Manusia Selalu Berusaha baik Siang maupun Malam
Dengan dimulainya sumpah Allah yang
menggunakan pasangan waktu siang dan malam yang kemudian diikuti dengan
sumpah menggunakan penciptaan laki-laki dan perempuan, lalu menjelaskan
perbedaan perbuatan dan usaha manusia, mengindikasikan seolah manusia
baik laki-laki atau perempuan siang atau malam selalu berusaha dan
bekerja untuk menyambung hidup di dunia dan sebagian sadar juga
meneruskannya untuk persiapan hidup di akhirat.
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang). Dan siang apabila terang benderang. Dan penciptaan laki-laki dan perempuan”. (QS. 92: 1-3)
Sumpah di atas mengisyaratkan bahwa segala
sesuatu di ala mini diciptakan Allah dengan berpasangan. Keduanya
menjadi unsur penting dalam kehidupan. Keduanya saling terkait dan
berhubungan. Maka keduanya juga saling melengkapi.
“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda”. (QS. 92: 4)
Ada yang konsisten menjaga amalnya agar selalu berada dalam
kebaikan. Namun, sebaliknya, juga ada yang selalu berada dalam
kejahatan. Di samping itu ayat di atas juga mengindikasikan bahwa
manusia yang berbeda-beda juga memiliki perbuatan dan pekerjaan yang
berbeda-beda. Baik pekerjaan dan amal duniawi maupun perbuatan atau amal
ukhrawi juga bertingkat-tingkat. Maka sebagaimana perbedaan amal ini
maka ganjaran dan balasannya kelak juga berbeda.
Perbuatan dan Konsekuensinya
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di
jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik
(surga). Maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. (QS. 92: 5-7)
Orang-orang yang berani menginfakkan hartanya
di jalan Allah. Ia tak pernah khawatir sedikit pun akan ditimpa
kebangkrutan. Lalu ia juga bertakwa dan menjaga diri dari yang
diharamkan Allah. Sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas ra.
Dan ia meyakini bahwa yang dilakukannya tidaklah sia-sia. Allah telah
menjanjikan balasan yang sangat luar biasa. Maka ia mempercayainya
dengan sepenuh hati.
Maka sebagai konsekuensi dari kedermawan dan
ketakwaan ini membuahkan hasil yang manis berupa
kemudahan. Yaitu kemudahan dalam membiasa-kan amal kebaikan serta
kemudahan memperoleh kebahagiaan dan kelapangan hidup dan kelak
dimudahkan jalannya menuju surga.
Ayat ini diturunkan untuk mengabadikan akhlak
mulia Abu Bakar ra yang membeli Bilal bin Rabah dari Umayah bin Khalaf
serta memerdekakan Bilal tanpa syarat apapun.
Zubair bin Awwam menceritakan bahwa pembelian Bilal dihina oleh banyak
orang karena menurut mereka alangkah baiknya jika Abu Bakar membeli
budak yang lebih baik dari Bilal. Tapi penghinaan ini tak digubris oleh
Abu Bakar.
“Dan adapun orang-orang yang bakhil dan
merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala terbaik. Maka kelak kami
akan siapkan baginya (jalan) yang sukar”. (QS. 92: 8-10)
Sebaliknya orang yang bakhil dengan menimbun
hartanya dan kikir dalam mendermakannya ia akan merasa berada dalam
gelimangan harta. Ia mempresepsikan bahwa dengan harta ia bisa memiliki
segalanya dan memnuhi semua keinginannya. Maka ia kemudian menjadi
bertambah sombong. Allah pun tak lagi dianggapnya sebagai Tuhan yang
memberinya karunia dan rizki yang lapang. Ia lupakan Allah. Ia dustakan
ketuhanan-Nya. Ia ragukan keserbamahaannya. Maka ia pun meragukan
janjinya. Bahkan ia dustakan sama sekali dan menganggap bahwa kebenaran
hari akhir dan pembalasan amal hanya sebuah ilusi.
Maka orang yang memiliki karakter seperti di atas ini
sangat laik bila diberikan kesulitan yang berlipat. Allah mudahkan
baginya jalan kesukaran. Maka hidupnya akan dipenuhi kesulitan meski ia
berlimpah harta. Hatinya tak tenang. Fisiknya digerogoti penyakit. Dan
kelak saat maut menjemputnya ia baru merasakan kerugian dan petaka besar
yang akan menyengsarakannya.
“Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa”. (QS. 92: 11)
“Taradda” artinya mati dan dikuburkan. Ini merupakan kiasan dari kematian dan kebinasaan.
Harta yang ditimbun dan selalu dijaganya siang malam tersebut tak bisa
menghalangi datangnya kehancuran dan kematiannya. Dan tak sepeserpun
dari harta yang dikumpulkan tersebut yang ia bawa ke liang lahat. Jika
pun orang yang masih hidup memaksakan untuknya membawa harta tersebut,
hal itu tidaklah berguna. Bahkan kalau pun hal tersebut bisa terjadi ia
akan berhadapan dengan makhluk yang tidak mengenal arti dunia. Maka ia
takkan pernah bisa menyuapnya dengan harta.
Dua Jalan Telah Dibentangkan
Ada dua jalan yang sama-sama terbuka. Manusia
diberi kebebasan untuk memilih jalan tersebut. Namun, Allah tetaplah
bijak dan maha asih. Dia menurunkan dan mengirim utusan-Nya dari
kalangan manusia untuk mengingatkan mereka dan membimbing agar para
manusia tidak tersesat dalam memilih jalan itu. Maka, Dia pun mengobral
petunjuk-Nya. Sampai demikian pun manusia tetap saja banyak yang enggan
mengambilnya.
“Sesungguhnya kewajiban kamilah memberi petunjuk” (QS. 92: 12)
Tidaklah akan mungkin terjadi kesalahan bila seseorang mau
mengikuti petunjuk Allah dengan benar. Karena Allah memiliki segalanya. “Dan sesungguhnya kepunyaan kamilah akhirat dan dunia”.
(QS. 92: 13). Dunia dan seisinya Allahlah pemiliknya. Demikian pula
akhirat dan semuanya yang berhubungan dengannya Allah lah yang
mengendalikan-nya. Bila seseorang lebih memilih dunia dan menghalanginya
untuk mencintai pemiliknya maka ia benar-benar akan sengsara ketika
memasuki alam akhirat, saat kehidupan dunia-nya dipertanggungjawabkan
dan kemudian dibalas dengan setimpal.
Pada suasana yang demikian orang-orang yang bakhil di atas
akan sangat menyesali kebodohan dirinya. Padahal Allah telah benar-benar
mengirim orang terbaik di antara mereka untuk menjadi pengingat yang
baik. “Maka, kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala” (QS. 92: 14)
Neraka yang menyala tersebut disediakan untuk mereka yang mendustakannya. “Tidak masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka” (QS. 92:15). Orang-orang cela-ka itu adalah orang “yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman)” (QS. 92: 16)
Dan dengan cinta-Nya pula “kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu” (QS. 92: 17). Siapakah orang-orang yang beruntung tersebut. Yaitu orang “Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya”(QS. 92: 18). Ia semata mengharap mampu membersihkan jiwanya.
Dia membersihkan dirinya, juga hartanya dari sesuatu yang
ia khawatirkan akan menyebabkan murka Allah juga ia bersihkan jiwanya
dari sifat riya’ dan sombong yang kadang merupakan akibat bila seseorang
mendapat kenikmatan berupa harta dan kedudukan di atas rata-rata
sesamanya.
“Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus di-balasnya”
(QS. 92: 19). Dia bersedekah dan mengeluarkan hartanya dalam jalan
kebaikan bukan karena sebuah balas budi yang menjadi tanggungannya atau
supaya kelak jika ia dalam kesulitan akan ada balasan yang membantu
mengelurkannya dari kesusahan. Atau ia berharap dengan yang lebih baik
dari yang didermakannya. Kedermawanannya tersebut di-landaskan pada
keikhlasan yang sangat dijiwainya. Allah menuturkannya, “Tetapi (dia mem-berikan itu semata-mata) karena mencari ridha Tuhannya Yang Maha Tinggi” (QS. 92: 20)
Dan karena ia mampu melakukan dan menunjukkan kemurnian
cintanya tersebut pada pemilik dunia dan akhirat kelak ia akan puas
dantakkan merasa rugi. “Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan”
(QS. 92: 21) Dan kepuasan yang demikian itu bersifat kekal. Maka ia
menjadi orang yang paling beruntung, sebagai balasan atas usahanya yang
terus menjaga diri untuk menjadi hamba-Nya yang paling bertaqwa. Dalam
surat al-Fajr Allah menggabungkan dua kepuasan dan keridhaan sekaligus, “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”
(QS. 89:28). Ia rela dengan janji Allah dan ia puas dengan balasan-Nya.
Allah pun mencintai dan meridhainya. Sungguh sebuah puncak kepuasan
yang sebenar-benarnya.
Baik itu Abu Bakar ash-Shiddiq atau pun Abu Dahdah
al-Anshary juga para pengikut jejak mereka dalam kedermawanan, kelak
akan benar-benar merasakan kepuasan yang tak terputus dan abadi.
No comments:
Post a Comment