...semoga semua pihak yang terlibat dengan tulisan ini medampat pahala dari Allah, penulis maupun yg membaca Nya...Insya Allah...amin....

freej

Friday 25 September 2015

Surat AL- ALaq. (QS 96)



Surat Al-‘Alaq merupakan surat yang pertama kali diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw di Makkah.Sebagaian besar mushaf yang beredar saat ini menulis surat ini dengan nama Surat Al-‘Alaq. Dan lima ayat pertamanya menjadi wahyu pertama beliau yang disampaikan melalui Malaikat Jibril. Serta ayat-ayat lainnya yang tersisa diturunkan setelah beberapa waktu berlalu dari sejak wahyu pertama diberikan.
Tema yang diangkat surat ini cukup beragam. Dari sejak tema wahyu dan turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw, pembicaraan sifat dan tabiat manusia yang melampaui batas dalam urusan harta, serta kisah Abu Jahal yang menghalang-halangi Nabi Muhammad dan melarang beliau untuk shalat di Masjidil Haram. Surat ini diakhiri dengan ancaman Allah untuk orang-orang yang masih terus bersikukuh dalam kesesatan dan sikapnya yang melampaui batas serta perintah kepada nabi-Nya untuk meneruskan shalat dan sujudnya tanpa mempedulikan gertakan sang durjana.
Adapun urutannya yang berada setelah Surat At-Tin seolah memberi isyarat hubungan erat antara keduanya. Terutama dalam pembahasan tentang manusia. Jika dalam surat sebelumnya manusia disebut sebagai penciptaan terbaik yang dilakukan Allah dengan sempurna, maka dalam surat ini dibahas asal muasal penciptaan tersebut serta dimensi lain dari sisi kejiwaan manusia yang kadang melampaui batas serta kufur ni’mat; padahal Allah telah mengaruniakan kepadanya segala kesempurnaan.

Membaca Dengan Nama Allah
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. (QS. 96: 01)
Itulah bunyi ayat pertama surat ini. Memberikan perintah secara jelas kepada Nabi Muhammad saw. juga kepada umatnya untuk membaca. Membaca dengan nama Allah Sang Pencipta. Hal ini secara langsung memberikan isyarat bahwa umat Islam harus me-nuntut ilmu. Karena membaca merupakan pintu ilmu. Dengan membaca cakrawala berpikir seseorang semakin luas, dan dalam segala aktivitasnya termasuk membaca sudah selaiknya ia mengingat Sang Pencipta, ”yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah” (QS. 96: 02)

Segumpal darah yang secara anatomis belum bisa disebut sebagai manusia itu nantinya akan terlahir sebagai makhluk sempurna yang bisa membaca. Jika segumpal darah tersebut teronggok di tepi jalan, siapa yang akan menghargai dan memuliakannya?
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah”. (QS. 96: 03)

Allahlah yang memuliakannya. Mengangkat derajatnya. Di atas semua makhluk yang diciptakan-Nya. Dzat yang pemurah dan penuh kasih sayang tersebut yang, ”mengajar (manusia) dengan perantaran pena”. (QS. 96: 04)

Dengan belajar membaca dan kemudian menulis maka manusia akan meraih ilmu. Baik ilmu dunia maupun akhirat. Inilah yang oleh Ibnu Katsir kemudian disimpulkan dari sebuah atsar, ”Ikatlah ilmu dengan menulis”. Dengan menjadi manusia yang berilmu sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui menjadi jelas. Sesuatu yang sebelumnya menjadi rahasia berubah tersingkap.

Hanya Allah lah yang mampu menjadikan perubahan ke arah baik .

Manusia yang Tak Mau Bersyukur
Manusia yang seharusnya dengan memaksimalkan akalnya mampu membaca keagungan dan kebesaran Allah serta ciptaan-Nya ternyata tidak demikian. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas” (QS. 96: 06)

Tentu wajar jika Allah menganggapnya sebagai sebuah sikap yang keterlaluan dan melampaui batas. Tak sedikit pun para pendusta yang mengingkari nikmat tersebut merasa bahwa ketiadaannya yang berubah menjadi bentuk sempurna serta menjadi serba bisa adalah sebuah karunia yang agung. Dan bukan sesuatu yang sederhana.
Ia melampaui batas dalam segala perilakunya. Dalam bersikap, berkata-kata dan bergaul. Sombong dalam berpakaian, berlebih-lebihan dalam makanan dan kendaraan-nya. Ia cenderung meremehkan dan merendahkan sesamanya. Hal tersebut dipicu oleh kebodohan dan ketidaktahuannya. “Karena dia melihat dirinya serba cukup” (QS. 96: 07)
Sikap yang diambilnya barangkali bermula dari pola pikirnya yang salah. Ia merasa berkecukupan. Dengan menjadi seorang sarjana atau ilmuwan ternama, kemudian ia memiliki kehidupan yang mapan, rumahnya mewah. Sikap ”al-istighna” ini hanya bisa dimiliki oleh Allah, karena Dia memang tak memerlukan bantuan dan pertolongan siapapun. Dia yang Maha Kaya, Maha Sempurna dan selalu bisa berbuat apa saja sesuai kehendak-Nya. Dzat dengan sifat-sifat yang serba maha tersebut memanglah laik untuk merasa cukup dari apa dan siapapun. Jika manusia dengan segala keterbatasannya kemudian merasa cukup yang mengakibatkannya tinggi hati dan sombong maka hal tersebut membuatnya lupa. Lupa dari mana ia berasal dan ke mana hendak kembali. Namun, jika ia merasa cukup dan kemudian menjadi qana’ah maka itu sebuah sikap yang terpuji. Tapi dalam ayat ini dipakai al-istighna`, sehingga tidak menyimpan sedikitpun arti qana’ah yang baik tersebut.
Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu)” (QS. 96: 08)
Dalam ayat ini Allah menggunakan gaya bahasa beralih (uslûb al-iltifât) yaitu dari sebelumnya yang menggunakan kata ganti ketiga (dhamir gha`ib) berubah menjadi mukhatab yang menggunakan kata ganti kedua (kamu). Hal ini dimaksudkan memberikan kesan lebih dan menggetarkan hati setiap manusia yang tidak mau bersyukur akan kedahsyatan dankeseriusan ancaman Allah. Mereka semua akan kembali kepada Allah melalui pintu keniscayaan bernama kematian lalu dibangkitkan kembali di hari penentuan.
Dan kembali kepada Allah berarti asal dari kejadian manusia juga bermula dari titah Allah. Dikembalikan kepada-Nya berarti pertanggungjawaban dari semua yang dilakukan-nya ketika di dunia.
Lihatlah orang yang sombong tersebut dan bagaimana ia hidup dengan penuh keangkuhan. ”Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika mengerjakan shalat” (QS. 96: 09-10)
Dituturkan dalam sebuah riwayat bahwa Abu Jahal bermaksud hendak melarang dan menghalang-halangi Nabi Muhammad yang sedang shalat dengan berbagai jalan. Tapi usahanya selalu gagal. Bahkan dari sekian usahanya, ia menjumpai sesuatu yang menakut-kan berada di sisi Nabi Muhammad saw, sehingga ia lari terbirit-birit ketakutan karenanya.
Padahal jika ia tahu bahwa di antara karunia terbesar Allah adalah dengan mengutus Nabi Muhammad saw, sang manusia terbaik untuk seluruh manusia sebagai rahmat Allah di bumi-Nya. Seharusnya ia bersyukur dan menyukuri nikmat penciptaan, pengajaran dan berbagai nikmat Allah yang tiada pernah bisa terhitung.
Seharusnya ia mengajak kepada kebaikan, ”Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran. Atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?” (QS. 96: 11-12)
Alangkah baiknya jika seandainya ia mau berpikir sejenak dan kemudian menikti jalan kebenaran dengan ketakwaan dan mengajak sesamanya untuk mengikuti risalah Nabi Muhamamd saw. Ia gunakan pengaruh dan hartanya. Posisi dan status sosialnya. Tentu hal tersebut akan jauh lebih baik. Sayangnya, Abu Jahal tidaklah menggunakan kesempatan yang diberikan Allah untuk memperbaiki diri dengan berbagai kebaikan tersebut.
Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpa-ling?” (QS. 96: 13)
Inilah yang menjadi pilihannya. Ia menahbiskan diri menjadi musuh terdepan bagi dakwah Nabi Muhammad saw dan para pengikutnya.

Pilihan yang Selalu Berkonsekuensi
Jika mendustakan dan menghalang-halangi dakwah serta risalah yang dibawa Nabi Muhammad merupakan pilihan yang diambil oleh orang yang tidak memahami atau mengingkari dahsyatnya nikmat dan karunia diutusnya beliau, maka balasan yang buruk sangat pantas baginya. Karena ia telah melecehkan keberadaan dan kekuasaan Dzat Yang Maha Melihat.
Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatan-nya?” (QS. 96: 14)
Bisa jadi bukan karena ketidaktahuan, namun karena kesombongan dan keangkuhan hati yang menutupi kesadaran akan kemahabesaran Allah. Karenanya ia berbuat sesuka hati dan tidak pernah sekalipun ia mengerem nafsunya serta memperturutkan hawa dan syahwat kesesatannya. Ia tidak sadar bahwa yang ia musuhi dan ia hadapi bukanlah sekedar anak yatim saja. Tapi beliau adalah utusan Sang Maha Perkasa yang secara penuh memback up dakwahnya.
Tidakkah ia sadar akan ancaman Allah, ”Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.” (QS. 96: 15-16)
Menurut al-Mubarrid, salahs eorang pakar Bahasa Arab terkemuka, mengatakan, ”as-saf’u” artinya mengambil dengan paksa dan kekerasan. Apalagi yang diambil di sini adalah ubun-ubun. Maka bukan hanya fisik yang tersakiti. Ia akan benar-benar merasa terhinakan dan direndahkan. Karena ubun-ubun atau kepala adalah bagian termulia manusia.
Ada pendapat lain dari al-Farra` bahwa yang dimaksud di sini adalah menghitamkan wajah sebagai kiasan akan ditimpakan kepadanya adzab neraka yang pedih dan menghanguskan.
Yaitu ubun-ubun atau wajah yang hangus milik sang pendusta yang mengingkari dan memusuhi serta menyakiti Nabi Muhammad saw. Para pakar bahasa di sini membolehkan badal (ganti) dengan menggunakan isim nakirah padahal sebelumnya disebut dengan isim makrifat. Az-Zamakhsyari dan Abu Hayyan memberikan dispensasi tersebut karena isim nakirah setelah makrifat tersebut memberikan penjelasan sebagai sifat. Sehingga seolah ia berdiri sendiri memberikan penjelasan tambahan setelahnya (al-ifadah).
Jika hal di atas terjadi, maka kepada siapa lagi ia hendak meminta pertolongan. ”Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)” (QS. 96: 17) Sebagaimana ia mengumpulkan mereka di darunnadwah, mengadakan konspirasi untuk mencelakakan Nabi Muhamamd saw. Dalam ayat ini seolah kata ”nadiah” yang berarti majelis menyimpan sebuah mudhaf yaitu para pegiatnya.
Namun, panggilan dan permintaan tolong tersebut tak menghasilkan apapun kecuali keputusasaan dan penyesalan. Karena nasib mereka juga tak lebih baik darinya. Justru Allah yang ”akan memanggil Malaikat Zabaniyah” (QS. 96: 18) dan diperintahkan untuk mendatanginya, kemudian memberikan siksaan yang tiada tandingan dan bandingannya sebelum dan sesudahnya.
Maka, orang dengan karakter pembangkang dan pendusta tersebut tak perlu lagi didengar perkataannya apalagi sampai terpengaruh dengan syubhat dan ejekannya. Dan salah satu jalan untuk menguatkan diri dari pengaruh kejelekan tersebut yang paling mujarab adalah dengan mendekatkan diri kepada Allah dan bersujud kepada-Nya.
Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)” (QS. 96: 19)
Para ulama kemudian menyimpulkan bahwa kedekatan terbaik dan paling dekat seorang hamba dengan rabbnya terjadi pada saat ia bersujud. Apalagi ada sebuah hadits yang menyatakan, ”Keadaan yang paling dekat dari seorang hamba dengan Tuhannya adalah pada saat ia bersujud maka perbanyaklah berdoa”.
Selamat Idul Adha.....