بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
لَمْ
يَكُنِ
الَّذِينَ
كَفَرُوا
مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ
وَالْمُشْرِكِينَ مُنفَكِّينَ
حَتَّى
تَأْتِيَهُمُ
الْبَيِّنَةُ
1.
Orang-orang
yang menyangkal [kebenaran] dari golongan Ahli Kitab, dan para penyembah berhala,
tidak bisa terlepas [dari orang-orang beriman] sampai bukti yang terang datang
kepada mereka:
Bila ada petunjuk historis mengenai berbagai peristiwa khusus dalam
Alquran, kita selalu bisa menerimanya sebagai berlaku juga bagi kita di zaman
modern ini. Di antara orang-orang yang menganggap dirinya sebagai 'ahli kitab',
tapi mengingkari dan menutupi kebenaran, akan terus dalam kesangsian dan
penyangkalan sampai bukti yang terang datang kepada mereka. Namun ketika bukti
itu benar-benar datang pun, mereka akan tetap dalam pengingkarannya.
Orang-orang yang ingin ingkar akan terus berbuat begitu, demikian juga mereka
yang ingin menyangsikan.
رَسُولٌ
مِّنَ
اللَّهِ
يَتْلُو
صُحُفًا مُّطَهَّرَةً
2. Seorang rasul Allah yang membacakan halaman-halaman
yang suci,
Pengertiannya di sini adalah bahwa sebagian dari kitab-kitab
tercatat yang telah diturunkan sebelum Nabi Muhammad sudah tidak utuh lagi,
sudah berubah atau, kalau tidak, bentuknya menjadi tidak lengkap lagi. Ini
adalah salah satu dari makna muthahharah (suci). Nabi Muhammad
menegaskan semua nabi sebelum beliau; ia tidak membawa hal-hal baru selain
syariat yang disempumakan. Alquran berulang kali menceritakan kejadian yang
menimpa para nabi sebelumnya seperti Musa, Isa, dan lain-lainnya. Beberapa
kejadian yang sama senantiasa terulang kembali, dengan beberapa perbedaan hanya
pada lingkungan dan warna masyarakatnya. Pada pokoknya, sifat rendah dan tinggi
manusia adalah sama sepanjang masa.
فِيهَا
كُتُبٌ
قَيِّمَةٌ
3. Di
dalamnya terdapat peraturan-peraturan yang jelas dan benar.
وَمَا
تَفَرَّقَ
الَّذِينَ
أُوتُوا
الْكِتَابَ
إِلَّا مِن
بَعْدِ مَا
جَاءتْهُمُالْبَيِّنَةُ
4. Dan
orang-orang yang diberi Kitab tidak terpecah-belah hingga setelah datang kepada
mereka bukti yang terang.
Al-bayyinah (dari bana, jelas, terang) adalah bukti
dari Nabi yang terakhir, yakni kitabnya. Tafarraqa, dari faraqa, berarti
'menjadi terpisah, terpencar-pencar, terbelah dan dibeda-bedakan'. Dalam hal
ini berkenaan dengan kaum yang terpecah ketika menerima pesan Nabi Muhammad.
Ketika datang bukti kepada mereka, yang mempertegas apa yang ada di tangan
mereka dan menyucikannya dari interpretasi yang salah, sebagian menerimanya dan
sebagian menolaknya.
وَمَا
أُمِرُوا
إِلَّا
لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ
مُخْلِصِينَ
لَهُ
الدِّينَ
حُنَفَاء وَيُقِيمُوا
الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ
دِينُ
الْقَيِّمَةِ
5. Dan mereka
tidak disuruh [melakukan] apa pun selain menghamba kepada Allah, ikhlas
mematuhi-Nya, jujur, tulus, dan mendirikan salat, [menyucikan diri dengan]
membayar zakat, dan itulah agama yang benar.
Perintah Allah, perintah Realitas, tak lain hanyalah ikhlas dalam
menyembah Allah, Sang Pencipta. Hunafa’ adalah orang yang mendirikan
salat secara lengkap, menegakkan din, dan melaksanakan penyucian serta
berderma. Perintah sang Pencipta hanyalah menyembah dan beribadat kepada-Nya.
إِنَّ
الَّذِينَ
كَفَرُوا
مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ
وَالْمُشْرِكِينَ
فِي نَارِجَهَنَّمَ
خَالِدِينَ
فِيهَا
أُوْلَئِكَ هُمْ
شَرُّ
الْبَرِيَّةِ
6. Sesungguhnya
orang-orang yang menutup (kafir) dari golongan Ahli Kitab dan penyembah
berhala, akan berada dalam api neraka, menetap di sana; mereka adalah makhluk
yang paling buruk.
Jika kita mengingkari satu-satunya pesan yang berulangkali disampaikan
yang memberitahu kita bagaimana agar selamat, bagaimana berperilaku dan
bagaimana mencapai potensi kita yang paling maksimal dalam eksistensi ini
melalui salat dan zakat (untuk membersihkan diri), maka kita akan mengalami
kemgian dan melakukan perbuatan syirk (menyekutukan Allah). Orang-orang
yang mengingkari pesan dan kemurnian turunnya, yang muncul dalam bentuk nyata,
yakni kitab-kitab wahyu, maka mereka sudah berada dalam suasana neraka, dalam
suasana jahanam yang bergolak. Ini adalah lubang tak berujung yang di dalamnya
tidak ada stabilitas maupun kedamaian, tak ada kehidupan maupun kematian.
Sebaliknya, yang ada adalah pergolakan dan kekacauan yang tiada henti. Manusia
senantiasa mencari kestabilan, karena memang itulah sifatnya. Salat ritual
harus dilaksanakan di atas dasar yang kokoh karena dalam salat-salat tersebut
kita mencari pengetahuan tentang Allah, Yang Kekal dan Tak Berakhir, Yang tidak
stabil bukanlah kebenaran, karena kebenaran hanya sekadar informasi.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُوْلَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
7.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan kebaikan, merekalah makhluk
yang paling baik.
جَزَاؤُهُمْ
عِندَ
رَبِّهِمْ
جَنَّاتُ عَدْنٍ
تَجْرِي مِن
تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُخَالِدِينَ
فِيهَا
أَبَدًا
رَّضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُمْ
وَرَضُوا
عَنْهُ
ذَلِكَ لِمَنْخَشِيَ
رَبَّهُ
8. Ganjaran
mereka di sisi Tuhan mereka adalah taman keabadian, yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai, tinggal di sana selama-lamanya; Allah ridha pada mereka, dan
mereka ridha pada-Nya. Itu adalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Di lain pihak, mereka yang percaya pada Realitas (amanu,
dari amana, mempercayai, menerima), yang ada kedamaian dan keamanan
dalam dirinya, yang percaya bahwa mereka akan mengetahui, yang telah percaya
bahwa yang terkandung dalam kitab-kitab wahyu adalah kebenaran mutlak yang
memancar dari Wujud Mutlak, dan yang mewujudkan kepercayaan itu ke dalam
berbagai perbuatan yang benar, mereka adalah sebaik-baiknya ciptaan. Keadaan
batin yang percaya pada rahmat Allah yang meliputi segala hal harus diwujudkan
ke dalam tindakan, kalau tidak maka akan tetap menjadi hal yang abstrak.
Jaza'uhum berarti 'ganjaran mereka', dan ganjaran dari sang
Pemberi ini muncul dalam bentuk taman-taman yang diairi oleh mata air-mata air
dan sungai-sungai yang airnya mengalir dari bawah. Ini menunjukkan bahwa mereka
disuburkan oleh energi-energi yang tidak nampak. Sungai-sungai atau
energi-energi ini berupa sifat manusia yang luhur, seperti suka memaafkan,
dermawan dan bermarta-bat. Kaum beriman selamanya dalam keadaan itu, karena,
begitu seseorang mengalami keadaan tersebut, atau sekalipun melihatnya sekilas
saja, ia akan semakin membelok ke arah tersebut.
Alquran berulang kali
mengingatkan kita bahwa dasar dari Jalan ini adalah kesabaran. Kesabaran adalah
akal sekat. Ini adalah keadaan seseorang yang percaya bahwa akalnya akan lebih
tajam. Ia akan sampai pada pengetahuan dengan cara yang akan membuat kehidupan,
perilaku dan lingkungannya lebih baik. Ini adalah iman positif yang diwujudkan
ke dalam tindakan. Orang-orang yang mencapai kepercayaan sempurna lalu
mempraktikkannya di dunia ini dengan segala kendala dan batasannya, mereka
dijanjikan taman-taman abadi. Mereka akan berada dalam keadaan yang menurut
anggapan orang lain sudah memiliki unsur-unsur surga. Namun, mereka tidak akan
dikucilkan dari yang lain, tidak juga pura-pura dilindungi. Tidak ada
perlindungan dan juga pemisahan.
'Allah ridha kepada mereka
dan mereka ridha kepada-Nya'. Mereka dalam keadaan ridha (puas), keadaan yang
muncul dari pengetahuan dan bukan optimisme pura-pura atau sekadar berpikir positif.
Kepuasan yang datang melalui pengetahuan merupakan aspek kesempurnaan. Apa pun
yang terjadi selalu sempuma, dan jika kita tidak memberikan penilaian tentang
berbagai peristiwa maka kita akan melihat kesempurnaan di dalamnya. Namun, jika
kita sudah berprasangka terhadap suatu keadaan dan sudah sepenuhnya
berseberangan, maka kita akan melihatnya hanya dari perspektif dangkal kita.
Umpamanya, ambil saja contoh komedi. Penonton
menyaksikan apa yang terjadi pada si pelawak dan tertawa, tapi si pelawak tidak
tahu bahwa ember yang ditelungkupkannya penuh dengan cat. Dari sudut pandang si
pelawak ini adalah sebuah tragedi. Tapi jika kita mengambil sudut pandang syahid
(yang menyaksikan), maka kita akhirnya akan mencapai keadaan yang positif yakni
rasa puas terhadap pengetahuan. Bila kita melihat sebuah gelas yang separuh
kosong, tentu saja kita tidak memperhatikan separuh penuh dan berkata, 'Bagus
sekali! Separuhnya adalah penuh!' Manusia sudah sifatnya tidak menyukai hal
yang setengah-setengah; kita menginginkan semuanya penuh. Bagaimana pun,
separuh geias adalah kosong karena separuh isinya telah diminum. Oleh karena
itu, kita harus menerima keadaan dalam kesempurnaannya. Bagaimana pun keadaan
itu menampakkan diri pada kita, kita harus menerimanya dengan ilmu pengetahuan,
dengan hati dan kepala. Bila pemerimaan itu terjadi, 'Allah puas pada mereka
dan mereka puas pada-Nya.' Realitas puas pada kita, dan kita puas pada
Realitas; dengan demikian, segala sesuatu dalam eksistensi akan puas pada kita
karena kita benar-benar seirama.
'Yakni bagi orang yang takut kepada Tuhannya';
pintu menuju ridha, pintu menuju kepuasan adalah khasyyah, yang berarti
'perasaan takut yang positif. Perasaan takut tersebut adalah rasa takut
melanggar, takut mengemban tugas yang secara lahiriah kita tidak dapat
melangkah dengan benar, apalagi secara batiniah, suatu tugas yang ketika
mengembannya kita tidak mempunyai tujuan yang jelas. Sebelum kita melangkah
lagi, hendaknya kita bertanya mengapa. Ketika kita mengatakan Bismtllah,
maka kita melaksanakan perbuatan kita dengan Nama Allah, dan dengan cara
demikian kita memohon rahmat-Nya. Mereka akan berhasil atau gagal dan apa pun
hasilnya kita mengatakan, al-hamdu lillah, 'Puji bagi Allah'. Kita
beramal karena Allah, dan jika kita tidak berhasil maka itu karena Allah tidak
menghendakinya, meskipun kita sudah berusaha sebaik-baiknya.
Khasyyah adalah tahap pertama sebelum takwa. Orang yang
memiliki rasa takut akan memperhitungkan akibat yang mungkin dari mengikuti
jalan tertentu yang bersifat merusak dan karena itu ia tidak mau menempuhnya. Khasyyah
berarti waspada jangan sampai melanggar, takut pelanggaran itu akan menimpa
kita. Itulah sebabnya mengapa kita mengatakan astaghfirullah, dan dengan
ungkapan ini kita memohon ghufran Allah, tidak hanya berarti 'ampunan'.
Tidak bisa begitu saja. Hanya ada satu Realitas tunggal, maka siapa dapat
memaafkan siapa? Ghufran berarti terlindung baik dari segala perbuatan
yang diakibatkan oleh kita tanpa niat yang benar atau pengetahuan yang benar,
dan dari apa yang pemah kita lakukan di waktu lampau yang tidak dilakukan atas
nama Allah, yang efeknya akan kembali pada kita. Inilah pengampunan yang
dimaksud itu. Pengampunan bukanlah dialog antara dua orang, karena hal itu
adalah syirk, yakni dualitas. Yang kita kehendaki adalah realisasi penuh
dari ketauhidan kita; kita menghendaki kemanunggalan, tanpa pemisahan.
No comments:
Post a Comment