...semoga semua pihak yang terlibat dengan tulisan ini medampat pahala dari Allah, penulis maupun yg membaca Nya...Insya Allah...amin....

freej

Tuesday 24 December 2013

Surat Al-Jin (QS 72)



Katakanlah (hai Muhammad), “Telah diwahyukan kepadamu bahwasa: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Qur’an), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorang pun dengan Tuhan kami, Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristeri dan tidak (pula) beranak. Dan bahwasanya: orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah

Gambaran Singkat Tentang Kisah Jin Dan Al-Quran

Dalam riwayat shahih dijelaskan bahwa golongan jin telah mendengarkan Nabi SAW di saat beliau sedang shalat dengan para sahabatnya dan membaca Al-Quran dengan lantunan suara yang mendorong jin bergerak menuju ke haribaan-Nya. Setelah mereka mendengarkannya dengan sungguh-sungguh dan memahami hakekat Kalamullah maka, mereka bertolak dan bergerak menuju masyarakatnya untuk memberi kabar gembira dan mengajarkan apa-apa yang telah mereka pahami.

Allah SWT mewahyukan hal ini kepada Nabi SAW agar hatinya merasa tentram dan jiwanya tetap menggelora dalam dakwahnya meskipun orang-orang musyrik berpaling darinya.

Ayat jin ini diturunkan dalam surat Al-Ahqaf secara global pada dua ayat 29 dan 30 dan secara terperinci seperti yang digambarkan dalam surat jin ini untuk memberikan teguran pada Kuffar Quraisy dan Arab yang terlambat merespon keimanan sementara jin yang bukan dari golongan manusia lebih cepat merespon dakwah dari pada mereka. Mereka Kuffar Quraisy tidak beriman dan bahkan mendustakannya dikarenakan sifat hasud yang menyelimuti diri mereka dan benci apabila Allah menurunkan anugerahnya kepada orang yang dikehendaki-Nya.

Makna umum
Katakanlah kepada mereka Ya Muhammad; “sungguh Allah telah mewahyukan kepadaku bahwasanya sekelompok dari golongan jin telah mendengarkan Al-Quran dengan khusyuk. Lalu mereka berkata kepada kaumnya di saat kembali kepada mereka; “sesungguhnya kami telah mendengar Al-Quran yang agung nan indah yang sangat mengherankan karena beda dengan “kalamul basyar” (perkataan manusia), bahkan dengan kitab-kitab dahulu dalam susunan, metode, tujuan dan artinya. Al-Quran adalah kitab yang mengandung petunjuk, kebenaran, nilai-nilai kebaikan dan jalan yang lurus. Dari sini kami (golongan jin) beriman kepadanya dan Dzat yang menurunkannya. 

Tidak hanya berhenti di sini saja, akan tetapi kami juga tidak akan menyekutukan Allah SWT dengan satu pun makhluknya. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian sufaha (jin-jin bodoh) dari golongan kami. Dan sesungguhnya Allah SWT tidak memerlukan teman dan anak sebagaimana yang dituduhkan oleh musyrikun dan sebagian golongan jin. Maka ketika mendengar ayat Al-Quran tentang hal ini, mereka mengingatkan kesalahan keyakinan jin-jin kafir yang menyatakan bahwa Allah memerlukan seorang teman, pendamping dan anak. Bagaimana hal ini terjadi, sedangkan Allah Maha Kaya dari segala sesuatu?

Dan jin-jin itu beriman dan membenarkan apa yang dikatakan Al-Quran. Mereka tidak mau taqlid buta apalagi berkaitan dengan kesalahan yang sudah jelas salahnya dan kebatilan yang nyata, meskipun yang melakukan tokoh-tokohnya. Mereka berkata, ”Kami beriman kepada Allah dan mengakui kesalahan kami dalam menisbatkan Allah kepada yang tidak laik bagi-Nya. Karena kami semua yakin bahwa mustahil ada satu dari manusia dan jin yang berkata dusta atas nama Allah.”

Ulasan singkat
  1. Wahyu datangnya hanya dari Allah dan hanya diberikan kepada para Rasul.
  2. Risalah Islam tidak terbatas hanya pada golongan manusia, akan tetapi untuk semua makhluk termasuk golongan jin.
  3. Sekelompok Jin telah mendengar langsung Al-Quran dari Rasulullah SAW baik saat shalat maupun langsung berhadapan dengannya.
  4. Jin meyakini bahwa Al-Qur’an adalah Kitab yang mengandung petunjuk.
  5. Ayat mengisyaratkan kepada kita bahwa jin setelah mendengar Al-Quran langsung menyampaikan kepada kaumnya.
  6. Jin terbagi dua, ada yang bertauhid dan ada yang musyrik.
 Semoga ditahun 2014 kita tau sejak kapan kita "Islam"?

Friday 13 December 2013

Surat Nuh (QS 71)

Mohon maaf sebelumnya, kali ini penulis mengambil cara sedikit berbeda dalam menyampaikan ayat sempurna (Alquran)
Sebuah perpaduan pandangan dan kutipan...

Ketika pertanyaan seperti itu muncul saat seseorang bertanya atau hanya muncul dalam pikiran kita, mungkin beberapa diantara kita–termasuk  penulis sendiri saat itu– akan menjawabnya dengan kata, iya!. Banjir Zaman Nabi Nuh itu memang terjadi di seluruh dunia. Banjir itu memusnahkan seluruh kehidupan yang ada di permukaan bumi saat itu. Kita meng-amini saja cerita-cerita seperti itu, tanpa mencoba untuk menelaah dan memikirkannya kembali kebenarannya. Dari mana sesungguhnya kisah seperti itu datang? Bagaimana Al-Qur’an –sebagai pedoman hidup yang pasti benar– meriwayatkannya. Dan lebih lanjut, mencoba membuktikannya dengan merujuk pada bukti-bukti ilmiah berdasarkan penemuan Ilmu Pengetahuan saat ini.
Ada sebuah artikel dari sebuah situs yang saya kutipkan dibawah ini yang mungkin dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyan tadi dengan cukup baik.  Semoga bermafaat!
Kaum atau bangsa pertama yang dibinasakan secara massal oleh Allah adalah kaum Nabi Nuh. Allah memusnahkan mereka dengan mendatangkan banjir besar yang menenggelamkan mereka. “Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).” (QS Al-A’raaf ayat 64).
Menurut Perjanjian Lama, kitab suci orang Yahudi dan Nasrani yang sudah tidak asli itu, banjir zaman Nabi Nuh itu melanda seluruh dunia: Dan Tuhan melihat bahwa kejahatan manusia di bumi adalah besar, dan bahwa setiap imajinasi dari pikiran-pikiran dalam hatinya hanya perbuatan jahat. Dan ini menjadikan Allah menyesali bahwa Dia telah menciptakan manusia di bumi, dan ini menyedihkan hati-Nya. Dan Tuhan berkata, “Aku akan membinasakah manusia yang telah Kuciptakan dari permukaan bumi, kedua jenis yang ada, manusia dan binatang, dan segala yang merayap, dan unggas-unggas di udara, yang mereka telah mengecewakan-Ku yang telah menciptakan mereka. Akan tetapi, (Nabi) Nuh mendapatkan kasih sayang di mata Tuhan. (Kejadian, 6: 5-8).
Namun menurut penyelidikan para ahli, banjir yang terjadi saat itu tidak melanda seluruh dunia, melainkan hanya terjadi di daerah Mesopotamia (kini termasuk wilayah Iraq), khususnya di daerah lembah antara sungai Eufrat dan sungai Tigris. Namun karena lembah itu demikian luasnya sehingga ketika terjadi hujan super lebat berhari-hari, meluaplah kedua sungai itu lalu airnya menenggelamkan lembah di antara dua sungai tersebut. Demikian banyak airnya sehingga lembah itu berubah seperti laut lalu menenggelamkan seluruh ummat Nabi Nuh yang ingkar di lembah itu.
Pada tahun 1922 sampai 1934 Leonard Woolley dari The British Museum dan University of Pensylvania mempimpin sebuah penggalian arkeologis di tengah padang pasir antara Baghdad dengan Teluk Persia. Di tempat yang diperkirakan dulunya pernah berdiri sebuah kota bernama Ur, mereka melakukan penggalian.
Dari permukaan tanah hingga lima meter ke bawah terdapat sebuah lapisan tanah yang berisi berbagai benda yang terbuat dari perunggu dan perak. Ini benda-benda peninggalan bangsa Sumeria yang diperkirakan hidup sekitar 3.000 tahun sebelum Masehi. Mereka bangsa yang telah dapat membuat benda dari logam.
Di bawah lapisan pertama itu mereka menemukan sebuah lapisan kedua berisi deposit pasir dan tanah liat setebal 2,5 meter. Pada lapisan itu masih terdapat sisa-sisa hewan laut berukuran kecil.
Yang mengejutkan, di bawah lapisan pasir dan tanah liat itu terdapat lapisan ketiga berisi benda-benda rumahtangga yang terbuat dari tembikar. Tembikar itu dibuat oleh tangan manusia. Tidak ditemukan benda logam satu pun di lapisan itu. Diperkirakan benda-benda peninggalan masyarakat Sumeria kuno yang hidup di Zaman Batu.
Diperkirakan oleh para ahli, lapisan kedua itu adalah endapan lumpur akibat banjir yang terjadi pada zaman Nabi Nuh. Banjir itu telah menenggelamkan masyarakat Sumeria kuno —yang kemungkinan besar mereka adalah kaum Nabi Nuh— lalu lumpur yang terbawa banjir itu menimbun sisa perabadan masyarakat tersebut. Berabad-abad, atau puluhan abad kemudian setelah banjir berlalu, barulah hadir kembali masyarakat baru di atas lapisan kedua itu, yakni masyarakat Sumeria ‘baru’ yang peradabannya jauh lebih maju daripada masyarakat Zaman Batu yang tertimbun lumpur itu.
Penyelidikan arkeologis di beberapa tempat mendapatkan keterangan, banjir melanda daerah yang memang sangat luas, yakni membentang 600 km dari utara ke selatan dan 160 km dari barat ke timur. Banjir itu telah menenggelamkan sedikitnya empat kota masyarakat Sumeria kuno, yakni Ur, Erech, Shuruppak dan Kish.
Terbukti, banjir itu tidak melanda seluruh dunia, tetapi hanya melanda wilayah yang didiami ummat Nabi Nuh. Daerah lain yang bukan wilayah ummat Nabi Nuh tidak terlanda banjir. Hasil penyelidikan para arkeolog tersebut dengan firman Allah dalam Al-Quran, bahwa Ia hanya membinasakan masyarakat suatu negeri yang telah diutus seorang Rasul kepada mereka, lalu mereka mengingkarinya. Negeri lain tidak. “ Dan tidaklah Rabbmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezhaliman. (Surat Al-Qashash ayat59)
Dalam Al-Quran diriwayatkan, Allah memerintahkan Nabi Nuh untuk mengangkut masing-masing hewan sepasang (jantan dan betina) ke dalam bahteranya: Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: ”Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman”. Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. (Surat Hud ayat 40).
Pertanyaan yang mungkin muncul, apakah seluruh hewan di muka bumi ini dinaikkan ke perahu Nabi Nuh? Para ahli kitab dari kalangan Kristen menafsirkan, seluruh hewan yang ada di muka bumi, masing-masing sepasang, dinaikkan ke perahu Nabi Nuh. Sebab, seperti dikatakan di awal, dalam kitab mereka dikatakan banjir terjadi secara global. Jadi yang harus diselamatkan pun harus seluruh spesies makhluk hidup yang ada di muka bumi ini.
Penafsiran seperti itu jelas membingungkan mereka sendiri. Pertama, pengikut Nabi Nuh sangat sedikit —karena kebanyakan mereka ingkar. Dengan tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat rendah serta personil mereka yang sangat sedikit, bagaimana caranya mereka mengumpulkan ribuan atau ratusan ribu spesies makhluk hidup yang ada di muka bumi ini?
Berarti harus ada pengikut Nabi Nuh yang dikirim ke berbagai penjuru dunia, lalu membawa pulang ribuan spesies yang mereka temui dengan bahtera yang sangat besar. Ada pengikut Nabi Nuh yang dengan sebuah bahtera besar dikirim kutub utara dan selatan untuk membawa sepasang beruang kutub, sepasang burung pelikan, sepasang anjing laut dan berbagai hewan kutub lainnya, lalu semua itu dibawa pulang negeri mereka.
Juga harus ada satu ekspedisi bahtera yang dikirim ke benua Amerika untuk membawa sepasang bison, sepasang harimau, sepasang beruang, sepasang ular anaconda, sepasang lintah, sepasang ikan piranha, sepasang sapi, sepasang cheetah, sepasan kambing, sepasang burung nasar, sepasang serigala, sepasang kutu anjing, serta sepasang ribuan spesies hewan lainnya dari benua itu.
Berapa tahun yang mereka butuhkan untuk dapat mengumpulkan semua hewan itu? Berapa banyak makanan hewan yang harus mereka siapkan? Bagaimana mereka bisa membedakan kutu jantan dan kutu betina? Ada berapa ribu kandang yang harus mereka siapkan di bahtera agar para hewan itu tidak saling memangsa?
Setelah sekian bahtera itu kembali pulang, ribuan atau ratusan ribu spesies hewan dari seluruh penjuru dunia itu dimasukkan ke dalam satu bahtera Nabi Nuh. Bagaimana ratusan ribu spesies dari berbagai penjuru dunia bisa bertahan hidup terpisah dengan habitat alamiahnya hingga banjir surut? Apakah sementara itu siklus rantai makanan berhenti berputar? Tidak mungkin!
Berbagai pertanyaan itu tidak akan dapat dijawab dengan logis oleh mereka yang mendukung tafsiran banjir global pada zaman Nabi Nuh.
Adapun Al-Quran tidak menyebut banjir masa Nabi Nuh melanda seluruh dunia. Sebagaimana dijelaskan pada berbagai ayat Al-Quran, adzab Allah hanya ditimpakan kepada kaum yang zhalim yang mendustakan ajaran nabinya, tidak kepada kaum lain. Jadi adzabnya pun hanya bersifat lokal atau regional.
Karenanya hewan yang diangkut Nabi Nuh pun tidak berasal dari seluruh dunia, melainkan hanya hewan yang terdapat di wilayah itu, khususnya hewan yang biasa dipelihara dan diternakkan manusia, seperti sapi, kambing, kuda, unggas, unta dan sejenisnya. Hewan-hewan itulah yang dibutuhkan Nabi Nuh dan pengikutnya untuk menyangga kehidupan baru mereka pasca banjir besar ...Allahu'alam...

Thursday 5 December 2013

Surat 'Abasa/Bermuka Masam ( Q S 70)


Surah ini disepakati sebagai surah Makkiyyah. Namanya yang paling populer adalah surah 'Abasa (cemberut). Ada juga yang menamainya surah ash-Shakhkhah (yang memekakan telinga), surah as-Safarah (para penulis kalam Ilahi), dan surah al-A'ma (sang tunanetra) yang kesemuanya diambil dari kata-kata yang terdapat dalam surah ini. Pakar tafsir, Ibn al-'Arabi, dalam bukunya Ahkam al-Qur'an menamainya surah Ibn Ummi Maktum karena awal surah ini turun berkenaan dengan kasus sahabat Nabi yang buta itu sebagaimana akan Anda baca.

Tema utamanya, menurut Ibn 'Asyur, adalah pengajaran kepada Nabi Muhammad SAW membandingkan peringkat-peringkat kepentingan agar tidak mendahulukan sesuatu yang pada mulanya penting atas yang lain yang sama dengannya atau lebih penting darinya sambil mengisyaratkan perbedaan keadaan kaum musyrikin yang berpaling dari petunjuk Islam dengan kaum muslimin yang memberi perhatian besar terhadap ajaran Islam.

Menurut al-Biqa'i—tokoh yang selalu berusaha menunjukkan keserasian hubungan ayat-ayat al-Qur'an—tema dan tujuan utama surah ini adalah penjelasan tentang kandungan ayat 45 surah yang lalu yaitu: "Engkau hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya, yakni kepada Hari Kiamat."

Penjelasan itu adalah bahwa tujuan utamanya adalah memberi peringatan bagi siapa yang memiliki potensi (dan bermaksud) untuk takut kepada Allah melalui peringatan tentang Hari Kiamat yang telah terbukti keniscayaannya dengan kuasa-Nya menciptakan manusia pertama kali serta penciptaan awal dan pengulangannya menyangkut makanan. Namanya 'Abasa (bermuka masam) menunjukkan tujuan tersebut dengan memerhatikan ayat-ayatnya serta tujuannya. Demikian juga dengan namanya yang lain yaitu ash-Shakhkhah dan al-Bakhkhah yang menggambarkan tersemburnya api dan keburukan.

Thabathaba'i berpendapat bahwa surah ini merupakan kecaman kepada siapa yang memberi perhatian kepada orang-orang kaya yang bermewah-mewah dengan mengabaikan orang-orang lemah dan miskin dari kaum beriman. Thabathaba'i mengemukakan riwayat yang berbeda dengan riwayat populer di kalangan kelompok Ahl as-Sunnah yang mengatakan bahwa ayat ini turun sebagai teguran kepada Nabi Muhammad SAW yang bermuka masam terhadap 'Abdullah Ibn Ummi Maktum yang tunanetra.

Ulama beraliran Syi'ah itu mengemukakan riwayat dari sumber Syi'ah yang menyatakan bahwa yang bermuka masam bukanlah Nabi Muhammad SAW, tetapi salah seorang selain beliau. Surah ini dinilai sebagai surah yang ke-24 dari segi perurutan turunnya kepada Nabi saw. Ia turun sesudah surah an-Najm dan sebelum surah al-Qadr. Jumlah ayat-ayatnya menurut cara perhitungan ulama Mekkah, Madinah, Kufah adalah 42 ayat, sedang menurut cara perhitungan ulama Bashrah 41 ayat.

Surah ini merupakan awal dari surah-surah al-Mufashshal yang pertengahan jumlah ayat-ayatnya. Sedang, surah al-Hujurât sampai dengan an-Nazi'at adalah awal surah al-Mufashshal yang jumlah ayat-ayatnya dinilai banyak.

Rangkaian ayat-ayat ini turun berkaitan dengan kedatangan seorang tunanetra kepada Nabi Muhammad SAW yang meminta agar beliau mengajarnya. Nabi SAW ketika kedatangannya itu sedang menjelaskan ajaran Islam kepada tokoh-tokoh masyarakat Makkah dengan harapan ajakan beliau dapat menyentuh hati dan pikiran mereka, dan ini tentu saja akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam.

Nah, kedatangan sang tunanetra saat itu sungguh mengganggu sehingga beliau tidak menyambutnya, bahkan bermuka masam. Allah dalam ayat 3 dan 4 mengarahkan pembicaraan langsung kepada Nabi SAW dengan berfirman: Apakah yang menjadikanmu mengetahui? Yakni engkau tidak dapat mengetahui isi hati seseorang. Boleh jadi dia, sang tunanetra, itu ingin membersihkan diri dan mengukuhkan imannya atau dia ingin mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu walau tidak dalam bentuk yang mantap.

Ayat-ayat berikutnya melanjutkan teguran-Nya dengan menyatakan bahwa: Adapun orang yang merasa tidak butuh kepadamu karena memiliki harta, anak, atau kedudukan maka engkau melayaninya dan menjelaskan secara sungguh-sungguh ajaran Islam. Engkau berbuat demikian, lanjut ayat 7, padahal tiada (celaan) atasmu, kalau dia tidak membersihkan diri dan memeluk Islam. Ayat 8 s/d 10 melanjutkan bahwa sedang siapa yang datang kepadamu dengan bersegera dan dalam keadaan takut—yakni sang tunanetra itu—maka engkau mengabaikannya.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 1-10

1. Ayat-ayat tadi menunjukkan betapa jujur Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan wahyu Al Qur'an sehingga teguran terhadap diri beliau pun tidak disembunyikannya.

2. Kendati sikap Nabi Muhammad saw. dalam kasus yang dibenarkan ayat-ayat ini menurut ukuran manusia terhormat adalah sangat wajar dan baik, tetapi karena beliau adalah manusia teragung, maka itu dinilai Allah tidak wajar beliau lakukan. Karena itu, ada rumus yang menyatakan bahwa: "Apa yang dianggap baik oleh orang kebanyakan, masih dapat dinilai buruk oleh yang budiman."

3. Tidak terlarang menyebut ciri yang tidak disenangi oleh yang dicirikan bila hal tersebut diperlukan untuk menjelaskan identitasnya. Menamai seseorang "si tunanetra" untuk tujuan memperkenalkannya—karena tidak ada kata lain yang dapat menunjuknya—digunakan oleh ayat ini.

4. Teguran tersebut mengajarkan bahwa ada hal-hal yang terlihat baik dan tepat melalui pandangan mata atau indikator-indikator yang tampak, tetapi pada hakikatnya jika diperhatikan lebih dalam dan dipikirkan secara saksama, atau jika diketahui hakikatnya yang terdalam maka ia tidak demikian.

5. Menghadapi—walau seorang—yang benar-benar ingin belajar dan menyucikan diri jauh lebih baik daripada menghadapi banyak orang yang hatinya tertutup.

Intisari Kandungan Ayat (Ayat 11-16)

Ayat-ayat yang lalu menegur Nabi Muhammad SAW atau siapa pun, ayat 11 dan 12 mengingatkan bahwa sekali-kali jangan mengulangi sikap itu! Sesungguhnya ia yakni ayat-ayat Al Qur'an serta ajaran yang engkau sampaikan kepada tokoh kaum musyrik itu adalah suatu peringatan, maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia mengingatnya yakni memerhatikannya.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa ajaran itu tercantum juga di dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan di sisi Allah (13 yang ditinggikan kedudukannya atau di langit lagi disucikan (14) sehingga tidak disentuh oleh sedikit kekurangan atau kekeruhan pun. Ia berada di tangan para penulis yakni dalam genggaman tangan para malaikat (15) Para malaikat itu adalah penulis-penulis yang menulis Al Qur'an dari Lauh al-Mahfudz atau duta-duta yang mulia, berbudi luhur lagi berbakti dengan kebaktian yang sangat tinggi (16).

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 11-16

1. Al-Qur’an adalah pelajaran dan peringatan. Setiap pelajaran dan peringatan baru akan bermanfaat jika ada langkah dari seseorang untuk menjadikannya pelajaran. Tidak ada gunanya Anda memiliki tiket perjalanan dan mengetahui tempat dan jam keberangkatan jika Anda tidak melangkah keluar rumah menuju stasiun/bandara.

2. Prinsip-prinsip ajaran yang terdapat dalam al- Qur’an, yakni akidah, syariah, dan akhlak terdapat juga dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah; Taurat, Injil, Zabur, dan shuhuf Ibrahim.

3. Ada malaikat yang antara lain berfungsi sebagai duta-duta bagi manusia, dalam arti melakukan kegiatan yang bermanfaat, bermohon kepada Allah kiranya si A atau si B memperoleh pengampunan dan perlindungan Allah.

Kelompok ayat-ayat yang lalu berbicara tentang keniscayaan Hari Kemudian dan sikap manusia yang durhaka terhadap jalannya; mereka yang enggan memerhatikan Al Qur'an.

Ayat 17 mengecam mereka yang angkuh itu dan siapa pun yang enggan menyambut tuntunan Al Qur'an dengan menyatakan: Binasalah manusia yang durhaka; alangkah amat sangat besar kekafirannya! Bukan saja pada banyaknya kekufuran, tetapi juga pada kualitas kekufurannya yang demikian mantap. Lebih lanjut kandungan ayat tersebut bagaikan berkata Apakah gerangan yang membuatnya kafir dan ingkar?

Lalu, ayat 18 bagaikan berkata: Tidakkah dia berpikir dari apakah Dia yakni Allah menciptakannya? Tanpa menunggu jawaban, langsung dijawab oleh ayat 19—karena siapa pun yang berakal tidak akan menjawab selainnya—bahwa: Dari setetes mani yang kadarnya sangat sedikit dan terlihat remeh/menjijikkan. Dia Yang Maha Kuasa itu menciptakannya lalu menetapkan kadar-nya yakni menentukan fase-fase kejadiannya hingga sempurna dan lahir sebagai manusia. Kemudian setelah sempurna kejadiannya sebagai janin, jalan untuk keluar dari perut ibunya Dia memudahkan (20) kemudian Dia mematikannya setelah berlalu usia yang ditetapkan Allah baginya, lalu Allah memerintahkan memasukkannya ke dalam kubur (21) kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya dari kubur (22). Selanjutnya, ayat 23 memperingatkan seluruh manusia: Sekali-kali jangan! Yakni jangan angkuh dan jangan kafir! Atau "Hati-hatilah!" Ayat 23 menjelaskan sebabnya, yakni karena dia belum menuntaskan tugasnya yang diperintahkan Allah sejak dia mukallaf/ dewasa sampai kematiannya.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 17-23

1. Manusia perlu mempelajari asal kejadian dan jati dirinya, agar menyadari kelemahannya sehingga tidak angkuh dan selalu memohon bantuan Allah dan agar mengetahui potensi-potensinya, agar mengembangkan dan memanfaatkannya. Di samping itu siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan dapat mengenal keagungan dan kebesaran Tuhannya.

2. Pengetahuan tentang kapan datangnya Kiamat, sedikit pun tidak diketahui manusia—berbeda dengan pengetahuannya tentang kelahiran anak atau kematian. Itu sebabnya ketika menguraikan tentang Hari Kebangkitan, ayat tadi menggunakan kalimat Bila Dia menghendaki.

3. Siapa pun dan betapapun sempurnanya ibadah dan ketakwaan, namun manusia tetap saja tidak dapat melaksanakan secara sempurna dan tuntas seluruh apa yang ditugaskan Allah kepada-Nya. Itu salah satu sebab mengapa Allah membuka pintu taubat.

Intisari Kandungan Ayat (Ayat 24-32)

Setelah ayat-ayat yang lalu mengajak manusia memerhatikan dirinya, ayat 24 mengajak untuk memerhatikan bahan makanannya dengan mata kepala dan mata hati. Ayat 24 seakan-akan berkata: Kalau manusia hendak melaksanakan tugasnya dengan baik maka hendaklah manusia itu melihat ke makanannya, memerhatikan serta merenungkan bagaimana proses yang dilaluinya sehingga siap dimakan. Ayat 25 hingga 30 menjelaskan sekelumit proses itu dan hasil yang dipersembahkannya, yakni Sesungguhnya Kami telah mencurahkan air dari langit sederas-derasnya (25), kemudian Kami belah bumi yakni merekahnya melalui tumbuh-tumbuhan dengan belahan yang sempurna (26), lalu Kami tumbuhkan padanya yakni di bumi itu biji-bijian (27), dan anggur serta sayur-sayuran (28) dan juga pohon Zaitun serta pohon kurma (29), kebun-kebun yang lebat [30], serta buah-buahan dan )Abba*) yakni rumput-rumputan (31) Itu semua adalah untuk kesenangan kamu wahai umat manusia dan juga untuk binatang-binatang ternak kamu (32).

* Sayyidina Abu Bakar RA pernah ditanya tentang arti Abba (ayat 31), lalu beliau menjawab dengan "Saya tidak tahu." Jawaban serupa dikemukakan juga oleh Sayyidina Umar Ibnu al-Khaththab RA. Ini memberi pelajaran untuk tidak menjawab pertanyaan yang kita tidak ketahui, sekaligus larangan menafsirkan Al Qur'an secara spekulatif. Biarlah orang lain atau generasi berikut yang menjelaskannya, bila mereka mampu.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 24-32

1. Melihat dan merenung tentang bahan makanan, bagaimana proses kejadiannya, lalu memilih yang terbaik dan sesuai untuk dimakan, merupakan salah satu perintah Allah yang perlu diperhatikan.
2. Setiap orang harus dapat menarik pelajaran dari fenomena alam, semakin dalam renungan, semakin banyak rahasia dan manfaatnya yang dapat terungkap.
3. Manusia hendaknya selalu mengingat nikmat-nikmat Allah—dan alangkah banyaknya nikmat tersebut, antara lain ketersediaan yang lebih dari cukup.
4. Persada bumi ini bahan pangan untuk seluruh makhluk hidup.

Ayat-ayat yang lalu menguraikan tentang aneka makanan yang disiapkan Allah bagi manusia. Di sana, terlihat betapa Allah kuasa mencipta. Pepohonan dipetik buahnya bahkan berguguran dedaunannya, khususnya pada musim gugur, kemudian berkembang lagi pada musim bunga.

Apa yang berjatuhan dari pepohonan, lalu bercampur dengan tanah dapat tumbuh lagi, antara lain menunjuk kuasa-Nya membangkitkan yang mati. Jika demikian, Kiamat pasti datang. Nah, ayat 33 menegaskan: maka apabila kiamat datang dengan suara yang memekakkan yaitu tiupan sangkakala yang kedua, pertanda bangkitnya semua makhluk dari kuburnya, pada hari itu semua manusia lari dari saudaranya (34), dan dari ibu dan bapaknya (35), serta dari teman yakni istri dan anak-anaknya (36).

Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang sangat menyibukkannya (37) sehingga masing- masing hanya mengurus dirinya, enggan diganggu oleh siapa pun. Setelah masing-masing selesai mempertanggungjawabkan amal-amalnya, maka ketika itu menurut ayat 38, banyak muka-muka yang berseri-seri penuh cahaya, tertawa dan gembira ria menikmati anugerah Allah (39).

Mereka itu adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan menurut ayat 40, banyak juga muka-muka pada hari itu, wajah-nya terdapat debu yakni ditempel oleh debu sehingga tampak keruh, dan ditutup oleh kegelapan yang sangat hitam (41). Mereka itu adalah orang-orang kafir yang mengingkari keesaan Allah dan keniscayaan Kiamat lagi pendurhaka-pendurhaka (43), yakni pelaku-pelaku kejahatan dan amal-amal tidak terpuji.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 33-42

1. Perhatikanlah fenomena alam niscaya Anda memperoleh contoh tentang kuasa Allah membangkitkan orang yang telah mati.
2. Pada Hari Kiamat, semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. Semua juga takut mempertanggungjawabkan amal-amalnya tanpa dapat melempar tanggung jawab, tidak juga dapat saling tolong-menolong, kendati yang mengharapkan bantuan adalah orang yang paling dicintai. Situasi ini paling tidak terjadi pada awal tahap perhitungan Allah.
3. Di Hari Kemudian hanya ada dua kelompok besar, yaitu yang bermuka ceria dan bergembira ria, karena berbahagia dengan surga dan yang bermuka keruh lagi berwajah hitam karena takut, sedih memperoleh siksa yang pedih.

Demikian, Wa Allah A'lam.

Wednesday 13 November 2013

AN-NAZI'AT /PARA PENCABUT (QS 79)

 

 Pendahuluan: 
Makkiyyah, 46 ayat ~ Ayat-ayat pembukaan surat al-Nazi'ât berisikan sumpah Allah Swt. bahwa hari kebangkitan mungkin, tidak mustahil, terjadi. Ayat-ayat selanjutnya menuturkan kisah Mûsâ a. s. bersama Fir'aun dengan tujuan menghibur hati Nabi Muhammad saw. Surat ini menyinggung pula upaya dan kiat manusia di dunia, memaparkan dengan jelas nasib buruk yang akan menimpa orang yang berbuat sewenang-wenang (zalim) dan orang-orang yang melakukan pengkhianatan. Pada bagian akhir surat dijelaskan sikap orang-orang musyrik yang bertanya-tanya tentang masa datangnya hari kiamat. Ditutup dengan keterangan menyangkut tugas Nabi Muhammad sebagai pemberi peringatan kepada manusia yang merasa dirinya takut pada hari kiamat, bukan untuk memberitahukan waktu terjadinya.]] Aku bersumpah demi yang diberi kekuatan untuk mencabut sesuatu dari akarnya dengan kuat,
  1. Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, (QS. 79:1)
  2. dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, (QS. 79:2)
  3. dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, (QS. 79:3)
  4. dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang, (QS. 79:4)
  5. dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia) 1551, (QS. 79:5)
  6. (Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncangkan alam, (QS. 79:6)
  7. tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua. (QS. 79:7)
  8. hati manusia pada waktu itu sangat takut, (QS. 79:8)
  9. pandangannya tunduk. (QS. 79:9)
  10. (Orang-orang kafir) berkata: “Apakah kami benar-benar dikembalikan kepada kehidupan yang semula 1552?” (QS. 79:10)
  11. Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila telah menjadi tulang belulang yang hancur lumat? (QS. 79:11)
  12. Mereka berkata: “Kalau demikian, itu adalah suatu pengembalian yang merugikan”. (QS. 79:12)
  13. Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah dengan satu kali tiupan saja, (QS. 79:13)
  14. maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi. (QS. 79:14)
  15. Sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa, (QS. 79:15)
  16. Tatkala Rabbnya memanggilnya di lembah suci ialah lembah Thuwa; (QS. 79:16)
  17. Pergilah kamu kepada Fir’aun, susungguhnya dia telah melampaui batas, (QS. 79:17)
  18. dan katakanlah (kepada Fir’aun): “Apakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)” (QS. 79:18)
  19. Dan kamu akan kupimpin ke jalan Rabbmu agar supaya kamu takut kepada-Nya? (QS. 79:19)
  20. Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mu’jizat yang besar. (QS. 79:20)
  21. Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai. (QS. 79:21)
  22. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). (QS. 79:22)
  23. maka ia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (QS. 79:23)
  24. (Seraya) berkata: “Akulah Rabbmu yang paling tinggi”. (QS. 79:24)
  25. Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia. (QS. 79:25)
  26. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Rabbnya). (QS. 79:26)
  27. Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya, (QS. 79:27)
  28. Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya, (QS. 79:28)
  29. dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang. (QS. 79:29)
  30. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. (QS. 79:30)
  31. Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. (QS. 79:31)
  32. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (QS. 79:32)
  33. (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. (QS. 79:33)
  34. Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. (QS. 79:34)
  35. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya, (QS. 79:35)
  36. dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. (QS. 79:36)
  37. Adapun orang yang melampaui batas, (QS. 79:37)
  38. dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, (QS. 79:38)
  39. maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). (QS. 79:39)
  40. Dan adapun orang-orang yangtakut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. (QS. 79:40)
  41. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS. 79:41)
  42. (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya 1553? (QS. 79:42)
  43. Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)? (QS. 79:43)
  44. Kepada Rabbmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). (QS. 79:44)
  45. Kamu hanya memberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit). (QS. 79:45)
  46. Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari 1554. (QS. 79:46)

Thursday 24 October 2013

Surat AN-NABA' (QS 78)

Bismillahirrohmanirrohim
Surat ini dimulai dengan pertanyaan yang meng­isyaratkan dan mengesankan besar dan agungnya hakikat yang mereka perselisihkan. Yaitu, persoalan besar yang tidak ada keraguan padanya dan tidak ada syubhat. Pertanyaan ini diakhiri dengan me­ngemukakan ancaman kepada mereka terhadap hari yang kelak akan mereka ketahui hakikatnya,
‘Tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidal kelak mereka akan mengetahui. Kemu­dian sekali-kali tidal kelak mereka akan mengetahui. ” (An Naba’: 1-5)

Dari sana kemudian segmen berikutnya beralih dari makna pembicaraan itu, dari berita ini, dan dibiarkannya ia hingga waktunya kemudian dibawanya mereka beralih kepada sesuatu yang terjadi di hadapan mereka dan di sekitar mereka, mengenai diri mereka sendiri dan alam semesta yang padanya terdapat persoalan yang besar juga. Alam itu me­nunjukkan sesuatu yang ada di baliknya dan mengisyaratkan kepada apa yang akan dibacanya,
Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan, gunung-gunung sebagai pasak, Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, Kami jadikan malam sebagai pakaian, Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, Kami bangun atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat?” (An Naba’: 6-16)

Dari kumpulan hakikat-hakikat, pemandangan-pemandangan, lukisan-lukisan, dan kesan-kesan ini mereka dibawa kembali kepada berita besar yang mereka perselisihkan dan yang diancamkan kepada mereka pada hari mereka mengetahuinya, untuk dikatakan kepada mereka apakah ia dan bagaimana terjadi.
‘Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan, yaitu hari ( yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok. Dibukakan langit, maka terdapatlah beberapa pintu; dan Dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamor­ganalah ia.” (An Naba’: 17-20)

Kemudian dibentangkan lah pemandangan azab dengan segala kekuatan dan kekerasan nya,
‘Sesungguhnya neraka, jahanam itu (padanya) ada tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. Mereka tidak merasa­kan kesejukan di dalamnya dan (tidak pula) mendapat minuman selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal. Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya. Segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. Karena itu, rasakanlah. Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain dari azab.”(An Naba’: 21-30)
Kemudian ditunjukkan pula pemandangan nikmat yang memancar demikian derasnya,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun, buah anggur, gadis-­gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan) dusta. Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak.” (An Naba’: 31-36)

Kemudian surat ini ditutup dengan memberikan kesan yang luhur mengenai hakikat hari itu di dalam pemandangan yang ditampakkan padanya. Juga dengan memberikan peringatan kepada manusia sebelum datangnya hari yang padanya terdapat pemandangan yang agung ini,
‘Tuhan yang Memelihara langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia. Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepada­nya oleh Tuhan yang Maha Pemurah, dan ia mengucap­kan kata yang benar. Itulah hari yang pasti terjadi. Karena itu, barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. Sesungguh­nya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) dengan siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah. “‘ (An Naba’: 37-40)

Itulah berita besar yang mereka pertanyakan. Itulah berita besar yang kelak akan mereka ketahui.
Berita Besar
“Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidal kelak mereka akan mengetahui. Kemu­dian sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui. (An Naba’: 1-5)

Inilah bagian permulaan yang mengandung per­tanyaan bernada ingkar terhadap persoalan yang mereka pertanyakan dan mengandung keheranan mengapa persoalan seperti itu mereka pertanyakan. Mereka mempertanyakan hari kebangkitan dan berita tentang kiamat. Inilah persoalan yang mereka perdebatkan dengan sengit, dan hampir-hampir mereka tidak pernah membayangkan terjadinya, padahal inilah yang paling utama mereka lakukan.
‘Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya ? (An Naba’: 1)
 
Persoalan apakah yang mereka perbincangkan? Kemudian dijawab. Pertanyaan itu tidak dimaksudkan untuk me­ngetahui jawabannya dari mereka, tetapi hanya untuk menunjukkan keheranan terhadap keadaan mereka dan untuk mengarahkan perhatian terhadap keganjilan pertanyaan mereka. Diungkaplah per­soalan yang mereka pertanyakan dan dijelaskanlah hakikat dan tabiatnya,
‘Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini.” (An Naba’: 2-3)

Tidak disebutkan batas tentang sesuatu yang mereka pertanyakan itu dengan menyebutkan wujudnya, melainkan hanya disebutkan sifatnya saja. Penyebutan sifatnya ini untuk menyampaikan berita yang besar dengan menunjukkan ketakjuban. Juga untuk mengagungkan dan menunjukkan perbedaan sikap terhadap hari itu antara orang-orang yang mengimaninya dan orang-orang yang tidak memper­cayai terjadinya. Adapun yang mempertanyakannya hanyalah mereka saja. Kemudian tidak diberikan jawaban tentang apa yang mereka pertanyakan itu. Tidak dipaparkan pula hakikat sesuatu yang mereka pertanyakan itu, me­lainkan dibiarkan dengan sifatnya saja yang besar. Kemudian pembicaraan beralih kepada ancaman yang ditujukan kepada mereka. Hal ini lebih mengena daripada jawaban secara langsung, dan lebih men­dalam ketakutan yang ditimbulkannya,
“Sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui. Kemudian, sekali-kali tidal kelak mereka akan mengeta­hui. ” (An Naba’: 4-5)

Lafal “kallaa” sekali-kali tidak!’ diucapkan untuk membentak dan menghardik. Karena itu, lafal ini sangat tepat dipakai di sini sesuai dengan bayangan yang perlu disampaikan. Diulangnya lafal ini beserta kalimatnya adalah untuk mengancam.
Fenomena Alam yang Perlu Diperhatikan
Kemudian, di luar tema berita besar yang mereka perselisihkan itu, di bawalah mereka untuk melaku­kan perjalanan yang dekat di alam semesta yang terlihat ini bersama sejumlah benda-benda yang berwujud, fenomena-fenomena, hakikat-hakikat, dan pemandangan-pemandangan yang menggetarkan hati yang mau merenungkannya,
‘Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan, gunung-gunung sebagai pasak, Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, Kami jadikan malam sebagai pakaian, Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, Kami bangun atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tum­buhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat?” (An Naba’: 6-16)

Perjalanan di hamparan alam semesta yang luas dengan lukisan-lukisan dan pemandangan-pemandangan nya yang besar, dikemas dengan kata-kata dan kalimat kalimat singkat sehingga, memberikan kesan yang tajam, berat, dan mengena. Ia seakan akan alat pengetuk yang mengetuk bertalu-talu dengan nada berhenti dan nada putusnya.
Kalimat tanya yang diarahkan kepada lawan bicara, yang menurut ilmu bahasa menunjukkan penetapan, memang merupakan bentuk kalimat yang sengaja dibuat demikian. Seakan-akan ia merupakan tangan kuat yang mengguncangkan orang-orang lalai. Yakni, orang-orang yang mengarahkan pandangan dan hali mereka kepada himpunan makhluk dan fenomena­fenomena yang mengisyaratkan adanya pengaturan dan penentuan di belakangnya. Juga mengisyaratkan adanya kekuasaan yang mampu menciptakan dan mengulang penciptaan itu kembali, dan mengisyaratkan adanya hikmah yang tidak membiarkan makh­luk (manusia) tanpa pertanggungjawaban, tanpa dihisab, dan tanpa diberi pembalasan. Di sini, ber­temulah ia dengan berita besar yang mereka per­selisihkan itu.
Sentuhan pertama dalam perjalanan ini adalah tentang bumi dan gunung-gunung,
‘Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan .dan gunung-gunung sebagai pasak?” (An­ Naba’: 6-7)
 
‘Al-mihaad’ berarti dihamparkan untuk tempat berjalan di atasnya, dan hamparan yang lunak bagai­kan buaian. Kedua makna ini saling berdekatan. Ini adalah hakikat yang dapat dirasakan manusia apa pun tingkat kebudayaan dan pengetahuannya. Sehingga, tidak memerlukan pengetahuan yang banyak untuk memahaminya dalam bentuknya yang nyata.
Keberadaan gunung-gunung sebagai pasak bumi ini merupakan sebuah fenomena yang dapat dilihat oleh mata orang pedalaman sekalipun. Baik yang ini bumi dengan hamparannya maupun yang itu gunung yang menjadi pasak bumi) memiliki kesan tersendiri di dalam perasaan apabila jiwa manusia ter arahkan ke sana untuk merenungkannya. Akan tetapi, hakikat ini lebih besar dan lebih luas ,jangkauannya daripada apa yang diperkirakan oleh manusia badui (pedalaman) ketika ia semata-mata menerima dengan indra nya. Setiap kali meningkat dan bertambah pengetahuan manusia tentang tabiat dan perkembangannya, maka semakin besarlah kesannya terhadap ini di dalam jiwanya. Lalu, mengerti lah ia bahwa di balik itu terdapat kekuasaan Ilahi yang agung dan rencana-Nya yang halus penuh hikmah. Demikian juga dengan adanya kesesuaian antara anggota-anggota alam semesta ini dan kebutuhan-kebutuhannya, beserta disiapkan nya bumi ini untuk menerima kehidupan manusia dan mengaturnya. Juga disiapkan nya manusia untuk menyelesaikan diri dengan lingkungannya dan untuk saling mengerti.
Dihamparkan nya bumi bagi kehidupan, dan bagi kehidupan manusia secara khusus, menjadi saksi tak terbantahkan yang memberikan kesaksian akan adanya akal yang mengatur di balik alam wujud yang nyata ini. Karena itu, rusaknya salah satu kerelevan­an penciptaan bumi dengan semua kondisinya, atau rusaknya salah satu kerelevanan penciptaan kehidupan untuk hidup di bumi, maka kerusakan di sini ataupun di sana tidak akan menjadikan bumi sebagai hamparan. Juga tidak akan ada lagi hakikat yang diisyaratkan oleh Al Qur’ an secara global, untuk di­mengerti oleh setiap manusia sesuai dengan tingkat ilmu dan pengetahuannya.
Dijadikannya gunung sebagai pasak bagi bumi, dapat dimengerti oleh manusia dari segi bentuknya dengan pandangannya semata-mata, karena ia lebih mirip dengan pasak-pasak kemah yang diikatkan padanya. Adapun hakikatnya kita terima dari infor­masi Al Qur’an. Darinya kita mengetahui bahwa gunung-gunung itu memantapkan bumi dan menjaga keseimbangannya. Mungkin karena gunung­-gunung itu menyeimbangkan antara kerendahan lautan dan ketinggian gunung-gunung; menyeim­bangkan antara pengerutan rongga bumi dan pe­ngerutan atapnya; dan menekan bumi pada titik tertentu hingga ia tidak lenyap dengan adanya gempa bumi, gunung meletus, dan guncangan-guncangan dalam perutnya. Atau, mungkin karena ada alasan lain yang belum terungkap hingga kini. Karena, banyak sekali aturan dan hakikat-hakikat yang tidak
diketahui manusia yang diisyaratkan oleh Al­-Qur’an-Al-Karim, kemudian diketahui sebagiannya oleh manusia setelah beratus-ratus tahun berikutnya!
Sentuhan kedua adalah mengenai jiwa manusia, dalam beberapa segi dan hakikat yang berbeda-beda, “… Kami jadikan kamu berpasang pasangan…. (An ­Naba’: 8)

Ini juga merupakan satu fenomena yang perlu diperhatikan, yang dapat diketahui oleh setiap ma­nusia dengan mudah dan sederhana. Allah telah menjadikan manusia terdiri dari laki-laki dan wanita, dan menjadikan kehidupan dan pelestarian nya de­ngan adanya perbedaan jenis kelamin yang ber­pasangan dan pertemuan antara kedua jenis kelamin yang berbeda itu. Setiap orang mengetahui fenomena ini dan me­rasakan adanya kegembiraan, kenikmatan, kesenangan, dan kebaruan suasana tanpa memerlukan ilmu yang banyak. Karena itu, Al Qur’an membicarakan hal ini kepada manusia di lingkungan manapun ia berada. Sehingga, ia mengetahuinya dan terkesan olehnya apabila ia mengarahkan pikirannya ke sana, dan merasakan adanya tujuan, kesesuaian, dan pengaturan padanya.
Di belakang perasaan-perasaan yang bersifat global terhadap nilai hakikat ini dan kedalamannya, terdapat -pemikiran lain ketika manusia itu meningkat pengetahuan dan perasaannya. Di sana terdapat pemikiran tentang kekuasaan yang men­jadikan nutfah (mani) itu anak laki-laki dan nutfah ini anak wanita. Padahal, tidak ada sesuatu yang mem­bedakan secara jelas di dalam nutfah ini atau itu, yang menjadikannya menempuh jalannya untuk menjadi anak laki-laki atau anak wanita.
Ya Allah, ini tidak lain kecuali karena adanya iradah kodrat yang menciptakan dengan rencana yang halus, dan pengarahan yang lembut. Juga pem­berian ciri-ciri khusus yang dikehendaki-Nya pada nutfah ini dan itu, untuk menciptakan dari keduanya dua insan berpasangan, guna mengembangkan dan melestarikan kehidupan.
“…Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, Kami jadikan malam sebagai pakaian, Kami jadikan siang untuk men­cari penghidupan….”(An Naba’: 9-11)

Di antara pengaturan Allah terhadap manusia ialah menjadikan tidur sebagai istirahat dan meng­hentikan mereka dari berpikir dan beraktivitas. Dia menjadikan mereka dalam keadaan yang tidak mati dan tidak pula hidup, untuk mengistirahatkan fisik dan syaraf-syarafnya. Juga untuk memulihkan tenaga yang dikeluarkannya pada saat jaga, bekerja, dan sibuk dengan urusan kehidupan. Semua ini terjadi dengan cara menakjubkan yang manusia tidak mengerti caranya. Tidak ada andil sedikit pun iradah manusia di dalam hal ini, dan tidak mungkin ia mengetahui bagaimana hal ini berjalan dengan sempurna sedemikian rupa. Ketika dalam keadaan jaga pun, ia tidak mengetahui bagaimana cars kerjanya pada scat tidur. Apalagi dalam keadaan tertidur. Sudah tentu ia tidak mengetahui keadaan ini dan tidak dapat memperhatikannya.
Ini adalah salah satu rahasia bangunan makhluk hidup yang tidak diketahui kecuali oleh yang men­ciptakannya dan meletakkan rahasia itu padanya, serta menjadikan kehidupannya bergantung atas­nya. Maka, tidak ada seorang pun yang mampu hidup tanpa tidur kecuali dalam waktu yang sangat terbatas. Kalau ia memaksakan diri dengan meng­gunakan sarana luar agar terus berjaga (tidak tidur), maka sudah tentu ia akan binasa. Di dalam tidur pun terdapat rahasia yang tidak berkaitan dengan kebutuhan fisik dan saraf yaitu, berhenti nya ruh dari melakukan pergulatan hidup yang keras. Ketenangan mengunjunginya se­hingga ia meletakkan senjata dan meninggalkan kebunnya, senang ataupun tidak senang. Iamenyerah kepada saat kedamaian yang penuh keamanan, yang dibutuhkan setiap orang sebagaimana kebutuhannya terhadap makanan dan minuman.
Terjadilah sesuatu yang mirip mukjizat pada saat saat tertentu ketika rasa kantuk menimpa kelopak mata, ruh merasa berat, saraf-saraf telah letih, jiwa gelisah, dan hati merasa takut. Kantuk ini yang kadang-kadang hanya beberapa saat saja seakan akan membuat pembalikan (perubahan) total bagi keberadaan manusia dan memperbarui bukan hanya kekuatannya melainkan dirinya, sehingga ia seakan-akan sebagai wujud baru setelah bangun. Kemukjizatan (keluarbiasaan) ini pernah terjadi dalam bentuk yang jelas bagi kaum muslimin yang kelelahan dalam Perang Badar dan Perang Uhud. Allah memberi kenikmatan dan ketenteraman ke­pada mereka dengan kantuk ini sebagaimana yang terjadi pada banyak orang dalam keadaan keadaan yang mirip. Firman Nya,
“(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman dari-Nya. “(Al Anfaal: 11)

‘Kemudian setelah kamu berduka cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kamu.”(Ali Imran: 154)

Maka, istirahat yakni menghentikan berpikir dan beraktivitas dengan tidur ini merupakan suatu ke­harusan dari keharusan bangunan kehidupan. Ia merupakan satu rahasia dari rahasia-­rahasia kekuasaan yang mencipta dan salah satu nikmat dari nikmat-nikmat Allah yang tidak ada seorang pun yang mampu memberikannya selain Dia. Adapun mengarahkan perhatian kepadanya sebagaimana yang dicontohkan Al Qur’an ini, meng­ingatkan dan menyadarkan hati kepada kekhususan­-kekhususan Dzat-Nya. Juga kepada tangan yang me­wujudkan eksistensinya dan menyentuh hati ter­sebut dengan sentuhan yang membangkitkannya untuk memikirkan dan merenungkan serta meng­ambil kesan darinya.
Di antara pengaturan Allah juga ialah Dia men­jadikan gerakan alam ini selaras dengan gerakan makhluk-makhluk hidup. Sebagaimana Dia meletak­kan pada manusia rahasia tidur dan istirahat sesudah bekerja dan melakukan aktivitas, maka Dia meletakkan pada alam ini fenomena malam sebagai pakaian penutup yang menjadikan istirahat dan pengenduran saraf itu berjalan dengan sempurna. Juga meletak­kan fenomena siang untuk mencari penghidupan, yang dalam waktu siang inilah gerak dan aktivitas dapat berjalan dengan sempurna.
Dengan demikian, selaras dan serasi lah ciptaan Allah, dan alam ini pun sangat cocok bagi makhluk hidup dengan segala kekhususan nya. Makhluk­-makhluk hidup itu dibekali dengan susunan yang cocok dengan gerak dan kebutuhan-kebutuhannya, sesuai dengan kekhususan dan kesesuaian yang diletakkan pada alam semesta. Semua ini keluar dari tangan kekuasaan yang mencipta dan mengatur dengan serapi-rapi nya.
Sentuhan ketiga adalah tentang penciptaan langit yang sangat serasi dan sesuai dengan bumi dan makhluk hidup,
‘Kami bangun di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat?”(An ­Naba’: 12-16)

Tujuh buah langit yang kokoh yang dibangun Allah di atas bumi itu adalah langit yang tujuh, yaitu tujuh petala langit sebagaimana disebutkan di tempat lain. Dan, yang dimaksud dengannya dengan pembatas­an ini hanya Allah yang mengetahuinya. Mungkin yang dimaksudkan adalah tujuh gugusan bintang, yang setiap satu gugusan nya bisa mencapai ratusan bintang. Ketujuh gugusan inilah yang mem­punyai hubungan dengan bumi dan tata surya kita. Mungkin yang dimaksudkan bukan ini dan bukan itu. Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam susunan alam semesta ini, sedangkan yang diketahui oleh manusia hanya sedikit.
Sesungguhnya ayat ini hanya mengisyaratkan bahwa tujuh buah langit yang kokoh itu sangat kokoh dan kuat bangunannya, yang tidak mungkin retak dan berantakan. Inilah yang kita lihat dan kita ketahui dari tabiat tata surya dan benda-benda ang­kasa yang biasa kita sebut dengan langit, yang dapat diketahui oleh setiap orang. Di samping itu, ayat ini juga mengisyaratkan bahwa bangunan wajah langit yang kokoh itu serasi dengan planet bumi dan manusia. Karena itulah, ia disebutkan di dalam mem­bicarakan pengaturan Allah dan penentuan Nya ter­hadap kehidupan bumi dan manusia, yang ditunjuki oleh ayat sesudahnya, ‘Kami jadikan pelita yang amat terang.”(An Naba’:13), yaitu, matahari yang bersinar terang benderang yang menimbulkan rasa panas untuk hidupnya bumi dan makhluk-makhluk hidup di atasnya. Juga me­nimbulkan pengaruh bagi terbentuknya awan yang membawa uap air dari lautan yang luas di bumi dan menyalaminya ke lapisan lapisan udara yang sangat tinggi. Itulah Al mu’shirat ‘awan’ sebagaimana disebutkan dalam ayat,
“… dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.”(An Naba’: 14)
Ketika ia diperas, lalu turun dan berjatuhan yang berupa air. Siapakah yang memerasnya? Mungkin angin atau kehampaan aliran listrik pada beberapa tingkatan udara. Di balik semua itu terdapat tangan kekuasaan yang menimbulkan pengaruh-pengaruh pada alam semesta. Pada pelita terdapat penyalaan, panas dan cahaya, yang semuanya terdapat pada matahari. Karena itu, dipilihnya kata “siraj” ‘pelita’ di sini merupakan pilihan yang sangat cermat dan jeli. Dari pelita yang amat terang dengan segala cahaya terang dan panasnya, dan dari awan dengan air yang diperas darinya hingga banyak tercurah, tumbuhlah biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan untuk dimakan, kebun-kebun yang lebat, serta pohon-pohon yang rimbun dan bercabang-cabang.
Keserasian dan keselarasan di alam ini tidak mungkin terjadi kecuali di baliknya ada tangan yang mengaturnya, ada kebijaksanaan yang menentukan­nya, dan ada iradah yang menatanya. Hal ini dapat diketahui oleh setiap insan dengan hati dan perasaan­nya ketika perasaannya diarahkan ke sana. Apabila ilmu dan pengetahuannya meningkat, maka akan terkuak lah keserasian dan kerapian ini sedemikian luas dengan tingkatan-tingkatannya yang menjadikan akal dan pikiran kebingungan dan terkagum-­kagum. Juga menjadikan pendapat yang mengata­kannya sebagai kebetulan adalah pendapat yang tidak berbobot dan tidak perlu ditanggapi, sebagai­mana sikap orang yang tidak mau menghiraukan adanya tujuan dan pengaturan pada alam ini hanya­lah sikap keras kepala yang tidak perlu dihormati.
Alam ini ada penciptanya. Di belakang alam ini, terdapat penataan, penentuan, dan pengaturan. Hakikat-hakikat dan pemandangan-pemandangan ini disebutkan secara beruntun di dalam nash Al­ Qur’an dengan urutan seperti ini. Yaitu, dijadikannya bumi sebagai hamparan, gunung sebagai pasak bagi bumi, manusia berpasang-pasangan, tidur mereka sebagai istirahat (sesudah bergerak, berpikir, dan melakukan aktivitas), malam sebagai pakaian untuk menutup dan menyelimuti, dan siang untuk mencari penghidupan, berpikir, dan beraktivitas. Kemudian dibangunnya rajah langit yang kokoh, dijadikannya pelita yang amat terang (matahari), dan diturunkan­nya air yang tercurah dari awan untuk menumbuh­kan biji-bijian, tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun.
Keberuntungan hakikat-hakikat dan pemandangan-pemandangan yang seperti ini mengesankan ada­nya pengaturan yang cermat, mengisyaratkan adanya pengaturan dan penentuan, dan mengesankan adanya Sang Maha Pencipta yang Maha Bijaksana lagi Maha Kuasa. Disentuhnya hali dengan sentuhan­-sentuhan yang mengesankan dan mengisyaratkan adanya maksud dan tujuan di belakang kehidupan ini. Dari sini, bertemulah konteks ini dengan berita besar yang mereka perselisihkan itu!

Hari Perhitungan dan Pembalasan
Semua itu adalah agar manusia bisa berbuat dan bersenang-senang, dan di belakangnya terdapat perhitungan dan pembalasan. Hari keputusan itu sudah ditentukan waktunya,
‘Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan, yaitu hari ( yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok. Dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu; dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamor­ganalah ia.(An Naba’: 17-20)

Sesungguhnya manusia tidak diciptakan dengan sia-sia dan tidak dibiarkan tanpa pertanggung­jawaban. Dzat yang telah menentukan kehidupan mereka dengan ketentuan sebagaimana telah di­sebutkan di muka dan menyerasikan kehidupan mereka dengan alam tempat hidup mereka, tidak mungkin membiarkan mereka hidup tiada guna dan mati dengan sia-sia, membiarkan mereka berbuat kebaikan atau kerusakan di bumi, lantas mereka pergi ke dalam tanah dengan sia-sia begitu saja. Tidak mungkin Dia membiarkan mereka mengikuti pe­tunjuk jalan yang lurus dalam kehidupan atau mengikuti jalan yang sesat, lantas semuanya dipertemukan dalam satu tempat kembali. Tidak mungkin mereka berbuat adil dan berbuat zhalim, lantas keadilan atau kezhaliman itu berlalu begitu saja tanpa mendapatkan pembalasan.
Sungguh di sana akan ada suatu hari untuk mem­berikan ketetapan, membedakan (antara yang benar dan yang salah, yang adil dan yang zhalim, yang baik dan yang buruk), dan memberi keputusan terhadap segala sesuatu. Yaitu, hari yang sudah ditentukan dan ditetapkan waktunya oleh Allah,
“Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan. (An Naba’: 17)

Yaitu, hari yang ketika itu tatanan alam semesta sudah terbalik, ikatan-ikatan peraturannya sudah berantakan dan tidak berlaku lagi.
“Yaitu, hari ( yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok. (An Naba’: 18)

Ash-shuur artinya ‘sangkakala’. Kita tidak mengetahui nama lain selain itu. Kita tidak mengetahui kecuali akan ditiup. Kita tidak perlu menyibukkan diri untuk memikirkan bagaimana caranya. Karena, memikirkan cara peniupan nya itu tidak akan me­nambah keimanan kita dan tidak ada pengaruhnya terhadap peristiwa itu. Allah telah memelihara potensi kita agar tidak kita gunakan secara sewenang-wenang untuk membicarakan apa yang ada di balik perkara gaib yang tersembunyi ini. Dia telah memberikan kepada kita ukuran tertentu yang bermanfaat bagi kita, sehingga kita tidak menambah-nambahnya. Kita hanya membayangkan tiupan sangkakala yang membangkitkan dan mengumpulkan manusia untuk datang berkelompok-kelompok. Kita bayang­kan pemandangan ini dan manusia-manusia yang telah hilang jati diri dan sosoknya dari generasi demi generasi, dan meninggalkan permukaan bumi untuk ditempati oleh orang-orang yang datang sesudahnya agar tidak menjadi sempit bagi mereka permukaan bumi yang terbatas ini.
Kita bayangkan pemandangan yang berupa manusia secara keseluruhan (sejak manusia pertama hingga manusia terakhir) bangun dan berdiri, lalu datang berbondong-bondong dari setiap lembah menuju ke tempat mereka dikumpulkan. Kita bayangkan kubur-kubur yang berserakan dan manusia-­manusia yang bangun darinya. Kita bayangkan se­muanya berkumpul menjadi satu dan ketika itu yang pertama tidak mengenal yang belakangan. Kita bayangkan ketakutan yang ditimbulkan oleh berkumpulnya manusia sedemikian rupa yang tidak pernah terjadi semua manusia berkumpul dalam satu waktu seperti yang terjadi pada hari ini. Di mana? Kita tidak tahu. Karena, di alam yang kita ketahui pernah terjadi berbagai peristiwa dan hal-hal me­nakutkan yang bersifat fisik itu, telah terjadi perubah­an luar biasa,
‘Dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu; dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fata­morganalah ia.” (An Naba’: 19-20)

Langit yang dibangun dengan kokoh, dibuka lalu terdapat beberapa pintu. Ia pecah terbelah, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat dan surat lain. Langit berubah keadaannya dengan keadaan yang belum pernah kita alami selama ini. Sedangkan, gunung-gunung yang menjadi pasak bumi dijalankan sehingga menjadi fatamorgana. Ia dihancur-lebur kan, berantakan, dan berhamburan ke udara, digerakkan oleh angin, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat dan surat-surat lain. Karena itu, ia tidak ada wujud­nya lagi bagaikan fatamorgana, atau ia yang telah menjadi debu itu diterpa cahaya sehingga menjadi seperti fatamorgana. Sungguh menakutkan dan mengerikan terjadinya ke-amburadul-an alam yang dapat dipandang mata itu, sebagaimana menakutkan nya ketika manusia di­kumpulkan setelah ditiup nya sangkakala. Inilah hari keputusan yang sudah ditentukan bakal terjadinya itu, dengan hikmah dan rencana Allah.

Neraka Jahannam dan Penghuninya
Ayat-ayat berikutnya melanjutkan perjalanan ke belakang peniupan sangkakala dan pengumpulan manusia di padang mahsyar. Maka, dilukiskan lah tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas dan orang-orang yang bertaqwa. Pembahasan dimulai dengan membicarakan kelompok pertama yang mendustakan dan mempertanyakan berita yang besar itu,
Sesungguhnya neraka jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal. Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya. Segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. Karena itu, rasakanlah. Kami sekali-kali tidak akan menambah kepadamu selain azab. “( An Naba’: 21-30)

Sesungguhnya neraka Jahannam itu sudah dicipta­kan, sudah ada, dan padanya ada tempat pengintai bagi orang-orang yang melampaui batas. Ia me­nunggu dan menantikan mereka yang akan sampai juga ke sana, karena ia memang disediakan dan disiapkan untuk menyambut mereka. Seakan-akan mereka melakukan perjalanan (tour) di bumi, kemu­dian mereka kembali ke tempat asalnya. Mereka datang ke tempat kembalinya ini untuk menetap di sini dalam masa yang amat panjang, berabad-abad, ‘Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman.”(An Naba’: 24)

Kemudian dikecualikan, tetapi pengecualian ini lebih pahit dan lebih pedih,
“… selain air yang mendidih dan nanah. (An Naba’: 25)

Kecuali air yang panas mendidih, yang memang­gang kerongkongan dan perut. Nah, inilah ke­sejukan itu. Juga kecuali nanah yang meleleh dan mengalir dari tubuh orang-orang yang dibakar itu. Maka, inilah minumannya!
‘:..sebagai pembalasan yang setimpal. (An Naba’: 26)

Setimpal dengan tindakan dan kelakuan mereka pada masa lalu sewaktu di dunia dulu.
“Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab. ” (An ­Naba’: 27)

Mereka tidak takut pada tempat kembalinya nanti.
“.. dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya….” (An Naba’: 28)

Tekanan keras pada lafal ini mengisyaratkan sangat kerasnya pendustaan dan kebandelan mereka. Allah menghitung atas mereka setiap sesuatunya dengan hitungan yang amat cermat dan tidak satu pun yang terluput,
“Segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. ” (An Naba’: 29)

Di sini datanglah ledekan yang memutuskannya dari segala harapan untuk mendapat perubahan atau keringanan,
“Karena itu, rasakanlah. Kami sekali-kali tidak akan menambah kepadamu selain dari azab!” (An Naba’: 30)

Keadaan Orang-rang yang Bertaqwa
Sesudah dibentangkan pemandangan orang-­orang yang melampaui batas di dalam air yang men­didih, dibeberkan lah pemandangan sebaliknya. Yakni, pemandangan orang-orang bertaqwa yang ada di dalam surga,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengarkan perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta. Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak. (An Naba’: 31-36)

Apabila Jahannam itu menjadi pengintai dan tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas, yang mereka tidak dapat lepas dan melintas darinya, maka orang-orang yang bertaqwa akan berkesudah­an di tempat keberuntungan dan keselamatan yang berupa “kebun-kebun dan buah anggur”. Disebutkan nya buah anggur secara khusus dan tertentu di sini adalah karena anggur itulah yang populer di kalang­an orang-orang yang mendengar firman ini. Juga gadis-gadis remaja yang sebaya “umur dan kecantikannya. ‘Dan, gelas gelas yang penuh” berisi minuman.
Ini adalah kenikmatan-kenikmatan yang lahirnya bersifat inderawi, untuk mendekatkannya kepada apa yang dibayangkan manusia. Adapun hakikat rasa dan kenikmatannya belum pernah dirasakan oleh penduduk dunia karena mereka terikat dengan batas-batas dan gambaran-gambaran duniawi. Di samping kenikmatan lahiriah yang demikian, mereka juga mengalami keadaan yang dirasakan oleh hati dan perasaan,
‘Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta. (An Naba’: 35)

Kehidupan surgawi adalah kehidupan yang ter­pelihara dari kesia-siaan dan kebohongan yang biasanya diiringi dengan bantahan dan sanggahan. Maka, hakikat (keadaan yang sebenarnya) di sini diungkap­kan, tidak ada peluang untuk membantah dan men­dustakan, sebagaimana tidak ada peluang untuk berkata sia-sia yang tidak ada kebaikan padanya. Inilah suatu keadaan dari keluhuran dan kesenangan yang cocok dengan negeri akhirat yang kekal.
“Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak.”(An Naba’: 36)

Di sini kita menjumpai fenomena keindahan dalam ungkapannya dan kesamaan bunyi pada kata dan sebagaimana kita rasakan juga irama­nya pada akhir setiap kalimatnya dengan bunyi yang hampir sama. Ini merupakan fenomena yang jelas di dalam juz ini seluruhnya secara global.

Malaikat pun Merasa Takut
Untuk melengkapi pemandangan-pemandangan hari yang padanya sempurna segala urusan itu, dan yang dipertanyakan oleh orang-orang yang memper­tanyakan, serta diperselisihkan oleh orang-orang yang memperselisihkan, maka datanglah pemandangan terakhir dalam surat ini. Yakni, ketika malaikat Jibril dan malaikat-malaikat lainnya berdiri berbaris dengan khusyu di hadapan Allah yang Rahman, tanpa berkata sepatah kata pun kecuali yang diizinkan oleh yang Rahman di tempat yang menakutkan dan agung itu,
‘Tuhan yang Memelihara langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia. Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak ber­kata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar.” (An Naba’: 37-38)

Pembalasan yang dijelaskan pada segmen di atas adalah pembalasan bagi orang-orang yang melam­paui batas dan orang-orang yang bertaqwa. Pem­balasan ini adalah “dari Tuhanmu, Tuhan yang meme­lihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara kedua­nya, yang Maha Pemurah”.
Kalimat ini serasi benar dengan sentuhan dan hakikat yang besar ini. Hakikat rububiyah ‘peme­liharaan Tuhan’ yang Esa, meliputi seluruh manusia sebagaimana ia meliputi langit dan bumi serta dunia dan akhirat, dan memberikan balasan kepada per­buatan melampaui batas dan perbuatan takwa, serta berujung padanyalah urusan akhirat dan dunia Ke­mudian, Dia adalah ‘Maha Pemurah, Pemilik dan Pem­beri rahmat”.
Karena rahmat-Nya inilah, maka diberikan balas­an kepada mereka ini dan mereka itu. Sehingga, pemberian hukuman kepada orang-orang yang me­lampaui batas itu bersumber dari rahmat Tuhan yang Rahman ini. Karena rahmat ini pula, maka ke­burukan mendapatkan balasan yang tidak sama de­ngan balasan bagi kebaikan di tempat kembali nanti.
Di samping rahmat dan keagungan ini, “mereka tidak dapat berbicara dengan Dia” pada hari yang menakutkan ketika malaikat Jibril as dan malaikat-malaikat lain berdiri “bershaf–shaf tanpa berbicara sepatah kata pun’ kecuali dengan adanya izin dari yang Maha Pemurah untuk mengucapkan perkataan yang benar. Maka, tidak ada yang diizinkan oleh Ar-Rahman ke­cuali yang sudah diketahui bahwa ia benar.

Hari yang Pasti Terjadi
Sikap orang-orang yang didekatkan kepada Allah, yang bersih dari dosa-dosa dan kemaksiatan ini ada­lah diam tanpa berkata-kata sedikit pun kecuali de­ngan adanya izin dari Allah dan dengan perhitungan. Suasananya dipenuhi dengan ketakutan, kesedihan, keagungan, dan ketundukan. Di bawah bayang-­bayang pemandangan ini terdengarlah seruan yang berisi peringatan dan mengguncang orang-orang yang tertidur dan mabuk kepalang ,
“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka, barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) dengan siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah. ” (An ­Naba’: 39-40)

Inilah guncangan keras terhadap mereka yang hatinya dipenuhi keraguan dan selalu mempertanyakan “hari yang Pasti terjadi” itu. Maka, tidak ada pe­luang untuk mempertanyakan dan memperselisih­kannya. Selagi masih ada kesempatan, “maka barang­siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada, Tuhannya “sebelum neraka Jahannam mengintai nya dan menjadi tempat kembalinya.
Inilah peringatan untuk menyadarkan orang­-orang yang mabuk kepalang, “Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kamu siksa yang dekat”. Maka, Jahannam itu senantiasa menantikan dan mengintaimu seperti yang kamu ketahui. Dunia ini secara keseluruhan adalah perjalanan yang pendek dan usia yang singkat!
Inilah azab yang mengerikan dan menakutkan, sehingga orang kafir lebih memilih hilang eksistensinya daripada masih berwujud,
‘Pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, Alang­kah baiknya sekiranya aku dahulu hanyalah tanah. ” (An ­Naba’: 40)
 
Tidaklah orang berkata seperti ini kecuali dia ber­ada dalam kesempitan dan kesedihan yang sangat. Ini adalah kalimat yang memberikan bayang-­bayang ketakutan dan penyesalan. Sehingga, ia be­rangan-angan untuk tidak pernah menjadi manusia, dan menjadi unsur yang diabaikan dan disia-siakan (tak diperhitungkan). la melihat bahwa yang demi kian itu lebih ringan daripada menghadapi keadaan yang menakutkan dan mengerikan. Ini suatu sikap yang bertolak belakang dengan keadaan ketika mereka mempertanyakan dan meragukan berita besar tersebut!!!  Allahu a’lam