam. Dari sejak tema wahyu dan turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw, pembicaraan sifat dan tabiat manusia yang melampaui batas dalam urusan harta, serta kisah Abu Jahal yang menghalang-halangi Nabi Muhammad dan melarang beliau untuk shalat di Masjidil Haram. Surat ini diakhiri dengan ancaman Allah untuk orang-orang yang masih terus bersikukuh dalam kesesatan dan sikapnya yang melampaui batas serta perintah kepada nabi-Nya untuk meneruskan shalat dan sujudnya tanpa mempedulikan gertakan sang durjana.
Adapun urutannya yang berada setelah Surat At-Tin seolah memberi isyarat hubungan erat antara keduanya. Terutama dalam pembahasan tentang manusia. Jika dalam surat sebelumnya manusia disebut sebagai penciptaan terbaik yang dilakukan Allah dengan sempurna, maka dalam surat ini dibahas asal muasal penciptaan tersebut serta dimensi lain dari sisi kejiwaan manusia yang kadang melampaui batas serta kufur ni’mat; padahal Allah telah mengaruniakan kepadanya segala kesempurnaan.

Membaca Dengan Nama Allah
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. (QS. 96: 01)
Itulah bunyi ayat pertama surat ini. Memberikan perintah secara jelas kepada Nabi Muhammad saw. juga kepada umatnya untuk membaca. Membaca dengan nama Allah Sang Pencipta. Hal ini secara langsung memberikan isyarat bahwa umat Islam harus me-nuntut ilmu. Karena membaca merupakan pintu ilmu. Dengan membaca cakrawala berpikir seseorang semakin luas, dan dalam segala aktivitasnya termasuk membaca sudah selaiknya ia mengingat Sang Pencipta, ”yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah” (QS. 96: 02)

Segumpal darah yang secara anatomis belum bisa disebut sebagai manusia itu nantinya akan terlahir sebagai makhluk sempurna yang bisa membaca. Jika segumpal darah tersebut teronggok di tepi jalan, siapa yang akan menghargai dan memuliakannya?
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah”. (QS. 96: 03)

Allahlah yang memuliakannya. Mengangkat derajatnya. Di atas semua makhluk yang diciptakan-Nya. Dzat yang pemurah dan penuh kasih sayang tersebut yang, ”mengajar (manusia) dengan perantaran pena”. (QS. 96: 04)

Dengan belajar membaca dan kemudian menulis maka manusia akan meraih ilmu. Baik ilmu dunia maupun akhirat. Inilah yang oleh Ibnu Katsir kemudian disimpulkan dari sebuah atsar, ”Ikatlah ilmu dengan menulis”. Dengan menjadi manusia yang berilmu sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui menjadi jelas. Sesuatu yang sebelumnya menjadi rahasia berubah tersingkap.

Hanya Allah lah yang mampu menjadikan perubahan ke arah baik .

Manusia yang Tak Mau Bersyukur
Manusia yang seharusnya dengan memaksimalkan akalnya mampu membaca keagungan dan kebesaran Allah serta ciptaan-Nya ternyata tidak demikian. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas” (QS. 96: 06)

Tentu wajar jika Allah menganggapnya sebagai sebuah sikap yang keterlaluan dan melampaui batas. Tak sedikit pun para pendusta yang mengingkari nikmat tersebut merasa bahwa ketiadaannya yang berubah menjadi bentuk sempurna serta menjadi serba bisa adalah sebuah karunia yang agung. Dan bukan sesuatu yang sederhana.
Ia melampaui batas dalam segala perilakunya. Dalam bersikap, berkata-kata dan bergaul. Sombong dalam berpakaian, berlebih-lebihan dalam makanan dan kendaraan-nya. Ia cenderung meremehkan dan merendahkan sesamanya. Hal tersebut dipicu oleh kebodohan dan ketidaktahuannya. “Karena dia melihat dirinya serba cukup” (QS. 96: 07)
Sikap yang diambilnya barangkali bermula dari pola pikirnya yang salah. Ia merasa berkecukupan. Dengan menjadi seorang sarjana atau ilmuwan ternama, kemudian ia memiliki kehidupan yang mapan, rumahnya mewah. Sikap ”al-istighna” ini hanya bisa dimiliki oleh Allah, karena Dia memang tak memerlukan bantuan dan pertolongan siapapun. Dia yang Maha Kaya, Maha Sempurna dan selalu bisa berbuat apa saja sesuai kehendak-Nya. Dzat dengan sifat-sifat yang serba maha tersebut memanglah laik untuk merasa cukup dari apa dan siapapun. Jika manusia dengan segala keterbatasannya kemudian merasa cukup yang mengakibatkannya tinggi hati dan sombong maka hal tersebut membuatnya lupa. Lupa dari mana ia berasal dan ke mana hendak kembali. Namun, jika ia merasa cukup dan kemudian menjadi qana’ah maka itu sebuah sikap yang terpuji. Tapi dalam ayat ini dipakai al-istighna`, sehingga tidak menyimpan sedikitpun arti qana’ah yang baik tersebut.
Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu)” (QS. 96: 08)
Dalam ayat ini Allah menggunakan gaya bahasa beralih (uslûb al-iltifât) yaitu dari sebelumnya yang menggunakan kata ganti ketiga (dhamir gha`ib) berubah menjadi mukhatab yang menggunakan kata ganti kedua (kamu). Hal ini dimaksudkan memberikan kesan lebih dan menggetarkan hati setiap manusia yang tidak mau bersyukur akan kedahsyatan dankeseriusan ancaman Allah. Mereka semua akan kembali kepada Allah melalui pintu keniscayaan bernama kematian lalu dibangkitkan kembali di hari penentuan.
Dan kembali kepada Allah berarti asal dari kejadian manusia juga bermula dari titah Allah. Dikembalikan kepada-Nya berarti pertanggungjawaban dari semua yang dilakukan-nya ketika di dunia.
Lihatlah orang yang sombong tersebut dan bagaimana ia hidup dengan penuh keangkuhan. ”Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika mengerjakan shalat” (QS. 96: 09-10)
Dituturkan dalam sebuah riwayat bahwa Abu Jahal bermaksud hendak melarang dan menghalang-halangi Nabi Muhammad yang sedang shalat dengan berbagai jalan. Tapi usahanya selalu gagal. Bahkan dari sekian usahanya, ia menjumpai sesuatu yang menakut-kan berada di sisi Nabi Muhammad saw, sehingga ia lari terbirit-birit ketakutan karenanya.
Padahal jika ia tahu bahwa di antara karunia terbesar Allah adalah dengan mengutus Nabi Muhammad saw, sang manusia terbaik untuk seluruh manusia sebagai rahmat Allah di bumi-Nya. Seharusnya ia bersyukur dan menyukuri nikmat penciptaan, pengajaran dan berbagai nikmat Allah yang tiada pernah bisa terhitung.
Seharusnya ia mengajak kepada kebaikan, ”Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran. Atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?” (QS. 96: 11-12)
Alangkah baiknya jika seandainya ia mau berpikir sejenak dan kemudian menikti jalan kebenaran dengan ketakwaan dan mengajak sesamanya untuk mengikuti risalah Nabi Muhamamd saw. Ia gunakan pengaruh dan hartanya. Posisi dan status sosialnya. Tentu hal tersebut akan jauh lebih baik. Sayangnya, Abu Jahal tidaklah menggunakan kesempatan yang diberikan Allah untuk memperbaiki diri dengan berbagai kebaikan tersebut.
Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpa-ling?” (QS. 96: 13)
Inilah yang menjadi pilihannya. Ia menahbiskan diri menjadi musuh terdepan bagi dakwah Nabi Muhammad saw dan para pengikutnya.

Pilihan yang Selalu Berkonsekuensi
Jika mendustakan dan menghalang-halangi dakwah serta risalah yang dibawa Nabi Muhammad merupakan pilihan yang diambil oleh orang yang tidak memahami atau mengingkari dahsyatnya nikmat dan karunia diutusnya beliau, maka balasan yang buruk sangat pantas baginya. Karena ia telah melecehkan keberadaan dan kekuasaan Dzat Yang Maha Melihat.
Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatan-nya?” (QS. 96: 14)
Bisa jadi bukan karena ketidaktahuan, namun karena kesombongan dan keangkuhan hati yang menutupi kesadaran akan kemahabesaran Allah. Karenanya ia berbuat sesuka hati dan tidak pernah sekalipun ia mengerem nafsunya serta memperturutkan hawa dan syahwat kesesatannya. Ia tidak sadar bahwa yang ia musuhi dan ia hadapi bukanlah sekedar anak yatim saja. Tapi beliau adalah utusan Sang Maha Perkasa yang secara penuh memback up dakwahnya.
Tidakkah ia sadar akan ancaman Allah, ”Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.” (QS. 96: 15-16)
Menurut al-Mubarrid, salahs eorang pakar Bahasa Arab terkemuka, mengatakan, ”as-saf’u” artinya mengambil dengan paksa dan kekerasan. Apalagi yang diambil di sini adalah ubun-ubun. Maka bukan hanya fisik yang tersakiti. Ia akan benar-benar merasa terhinakan dan direndahkan. Karena ubun-ubun atau kepala adalah bagian termulia manusia.
Ada pendapat lain dari al-Farra` bahwa yang dimaksud di sini adalah menghitamkan wajah sebagai kiasan akan ditimpakan kepadanya adzab neraka yang pedih dan menghanguskan.
Yaitu ubun-ubun atau wajah yang hangus milik sang pendusta yang mengingkari dan memusuhi serta menyakiti Nabi Muhammad saw. Para pakar bahasa di sini membolehkan badal (ganti) dengan menggunakan isim nakirah padahal sebelumnya disebut dengan isim makrifat. Az-Zamakhsyari dan Abu Hayyan memberikan dispensasi tersebut karena isim nakirah setelah makrifat tersebut memberikan penjelasan sebagai sifat. Sehingga seolah ia berdiri sendiri memberikan penjelasan tambahan setelahnya (al-ifadah).
Jika hal di atas terjadi, maka kepada siapa lagi ia hendak meminta pertolongan. ”Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)” (QS. 96: 17) Sebagaimana ia mengumpulkan mereka di darunnadwah, mengadakan konspirasi untuk mencelakakan Nabi Muhamamd saw. Dalam ayat ini seolah kata ”nadiah” yang berarti majelis menyimpan sebuah mudhaf yaitu para pegiatnya.
Namun, panggilan dan permintaan tolong tersebut tak menghasilkan apapun kecuali keputusasaan dan penyesalan. Karena nasib mereka juga tak lebih baik darinya. Justru Allah yang ”akan memanggil Malaikat Zabaniyah” (QS. 96: 18) dan diperintahkan untuk mendatanginya, kemudian memberikan siksaan yang tiada tandingan dan bandingannya sebelum dan sesudahnya.
Maka, orang dengan karakter pembangkang dan pendusta tersebut tak perlu lagi didengar perkataannya apalagi sampai terpengaruh dengan syubhat dan ejekannya. Dan salah satu jalan untuk menguatkan diri dari pengaruh kejelekan tersebut yang paling mujarab adalah dengan mendekatkan diri kepada Allah dan bersujud kepada-Nya.
Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)” (QS. 96: 19)
Para ulama kemudian menyimpulkan bahwa kedekatan terbaik dan paling dekat seorang hamba dengan rabbnya terjadi pada saat ia bersujud. Apalagi ada sebuah hadits yang menyatakan, ”Keadaan yang paling dekat dari seorang hamba dengan Tuhannya adalah pada saat ia bersujud maka perbanyaklah berdoa”.
Selamat Idul Adha.....

Tuesday, 18 August 2015

Surat At-Tin (QS 95)



Selamat Ultah RI ke 70
...terimakasih kepada pengunjung yang mengucapkan HBD  (17 Agustus 1969) to me...



Surat At-Tin

Menurut para ulama, surat at-Tin diturunkan di Makkah setelah Surat al-Buru. Tema besar surat makkiyah ini ada dua. Pertama, pengangkatan Allah terhadap derajat manusia dengan memuliakannya. Kedua, iman dan amal serta balasannya. Itulah yang kelak akan membuktikan bahwa Allahlah sebijak-bijaknya hakim yang akan menuntaskan dan mengadili semua permasalahan manusia dengan seadil-adilnya[

(1) Allah SWT bersumpah dengan dua pohon yang terkenal ini, yaitu Tin dan Zaitun, karena buah dan pohonnya mempunyai banyak manfaat. Dan juga karena keduanya berada di tanah Syam, tempat kenabian Isa ibn Maryam AS

(2) Dan Allah SWT bersumpah dengan bukit Sinai (tempatnya di Mesir), tempat kenabian Musa AS

(3) Kemudian Allah bersumpah dengan Makkah Al-Mukarramah tempat kenabian Muhammad SAW yang telah dijadikannya sebagai tempat yang aman dan dijamin aman pula orang yang berada di dalamnya. Allah SWT telah bersumpah dengan tiga tempat suci itu yang telah Dia pilih dan Dia munculkan darinya sebaik-baik dan semulia-mulia kenabian

(4) Sedangkan obyek yang disumpahkan adalah firman-Nya berikut ini, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna, anggota badannya serasi dan tegak, tidak kehilangan sesuatu yang dibutuhkannya baik lahir maupun batin

(5) Meskipun terdapat nikmat-nikmat yang besar itu, yang seharusnya wajib disyukuri, tapi kebanyakan manusia tidak mensyukurinya. Mereka justru sibuk dengan permainan, mereka lebih memilih hal-hal yang tidak berguna dan akhlak yang rendah. Maka kelak di akhirat, Allah SWT akan mengembalikan mereka ke dasar neraka, tempat orang-orang bermaksiat yang membangkang kepada Rabb mereka

(6) Kecuali orang yang telah Allah berikan kepadanya anugerah iman, amal shalih dan akhlak yang mulia. Maka dengan itu mereka akan mendapat tempat yang tinggi di surga dan pahala yang tiada putus-putusnya. Yang ada adalah kelezatan yang melimpah, kesenangan yang tak henti-henti dan kenikmatan terus bertambah, untuk selama-lamanya. Buahnya tak ada henti-hentinya, demikian pula dengan naungannya

(7) Lalu Allah SWT menutup surat ini dengan melontarkan sebuah pertanyaan kepada hamba-Nya: Wahai manusia, apa gerangan yang menyebabkan kamu mendustakan hari pembalasan atas semua amal perbuatan? Sedangkan kamu telah melihat banyak tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang dapat memberimu keyakinan dan nikmat-nikmat Allah yang menuntut kamu untuk tidak ingkar terhadap setiap sesuatu yang Dia kabarkan kepadamu

(8) Bukankah Allah SWT adalah Hakim yang paling adil yang memberikan keputusan di antara hamba-hamba-Nya? Dia tidak menzhalimi mereka dan tidak berbuat curang. Apakah pantas Kemahabijaksanaan-Nya lalu berarti membiarkan mereka sia-sia begitu saja; tidak diperintahkan dan dilarang serta tidak diberi pahala dan tidak disiksa? Atau bahwa Dzat yang telah menciptakan manusia jenjang demi jenjang, melimpahkan bagi mereka nikmat dan kebaikan yang terhingga dan mendidik mereka dengan sebaik-bainya, harus mengembalikan mereka ke suatu tempat yang menjadi tempat menetap mereka, yang kepadanya mereka menuju?

(SUMBER: at-Tafsiir al-Yasiir karya Yusuf bin Muhammad al-Owaid, tafsir surat at-Tiin)

Tuesday, 9 June 2015

Surat Alam Nasyrah (QS- 94)



Tak terasa kita bertemu dengan bulan yang telah setahun meninggalkan kita, Ramadhan dan...
tanpa ku hitung waktu, Blog ini  telah pula sampai kepada ayat-ayat pendek, berarti sudah di penghujung. Mudah-mudahan banyak manfaat dari apa yang aku (yang tidak ada apap-apa nya ini) posting selama ini....amin.

Alam nasyrakh laka shadrak. Wa wadza’na anka wizrak. Alladzii anqazadzahrak. Wa rafa’naa laka dzikrak. Faa’inna ma’a al-‘usyri yusyra. Inna ma’a al-yusyri yusyra. Faa’idza faraghta faanshab. Wa iilaa rabbika faarghab

“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu? Yang memberatkan punggungmu. Dan Kami tinggikan bagimu sebutanmu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”.


Allah menyatakan dalam ayat ini bahwa Ia telah memberikan kelapangan dada setiap manusia. Menghilangkan beban yang kerap kali menghimpit derap langkah kehidupan manusia. Tetapi Allah juga berjanji bahwa setiap kali ada kesulitan yang menerpa kita, akan ada pula kemudahan menghampiri kita.

Setiap kali kita melangkahkan kaki keluar rumah, kita sadar bahwa di hadapan kita terbentang jalan yang tak datar. Pada saat tertentu kita melewati jalan menurun, tapi tak jarang pula kita harus mampu meniti jalan mendaki yang kadangkala terasa berat dan licin bisa membuat kita terpelesat.

Hidup adalah perjalanan; bertolak dari, sedang berada di, serta menuju ke suatu tempat, di dalamnya terdapat kesukaran dan kesulitan bagaikan pendakian yang berat.

Senada dengan pendakian yang berat itu Allah swt berfirman dalam Surat al-Baqarah 124, 155 – 157 yang mengingatkan kita kepada beberapa hal;  

pertama, munculnya rasa takut;  
kedua, kelaparan;  
ketiga, kekurangan harta;  
keempat, kehilangan anak; 
kelima, kekurangan buah-buahan; 
keenam, malapetaka/kesengsaraan/keguncangan; dan seterusnya.

Mengacu pada pemahaman para ahli tafsir (mufassirin) yang mengembahngkan makna harfiah ayat-ayat tersebut, dapatlah dikatakan bahwa kita tengah berada pada pendakian yang berat. Pendakian yang berat itu berupa ketimpangan ekonomi yang kian njomplang, harga-harga terus melambung, gejolak politik yang tak berkesudahan, bencana alam datang silih berganti, korupsi kian merajalela, dan sebagainya.

Kondisi yang memberatkan ini, terlepas apakah itu merupakan cobaan bagi orang-orang yang beriman atau akibat keasalahan manusia, adalam hambatan dan rintangan menuju baldatun thayyibatun wa rabbun Ghafur. Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerta raharja.

Oleh karena pendakian yang berat adalah bagian dari kehidupan setiap bangsa dan masyarakat, demikian pula jalan menurun, maka tak sepantasnya kita berkeluh kesah, mengumpat nasib, apalagi putus asa. Acuan yang baik dalam menghadapai pendakian yang berat adalah ajaran yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya untuk ikhlas dan tawakkal.

Dalam menghadapi pendakian yang berat, menurut Abd. Chair (2000:7),  keikhlasan bagaikan sumber energi yang memasok bahan bakar agar tak berhenti di tengah jalan atau surut ke belakang. Ikhlas juga seperti air bagi tumbuh-tumbuhan, apabila tanaman itu dirawat dan disiram dengan air akan berubah dan mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia.

Sementara itu, tawakkal adalah sifat yang membawa percaya diri. Sebab dengan tawakkal para Rasul mampu menghadapi rintangan dan tantangan serta mengatasi kesulitan.

Ayat di atas hendak menyakinkan kepada manusia bahwa dibalik semua kesulitan yang dihadapinya pasti ada kemudahan bah dengasn satu kesulitan Allah susulkan 2 kemudahan sesudahnya. Ada hikmah dibalik semua pristiwa yang dialami oleh manusia, baik itu pristiwa yang menggembirakan maupun kejadian yang menyengsarakan. Bersabarlah...

Tuesday, 2 June 2015

Surat Adh-Dhuha (QS 93)



Allah Tidak Pernah Meninggalkan Kita
Hanya untuk menegaskan bahwa Allah takkan pernah meninggalkan Nabi Muhammad saw, tidak juga marah terhadapnya, Allah memulai surat ini dengan bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam. “Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi” (QS. 93: 1-2)

Apa rahasia Allah memilih dua waktu tersebut? 

Waktu dhuha adalah permulaan siang. Waktu produktif kebanyakan manusia. Pada jam-jam inilah manusia memulai aktivitasnya. Ada yang mulai bekerja, ada yang berangkat ke sekolah belajar dan mengajarkan ilmu, ada yang mulai bertanam mencari jalan rezeki, ada yang membuka toko, membuka pintu-pintu rahmat Allah.
Dalam sejarahnya, di waktu dhuha inilah Musa as. menundukkan kesombongan Fir’aun dengan mengalah tukang-tukang sihirnya, 

“Berkata Musa: “Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik”. (QS. Thaha: 59)

Kemudian Allah bersumpah demi waktu malam yang menampakkan ketenangannya. Sunyi dengan kesenyapannya. Itulah tabiat malam. Dijadikan Allah sebagai waktu beristirahat manusia setelah seharian bekerja dan beraktivitas. Allah jadikan juga waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Allah berikan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang dianggap paling privasi. Karena waktu malam jauh lebih tenang dibanding waktu lainnya.
Di antara sekian hamba-Nya ada yang merasa bahwa karunia ketenangan malam ini harus disyukuri. Karenanya ia rela melawan kantuk, bangkit dan segera bersujud serta bersimpuh di hadapan Dzat yang serba Maha.

Inilah dua simbol yang pasti akan dialami oleh kebanyakan manusia. Setelah muda banyak beraktivitas, kelak ia akan tua dan harus mengurangi kegiatannya. Secara psikis juga –biasanya- ketenangan orang tua jauh di atas orang muda. Sebagai sunnah Allah, manusia setelah beraktivitas juga memerlukan waktu dan jeda untuk beristirahat. Dan makna-makna lain yang tersirat dari sumpah di atas, dan yang terpenting adalah bahwa semua waktu itu pasti berputar dan berganti. Sadar atau tidak waktu terus berputar. Allahlah yang menjadikannya demikian. Tidak heran jika kemudian Abu Hurairah ra mendapat pesan dari Rasul saw untuk tidak meninggalkan Shalat Dhuha  (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).

Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu” (QS. 93: 3). 

Ada beberapa versi sebab-sebab diturunkannya ayat ini. Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang paling terkenal adalah tentang tersendatnya turunnya wahyu pada waktu tertentu yang dialami oleh Rasulullah saw. Meski terkenal tapi –masih menurut Ibnu Hajar- sangat aneh bila dijadikan sebab turunnya ayat ini. Adapun riwayat yang shahih, berasal dari Bukhari dan Muslim. Suatu ketika Rasulullah berkeluh kesah dan mengadu kepada Allah. Selama dua malam beliau sakit dan tidak berdiri/keluar rumah. Datang seorang perempuan kepadanya dan mengatakan,”Wahai Muhammad, mana setanmu. Kurasa dia telah meninggalkanmu” maka diturunkanlah ayat ini . Hadis ini juga diriwayatkan oleh Tirmizi, Ahmad, an-Nasa`i, dan pakar hadis lainnya .

Kenikmatan dan Karunia Allah
 
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”.
(QS. 93: 4-5)

Sebab turun ayat ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani, al-Baihaqi dan al-Hakim dengan sanad hasan. Abdullah bin Abbas meriwayatkannya,”Rasulullah saw dibujuk dengan ditawarkan kepadanya sesuatu yang akan terbuka untuk umatnya, yaitu dunia”.
Jika pada ayat sebelumnya beliau dicemooh karena seolah beliau dibiarkan Allah maka ada usaha lain untuk meneror psikis beliau dengan tawaran yang menggiurkan. Yaitu godaan dunia. Namun, Rasulullah berdakwah tidaklah untuk memperkaya diri atau mencari pengaruh di tengah umatnya. Karena itu Allah meneguhkan pendirian beliau.
Sebagai gantinya Allah menawarkan sesuatu yang kelak akan membuat Rasul saw puas dan ridha. Karena kekekalan nikmat akhirat jauh lebih sempurna dengan segala kemegahan isi dunia yang banyak menggiurkan kebanyakan manusia.

Setidaknya Allah kemudian memerintahkan kepada kekasih-Nya ini untuk mengingat-ingat beberapa nikmat di antara nikmat-Nya yang tak terbilang yang diberikan kepada beliau:

Pertama, “Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu?” (QS. 93: 6). 

Nabi Muhammad terlahir sebagai anak yatim. Ia bahkan tak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya. Kemudian belum banyak beliau menikmati kebersamaan dengan ibunya setelah kembali dari Bani Sa’d tempat beliau disusui dan dibesarkan di sana, Aminah, sang ibu dipanggil Allah menyusul ayahnya. Kakek yang mengasuhnya setelah itu pun dipanggil Allah. Hingga Muhammad kecil diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Siapa yang mengatur peristiwa demi peristiwa itu. Siapa sesungguhnya yang merekayasa semuanya. Allah lah pada hakikatnya yang mendidik dan mengasuh Nabi Muhammad, meskipun sebabnya melalui ibu, kakek dan paman juga orang-orang lainnya. Siapa pula yang menumbuhkan kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad.

Kedua, “Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk” (QS. 93: 7). Yang dimaksud “dhall” di sini bukanlah kesesatan seperti tersesatnya orang-orang musyrik dan kafir. Namun, sebagian besar pakar tafsir mengatakan bahwa kebenaran tak bisa semata dicapai akal. Siapa yang memberi petunjuk jika bukan Allah. Secara spesifik sebagian ahli tafsir berpendapat petunjuk yang dimaksud di sini adalah kenabian dan syariat yang dibawa oleh beliau .
Ketiga, “Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan kecukupan” (QS. 93: 8). Allah membebaskan Nabi Muhammad saw dari kefakiran dengan memberi kecukupan. Dari sejak diberi kemampuan mencari nafkah melalui menggembala kambing, kemudian berdagang dan sukses di bidang tersebut, hingga kemudian menikah dengan seorang konglerawati yang shalihah; Khadijah binti Khuwailid ra . Kemudian Allah berikan rasa cukup dan qanaah dalam hati beliau .

Bersyukur Atas Karunia Allah
 
Tiga karunia yang diberikan Allah di atas sudah selayaknya disyukuri dengan baik. Oleh karena itu Allah melanjutkan pesan dan risalah langit-Nya. Allah juga menganjurkan Rasul-Nya dan diwanti-wanti dengan tiga hal berikut:
Pertama, “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang”. (QS. 93: 9)
Berbuat baik dan tidak menzhalimi anak yatim menjadi prioritas dalam menyukuri nikmat Allah. Terlebih bagi Rasulullah saw sangat terasa, bagaimana beliau menjadi anak yatim tapi dicintai dan dimuliakan oleh orang-orang sekelilingnya. Tak heran jika dalam berbagai kesempatan beliau sering mengatakan “Aku dan pengafil anak yatim seperti dua jari ini ”. Beliau menunjuk jari tengah dan jari telunjuk beliau. Az-Zajjaj memberikan penakwilan lain, yaitu ini sekaligus larangan untuk menzhalimi anak yatim dengan berbagai cara. Di antaranya memakan harta anak yatim yang diwarisi dari orang tuanya. Maka jangan berlaku zhalim terhadap hartanya , demikian pesan itu.

Kedua, “Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya”. (QS. 93: 10). Jika ada orang yang meminta maka sebaiknya kita memberinya sesuatu yang membuatnya berbahagia atau setidaknya menghilangkan sedikit bebannya. Jika seandainya kita belum mampu atau tidak memberinya apapun maka sebaiknya kata-kata yang baiklah yang kita berikan kepadanya. Allah berfirman dalam ayat lain, “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun” (QS. 2: 263)

Ketiga, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebut”. (QS. 93: 11). Azz-Zajaj, Imam al-Qurthuby menafsirkan ayat ini sesuai dengan konteks Rasulullah adalah bersyukur dengan menyampaikan risalah kenabian beliau [12]. Jika ayat ini diperuntukkan kepada kita maka konteksnya lebih luas. Yang dimaksud menyebut-nyebut, berbicara atau berbagai saat kita mendapat nikmat juga luas. Diawali dengan bertahmid dan bersyukur kepada Allah, kita disunnahkan untuk memberitahu orang-orang yang dekat dan kita cintai. Jika memungkinkan maka percikan nikmat tersebut juga bisa bermanfaat bagi orang lain. Jika nikmat itu adalah harta maka bersyukurlah dengan zakat dan shadaqah. Jika nikmat itu adalah ilmu maka bersyukurlah dengan mengamalkan dan mengajarkannya. Tapi, menyebut-nyebut nikmat secara berlebihan akan mengundang rasa iri dan dengki, maka sebaiknya hal tersebut dilakukan dengan wajar.

Selamat menyambut datangnya bulan penuh rahmat......

Sunday, 24 May 2015

Surat Al-Lail (QS. 92)


 Manusia Selalu Berusaha baik Siang maupun Malam
            Dengan dimulainya sumpah Allah yang menggunakan pasangan waktu siang dan malam yang kemudian diikuti dengan sumpah menggunakan penciptaan laki-laki dan perempuan, lalu menjelaskan perbedaan perbuatan dan usaha manusia, mengindikasikan seolah manusia baik laki-laki atau perempuan siang atau malam selalu berusaha dan bekerja untuk menyambung hidup di dunia dan sebagian sadar juga meneruskannya untuk persiapan hidup di akhirat.
            “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang). Dan siang apabila terang benderang. Dan penciptaan laki-laki dan perempuan”. (QS. 92: 1-3)
            Sumpah di atas mengisyaratkan bahwa segala sesuatu di ala mini diciptakan Allah dengan berpasangan. Keduanya menjadi unsur penting dalam kehidupan. Keduanya saling terkait dan berhubungan. Maka keduanya juga saling melengkapi.
            “Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda”. (QS. 92: 4)
Ada yang konsisten menjaga amalnya agar selalu berada dalam kebaikan. Namun, sebaliknya, juga ada yang selalu berada dalam kejahatan. Di samping itu ayat di atas juga mengindikasikan bahwa manusia yang berbeda-beda juga memiliki perbuatan dan pekerjaan yang berbeda-beda. Baik pekerjaan dan amal duniawi maupun perbuatan atau amal ukhrawi juga bertingkat-tingkat. Maka sebagaimana perbedaan amal ini maka ganjaran dan balasannya kelak juga berbeda.

Perbuatan dan Konsekuensinya
            “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). Maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. (QS. 92: 5-7)
            Orang-orang yang berani menginfakkan hartanya di jalan Allah. Ia tak pernah khawatir sedikit pun akan ditimpa kebangkrutan. Lalu ia juga bertakwa dan menjaga diri dari yang diharamkan Allah. Sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas ra. Dan ia meyakini bahwa yang dilakukannya tidaklah sia-sia. Allah telah menjanjikan balasan yang sangat luar biasa. Maka ia mempercayainya dengan sepenuh hati. 

            Maka sebagai konsekuensi dari kedermawan dan ketakwaan ini membuahkan hasil yang manis berupa kemudahan. Yaitu kemudahan dalam membiasa-kan amal kebaikan serta kemudahan memperoleh kebahagiaan dan kelapangan hidup dan kelak dimudahkan jalannya menuju surga.
            Ayat ini diturunkan untuk mengabadikan akhlak mulia Abu Bakar ra yang membeli Bilal bin Rabah dari Umayah bin Khalaf serta memerdekakan Bilal tanpa syarat apapun. Zubair bin Awwam menceritakan bahwa pembelian Bilal dihina oleh banyak orang karena menurut mereka alangkah baiknya jika Abu Bakar membeli budak yang lebih baik dari Bilal. Tapi penghinaan ini tak digubris oleh Abu Bakar.
          
            “Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala terbaik. Maka kelak kami akan siapkan baginya (jalan) yang sukar”. (QS. 92: 8-10)
            Sebaliknya orang yang bakhil dengan menimbun hartanya dan kikir dalam mendermakannya ia akan merasa berada dalam gelimangan harta. Ia mempresepsikan bahwa dengan harta ia bisa memiliki segalanya dan memnuhi semua keinginannya. Maka ia kemudian menjadi bertambah sombong. Allah pun tak lagi dianggapnya sebagai Tuhan yang memberinya karunia dan rizki yang lapang. Ia lupakan Allah. Ia dustakan ketuhanan-Nya. Ia ragukan keserbamahaannya. Maka ia pun meragukan janjinya. Bahkan ia dustakan sama sekali dan menganggap bahwa kebenaran hari akhir dan pembalasan amal hanya sebuah ilusi.
Maka orang yang memiliki karakter seperti di atas ini sangat laik bila diberikan kesulitan yang berlipat. Allah mudahkan baginya jalan kesukaran. Maka hidupnya akan dipenuhi kesulitan meski ia berlimpah harta. Hatinya tak tenang. Fisiknya digerogoti penyakit. Dan kelak saat maut menjemputnya ia baru merasakan kerugian dan petaka besar yang akan menyengsarakannya.
Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa”. (QS. 92: 11)
Taradda” artinya mati dan dikuburkan. Ini merupakan kiasan dari kematian dan kebinasaan. Harta yang ditimbun dan selalu dijaganya siang malam tersebut tak bisa menghalangi datangnya kehancuran dan kematiannya. Dan tak sepeserpun dari harta yang dikumpulkan tersebut yang ia bawa ke liang lahat. Jika pun orang yang masih hidup memaksakan untuknya membawa harta tersebut, hal itu tidaklah berguna. Bahkan kalau pun hal tersebut bisa terjadi ia akan berhadapan dengan makhluk yang tidak mengenal arti dunia. Maka ia takkan pernah bisa menyuapnya dengan harta.
Dua Jalan Telah Dibentangkan
            Ada dua jalan yang sama-sama terbuka. Manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan tersebut. Namun, Allah tetaplah bijak dan maha asih. Dia menurunkan dan mengirim utusan-Nya dari kalangan manusia untuk mengingatkan mereka dan membimbing agar para manusia tidak tersesat dalam memilih jalan itu. Maka, Dia pun mengobral petunjuk-Nya. Sampai demikian pun manusia tetap saja banyak yang enggan mengambilnya.
Sesungguhnya kewajiban kamilah memberi petunjuk” (QS. 92: 12)
Tidaklah akan mungkin terjadi kesalahan bila seseorang mau mengikuti petunjuk Allah dengan benar. Karena Allah memiliki segalanya. “Dan sesungguhnya kepunyaan kamilah akhirat dan dunia”. (QS. 92: 13). Dunia dan seisinya Allahlah pemiliknya. Demikian pula akhirat dan semuanya yang berhubungan dengannya Allah lah yang mengendalikan-nya. Bila seseorang lebih memilih dunia dan menghalanginya untuk mencintai pemiliknya maka ia benar-benar akan sengsara ketika memasuki alam akhirat, saat kehidupan dunia-nya dipertanggungjawabkan dan kemudian dibalas dengan setimpal.
Pada suasana yang demikian orang-orang yang bakhil di atas akan sangat menyesali kebodohan dirinya. Padahal Allah telah benar-benar mengirim orang terbaik di antara mereka untuk menjadi pengingat yang baik. “Maka, kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala” (QS. 92: 14)
Neraka yang menyala tersebut disediakan untuk mereka yang mendustakannya. “Tidak masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka” (QS. 92:15). Orang-orang cela-ka itu adalah orang “yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman)” (QS. 92: 16)
Dan dengan cinta-Nya pula “kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu” (QS. 92: 17). Siapakah orang-orang yang beruntung tersebut. Yaitu orang “Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya”(QS. 92: 18). Ia semata mengharap mampu membersihkan jiwanya.
Dia membersihkan dirinya, juga hartanya dari sesuatu yang ia khawatirkan akan menyebabkan murka Allah juga ia bersihkan jiwanya dari sifat riya’ dan sombong yang kadang merupakan akibat bila seseorang mendapat kenikmatan berupa harta dan kedudukan di atas rata-rata sesamanya.
Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus di-balasnya” (QS. 92: 19). Dia bersedekah dan mengeluarkan hartanya dalam jalan kebaikan bukan karena sebuah balas budi yang menjadi tanggungannya atau supaya kelak jika ia dalam kesulitan akan ada balasan yang membantu mengelurkannya dari kesusahan. Atau ia berharap dengan yang lebih baik dari yang didermakannya. Kedermawanannya tersebut di-landaskan pada keikhlasan yang sangat dijiwainya. Allah menuturkannya, “Tetapi (dia mem-berikan itu semata-mata) karena mencari ridha Tuhannya Yang Maha Tinggi” (QS. 92: 20)
Dan karena ia mampu melakukan dan menunjukkan kemurnian cintanya tersebut pada pemilik dunia dan akhirat kelak ia akan puas dantakkan merasa rugi. “Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan” (QS. 92: 21) Dan kepuasan yang demikian itu bersifat kekal. Maka ia menjadi orang yang paling beruntung, sebagai balasan atas usahanya yang terus menjaga diri untuk menjadi hamba-Nya yang paling bertaqwa. Dalam surat al-Fajr Allah menggabungkan dua kepuasan dan keridhaan sekaligus, “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya” (QS. 89:28). Ia rela dengan janji Allah dan ia puas dengan balasan-Nya. Allah pun mencintai dan meridhainya. Sungguh sebuah puncak kepuasan yang sebenar-benarnya.
Baik itu Abu Bakar ash-Shiddiq atau pun Abu Dahdah al-Anshary juga para pengikut jejak mereka dalam kedermawanan, kelak akan benar-benar merasakan kepuasan yang tak terputus dan abadi.