Surah AL-MUZZAMMIL (Yang Berselimut)
Surat 73: 20 ayat, Diturunkan di MAKKAH
Surat ini bernama al-Muzammil, yang berarti orang yang berselimut. Yang dimaksudkan ialah Nabi Muhammad s.a.w. sendiri. Surat yang ke-73 dalam susunan Mushhaf Usmani, terdiri dari 20 ayat. “Al-Muzzammil” sebagai nama dari surat, ditemukan pada ayat yang pertama.
Ada beberapa riwayat yang menyebabkan kenapa disebut yang berselimut. Riwayat yang umum ialah Surat ini turun sesudah Nabi Muhammad s.a.w turun dari gua Hira’, menerima ayat-ayat al-Quran yang pertama kali turun, yaitu lima ayat dari Surat al-Alaq “Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq” dan seterusnya, beliau pun pulang ke rumahnya mendapati isterinya Siti Khadiah. Beliau berkata; “Zammiluuni, Zammiluuni”, selimutilah aku, selimutilah aku. Karena beliau merasa kedinginan setelah beliau dipeluk keras oleh Jibril, sebagai pengalaman pertama beliau menerima wahyu.
Satu riwayat lagi mengatakan bahwa arti berselimut disini bukanlah benar-benar berselimut kain karena kedinginan. Melainkan tanggungjawab nubuwwat dan risalat yang diberikan Allah kepada beliau, saking beratnya, seakan-akan membuat badan jadi “panas-dingin”, yaitu suatu perintah dari Allah yang wajib dia sampaikan kepada manusia terutama terlebih dahulu kepada kaumnya yang terdekat yang masih sangat kuat mempertahankan jahiliyah dan kemusyrikan. Dari semula beliau telah merasakan bahwa pekerjaan itu tidaklah mudah. Lantaran itu maka dia dipanggil Allah dengan “Muzzammil”, yang boleh diartikan orang yang diselimuti seluruh dirinya oleh tugas yang berat.
Yang ketiga ialah bahwa ayat ini turun di malam hari, sedang Nabi s.a.w. enak tidur dan berselimut. Maka datang perintah menyuruh berdiri mengerjakan sembahyang malam. Untuk sembahyang malam itu selimut hendaklah disingkirkan, segera bangun, ambil wudhu’ dan sembahyang. Ini pun dapat dipertalikan dengan ayat 79 daripada Surat 17, al-Isra’; “Dan pada sebahagian dari malam berbangkitlah bangun sebagai tambahan.”
Tahajjud ialah bangun menyentak, melepaskan selimut.
Dari ketiga keterangan itu, yang satu menguatkan yang lain dan semuanya dapat diterima, jelaslah termaktub salah satu gelar kehormatan Nabi Muhammad s.a.w. yaitu; “al-Muzzammil”, di samping gelar-gelar kehormatan beliau yang lain.
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (١)قُمِ اللَّيْلَ إِلا قَلِيلا (٢)نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلا (٣)أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا (٤)إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلا ثَقِيلا (٥)إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلا (٦)إِنَّ لَكَ فِي اَلنَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلا (٧)وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلا (٨)رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلا (٩)
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih.
(1) Wahai orang yang berselimut.
(2) Bangunlah di malam hari, kecuali sedikit.
(3) Seperduanya atau kurangilah daripadanya sedikit.
(4) Atau tambah daripadanya, dan bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan.
(5) Sesungguhnya Kami hendak menurunkan kepada engkau perkataan yang berat.
(6) Sesungguhnya bangun malam itu adalah lebih mantap dan bacaan lebih berkesan.
(7) Sesungguhnya bagi engkau pada siang hari adalah urusan-urusan yang panjang.
(8) Dan sebutlah nama Tuhan engkau dan tunduklah kepadanya sebenar-benar tunduk.
(9) Tuhan dari masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia; maka ambillah Dia jadi pelindung.
Orang Yang Berselimut
“Wahai orang yang berselimut.” (ayat 1). Ucapan wahyu Tuhan terhadap RasulNya yang membayangkan rasa kasih-sayang yang mendalam, baik karena sedang dia enak tidur dibangunkan atau karena berat tanggungjawab yang dipikulkan ke atas dirinya.
“Bangunlah di malam hari.” (pangkal ayat 2). Yaitu bangun buat mengerjakan sembahyang. Perintah Tuhan buat mengerjakan sembahyang selalu disebut dengan “Qiyam” dalam al-Quran “kerjakanlah sembahyang”. Sebab dengan menyebut bangunlah atau berdirilah sembahyang, atau mendirikan sembahyang, jelas bahwa sembahyang itu didirikan dengan sungguh-sungguh dan dengan kesadaran yang penuh; “Kecuali sedikit.” (ujung ayat 2). Yaitu tinggalkanlah malam itu buat istirahat agak sedikit, namun yang terbanyak hendaklah untuk melakukan sembahyang.
“Seperduanya.” (pangkal ayat 3). Artinya, perdualah malam itu; yang seperdua gunakan untuk mendirikan sembahyang dan yang seperdua untuk istirahat; “Atau kurangilah daripadanya sedikit.” (ujung ayat 3). Kalau dikurangi dari seperdua, jadilah dia dua pertiga untuk istirahat.
“Atau tambah daripadanya.” (pangkal ayat 4). Atau tambah dari seperdua malam, menjadi lebih banyak sembahyangnya dari tidurnya; “Dan bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan.” (ujung ayat 4).
Selain dari mengerjakan sembahyang malam itu, baik dua pertiga malam, atau separuh malam ataupun sepertiga malam, dan itu terserah kepada kekuatan mengerjakannya, hendaklah pula al-Quran yang telah diturunkan kepada engkau itu, selalu engkau baca dengan perlahan-lahan. Jangan dibaca dengan tergesa-gesa. Biar sedikit terbaca, asal isi kata-kata al-Quran itu masuk benar ke dalam hatimu dan engkau fahamkan dengan mendalam.
Menurut sebuah Hadis yang dirawikan oleh Bukhari dan Anas bin Malik, ada ditanyakan kepada Anas bagaimana cara Nabi s.a.w. membaca al-Quran. Lalu Anas memberikan keterangan bahwa Nabi bila membaca al-Quran ialah dengan suara tenang panjang, tidak tergesa terburu. Anas membuat misal kalau Nabi membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim, Bismillah beliau baca dengan panjang, Arrahman dengan panjang dan Arrahim dengan panjang pula. Dan menurut riwayat Ibnu Juraij yang diterima dari Ummi Salamah, isteri Rasulllah, kalau beliau membaca surah al-Fatihah, tiap-tiap ayat yang beliau baca seayat demi seayat dengan terpisah. Bismillahir-Rahmanir-Rahim. Beliau berhenti lalu beliau baca Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, demikian pula seterusnya. Sebab itu tidaklah beliau membacanya dengan tergesa-gesa bersambung-sambung tiada perhentian (washal).
Itulah contoh teladan daripada Nabi s.a.w. sendiri di dalam hal membaca al-Quran. Malahan beliau anjurkan supaya dilagukan membacanya. Bahkan beliau suruh baca dengan perasaan sedih, seakan-akan hendak menangis, supaya dia lebih masuk ke dalam jiwa. Abu Musa al-Asy’ari ketika beliau dengan bagus bacaan Qurannya, beliau puji dan beliau katakan; “Suaramu laksana bacaan Mazmur Nabi Daud.” Karena Nabi Daud terkenal keindahan suara beliau ketika munajat kepada Allah dengan Mazmurnya yang terkenal.
Abdullah bin Mas’ud, sahabat Rasulullah s.a.w. memberi ingat kalau membaca al-Quran jangan tergesa-gesa, jangan terburu-buru, bahkan bacalah dengan perlahan, jangan sebagai mendendangkan syair. Kalau bertemu dengan keajaibannya berhentilah sejenak merenungkannya, dan gerakan hati untuk memperhatikannya.
Oleh sebab itu bertalilah rupanya di antara kedua ibadat ini, yaitu sembahyang malam dengan membaca al-Quran dengan tartil. Dan itu pun lebih dianjurkan lagi oleh Nabi jika bulan Ramadhan; di samping mengerjakan shalatul lail (sembahyang malam, tarawih) dianjurkan pula membaca al-Quran dengan tartil, supaya jiwa lebih kuat dan hati bertambah dekat kepada Tuhan, sehingga apa yang kita mohonkan kepada Tuhan akan mudah dikabulkan.
Apakah sebab dan apa gunanya ibadat sembahyang malam dan tartil al-Quran? Jawabnya ialah ayat yang selanjutnya; “Sesungguhnya Kami hendak menurunkan kepada engkau perkataan yang berat.” (ayat 5).
Wahyu sungguh-sungguh adalah perkataan yang berat. Berat bagi rohani dan berat bagi jasmani. Kedatangan malaikat Jibril membawa wahyu itu bukanlah perkara yang enteng; bahkan memang berat.
Menurut satu Hadis yang dirawikan oleh Imam Ahmad, Abdullah bin Amer pernah bertanya kepada Nabi bagaimana permulaan datangnya wahyu kepada beliau. Beliau jawab; “Mula-mula saya dengar sebagai bunyi loceng, di waktu itu aku terdiam. Tiap-tiap wahyu turun, rasanya sebagai akan matilah aku.”
Harits bin Hisyam pun pernah menanyakan kepada beliau tentang turunnya wahyu. Beliau menjawab seperti itu juga; yaitu terdengar mulanya sebagai bunyi loceng, aku pun terpana ketika mendengar itu; setelah itu mengertilah aku semua apa yang dikatakan malaikat itu. Kadang-kadang malaikat itu sendiri berkata kepadaku, lalu aku faham apa yang dikatakannya itu.
Aisyah mengatakan bahwa dia pernah melihat ketika suatu hari Rasulullah menerima wahyu, ketika itu hari sangat dingin. Namun keringat mengalir di dahi Rasulullah s.a.w.
Hisyam bin ‘Urwah bin Zubair meriwayatkan bahwa kalau wahyu datang sedang Nabi berkenderaan, maka unta yang beliau kenderai itu tidak sanggup melangkahkan kakinya. Zaid bin Tsabit berceritera bahwa satu kali wahyu turun kepada Rasulullah, sedang kaki beliau ketika duduk bersila terletak di atas kaki Zaid. Kata Zaid di waktu itu dia merasakan sangat berat, sehingga dia tidak sanggup menggerakkan kakinya.
Ibnu Jarir dalam tafsirnya mengatakan, bahwa wahyu itu berat dari dua pihak; Berat bagi badan, sebab malaikat sedang datang. Dan berat bagi jiwa, karena berat tanggungjawabnya.
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata; “Berat wahyu itu di alam dunia ini dan berat pula di akhirat kelak pada timbangannya.”
“Sesungguhnya bangun malam itu adalah lebih mantap.” (pangkal ayat 6). Karena di waktu malam gangguan sangat berkurang. Malam adalah hening, keheningan malam berpengaruh pula kepada keheningan fikiran. Di dalam suatu Hadis Qudsi Tuhan bersabda, bahwa pada sepertiga malam Tuhan turun ke langit dunia buat mendengarkan keluhan hambaNya yang mengeluh, buat menerima taubat orang yang taubat dan permohonan maghfirat (ampunan) hambaNya yang memohonkan ampun. Maksudnya ialah bahwa hubungan kita dengan langit pada waktu malam adalah sangat dekat. Orang ahli Ilmu Alam menyebut bahwa udara ini dipenuhi oleh ether, maka ether di waktu malam itu memperdekat hubungan. Memperdekat hati; ”Dan bacaan lebih berkesan.” (ujung ayat 6). Baik bacaan sedang sembahyang ataupun membaca al-Quran dengan perlahan-lahan di malam hari, dengan tidak mengganggu orang lain yang sedang tidur.
“Sesungguhnya bagi engkau pada siang hari adalah urusan-urusan yang panjang.” (ayat 7). Memang urusan pada siang hari selalu sibuk. Tiap-tiap manusia ada saja urusannya. Dalam ayat yang lain, sebagaimana tersebut kelak dalam Surat 78, an-Naba’, ayat 11: “Dan Kami jadikan siang hari itu untuk penghidupan.”
Bercucuk tanam, menggembala, menjadi nelayan, berniaga, berperang, berusaha yang lain, dalam segala bentuk kehidupan. Dan Tuhan pula yang menyuruh tiap-tiap orang berusaha di muka bumi di siang hari mencari rezeki yang halal. Maka waktu malam adalah waktu yang tenang dan lapang.
“Dan sebutlah nama Tuhan engkau.” (pangkal ayat 8). Wadzkur, artinya ialah sebut dan ingat. Diingat dalam hati lalu dibaca dengan lidah, setali lafaz dengan makna, sesuai yang lahir dengan yang batin. 99 nama Allah, yang bernama “al-Asmaul-Husnaa”, yang berarti nama-nama yang indah. Sebutlah nama itu semuanya dengan mengingat artinya! Atau segala zikir yang telah tertentu. Puncak zikir ialah Tahlil (La Ilaha Illallah), Tahmid (Alhamdulillah), Tasbih (Subhanallah), Istighfar (Astaghfirullah), Hauqalah (La haula walaa quwwata illa billah), Takbir (Allahuakbar), dan sebagainya; “Dan tunduklah kepadanya sebenar-benar tunduk.” (ujung ayat 8).
Lakukan muraqabah, yang berarti mengintai waktu yang baik atau peluang untuk mengontakkan diri dengan Dia. Atau Mujasabah yaitu memperhitungkan kebebalan dan kelalaian diri di samping nikmat yang bengini besar dianugerahkan Allah.
Siapa yang wajib engkau sembah dan engkau tunduk kepadanya itu?
Ialah “Tuhan masyriq dan maghrib.” (pangkal ayat 9). Dia Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan perjalanan matahari dari sebelah Timur ke sebelah Barat, teratur jalannya, tidak pernah berkisar tempatnya, masa demi masa; “Tiada Tuhan melainkan Dia.” Ke sanalah hidup ini ditujukan, daripadanyalah diambil kekuatan; “Maka ambillah Dia jadi pelindung.” (ujung ayat 9).
Dengan cara yang demikianlah jasmani dan rohani engkau akan dapat kuat dan teguh melakukan tugas. Karena engkau tidak pernah jauh dari Tuhan.
* * * * *
(10) Dan bersabarlah engkau atas apa yang mereka katakan itu dan hijrahlah dari mereka dengan hijrah yang indah.
(11) Dan biarkanlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, yang mempunyai kemewahan, dan berilah mereka tangguh sejenak.
(12) Sesungguhnya di sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang bernyala-nyala.
(13) Dan makanan yang mempunyai sekangan dan azab yang pedih.
(14) Pada hari, yang akan bergoncang bumi dan gunung-gunung dan jadilah gunung-gunung itu tumpukan pasir yang berterbangan.
(15) Sesungguhnya telah Kami utus kepada kamu seorang Rasul; yang akan jadi saksi terhadap kamu, sebagaimana telah Kami utus kepada Fir’aun seorang Rasul.
(16) Maka mendurhakalah Fir’aun terhadap Rasul itu; maka Kami siksalah dia dengan siksaan yang ngeri.
(17) Maka betapakah kamu akan dapat memelihara diri jika kamu kafir, pada hari yang menyebabkan anak-anak pun akan tumbuh uban.
(18) Langit pun jadi pecah belah di hari itu; adalah janji Allah pasti berlaku.
(19) Ini adalah suatu peringatan; maka barangsiapa yang mau, niscaya ditempuhnyalah jalan kepada Tuhannya.
“Dan bersabarlah engkau atas apa yang mereka katakan itu.” (pangkal ayat 10). Macam-macamlah kata-kata yang dilontarkan oleh kaum musyrikin itu terhadap Nabi s.a.w. untuk melepaskan rasa dendam dan benci. Dituduh gila, dituduh tukang sihir, dituduh tukang tenung dan sebagainya. Maka disuruh Tuhanlah Nabi bersabar, jangan naik darah, hendaklah berkepala dingin mendengarkan kata-kata demikian. Karena jika kesabaran hilang, pedoman jalan yang akan ditempuh atau rencana yang tengah diperbuat akan gagal semua tersebab hilang kesabaran. Sabar adalah satu syarat mutlak bagi seorang Nabi atau seorang pemimpin yang ingin berhasil dalam perjuangannya. “Dan hijrahlah dari mereka dengan hijrah yang indah.” (ujung ayat 10).
Hijrah yang dimaksud di sini belumlah hijrah negeri, khususnya belum hijrah ke Madinah. Hijrah di sini ialah dengan menjauhi mereka, jangan dirapatkan pergaulan dengan mereka. Jika mereka memaki-maki atau mencela, berkata yang tidak bertanggungjawab, sambutlah dengan sabar dan jangan dibalas dengan sikap kasar pula. Hijrah yang indah ialah membalas sikap mereka yang kasar itu dengan budi yang luhur, dengan akhlak yang tinggi. Tentang keluhuran budi itu telah ada pengakuan Allah atas RasulNya pada ayat 4 dari Surat 68, al-Qalam yang telah kita uraikan terlebih dahulu. Lantaran itu bagaimanapun sakitnya telinga mendengarkan caci-maki mereka, janganlah Nabi menghadapi mereka, jauhi saja mereka;
“Dan biarlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu.” (pangkal ayat 11). Janganlah engkau menuntut balas sendiri terhadap kekasaran sikap orang-orang yag mendustakan itu. Teruskan saja melakukan da’wah yang ditugaskan Tuhan ke atas pundakmu. Tentang menghadapi orang-orang seperti itu dan menentukan hukumnya, serahkan sajalah kepada Allah; “Yang mempunyai kemewahan.” Biasanya mereka berani mendustakan Rasul Allah mentang-mentang mereka kaya, mentang-mentang mereka hidup mewah penuh nimat, sehingga mereka tidak mau mengingat bahwa nikmat yang mereka gelimangi itu mereka terima dari Allah; “Dan berilah mereka tangguh sejenak.” (ujung ayat 11). Artinya biarkanlah mereka bersenang-senang, bermewah-mewah sebentar waktu. Akan berapalah lamanya dunia ini akan mereka pakai. Kemewahan itu tidak akan lama. Ada-ada saja jalannya bagi Tuhan untuk mencabut kembali nikmat itu kelak. Karena Tuhan itu Maha Kuasa memutar-balikkan sesuatu. Sejauh-jauh perjalan hidup, akhirnya akan mati. Segagah-gagah badan waktu muda, kalau umur panjang tentu akan tua. Sesihat-sihat badan, satu waktu akan sakit. Atau harta itu sendiri licin tandas, sebagai mana tandasnya kebun yang terbakar karena yang empunyanya bakhil semua, sebagai dijelaskan Tuhan dalam Surat 68 al-Qalam juga.
“Sesungguhnya di sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat.” (pangkal ayat 12). Yang akan dibelenggukan kepada kaki, tangan dan leher mereka kelak, karena kekafiran yang tidak mau menerima Kebenaran itu; “Dan neraka yang bernyala-nyala.” (ujung ayat 12). Ke dalam neraka yang bernyala-nyala itulah mereka akan dihalaukan di kemudian hari sebagai makhluk yang hina karena penuh dengan kesalahan.
“Dan makanan yang mempunyai sekangan.” (pangkal ayat 13). Ada semacam makanan dalam neraka yang bernyala-nyalal itu nanti bila dimakan dia akan tersekang di kerongkongan; masuk kedalam perut tidak mau, dikeluarkan kembali pun tidak mau; “Dan azab yang pedih.” (ujung ayat 13). Artinya ada lagi beberapa siksaan lain yang akan mereka derita. Pada waktu itu, azab siksaan yang mereka terima adalah sepadan dengan kesombongan dan besar kepala mereka di kala kedatangan Nabi.
“Pada hari, yang akan bergoncang bumi dan gunung-gunung.” (pangkal ayat 14). Karena kiamat ketika itu telah datang; “Dan jadilah gunung-gunung itu tumpukan pasir yang berterbangan.” (ujung ayat 4).
Meskipun pemuka-pemuka Quraisy yang kena ancaman itu belum mendapati ketika bumi dan gunung-gunung akan bergoncang karena kiamat, namun nasib mereka yang menantang Nabi tidak jugalah baik. Mana yang tidak tunduk menemui kematian yang sengasara disertai malu keluarga yang tinggal karena kekalahan di Perang Badar. Dan ancaman bahwa kiamat akan datang adalah hal yang diyakini, sebab alam ini tidaklah kekal.
Kemudian itu datanglah peringatan Allah untuk mendekatkan soal ini ke dalam hati orang-orang yang kafir itu; “Sesungguhnya telah Kami utus kepada kamu seorang Rasul.” (pangkal ayat 15). Peringatan kepada kaum Quraisy itu, bahwa yang datang kepada mereka ini adalah Utusan Tuhan, Muhammad, dibangkitkan dalam kaum keluarga mereka sendiri, bukan orang lain yang datang dari negeri lain; “Yang akan jadi saksi terhadap kamu.” Artinya bahwa Rasul itu akan menjadi saksi di hadapan Tuhan siapa di antara kamu yang taat, patuh dan percaya akan panggilan Rasul itu dan siapa pula yang kafir, tidak mau percaya. “Sebagaimana telah Kami utus kepada Fir’aun seorang Rasul.” (ujung ayat 15). Dibandingkan oleh Allah kedatangan Muhammad yang sekarang kepada kaumnya, dengan kedatangan Musa kepada Fir’aun.
“Maka mendurhakalah Fir’aun terhadap Rasul itu.” (pangkal ayat 16). Ditolak, dibantahnya dan dia membanggakan diri kepada Musa, sampai Fir’aun itu mendakwakan bahwa dirinyalah yang Tuhan; “Maka Kami siksalah dia dengan siksaan yang ngeri.” (ujung ayat 16). Kami tenggelamkan Fir’aun itu ke dalam dasar laut dan mampus dia di sana bersama tentera yang mengikuti dia, dan diselamatkan Allah Musa, Rasul Allah bersama Rasul Allah Harun dan Bani Israil sampai ke seberang.
Dengan menyebutkan hal ini Allah memberikan peringatan bahwa kalau Fir’aun, Raja Besar bisa remuk redam kena azab siksaan yang ngeri karena menentang Tuan, niscaya mereka itu, kaum Quraisy yang masih kufur kalau masih tidak juga berobah mudah saja bagi Tuhan menghukumnya.
“Maka betapakah kamu akan dapat memelihara diri jika kamu kafir.” (pangkal ayat 17). Ke mana kamu akan lari? Sedangkan Fir’aun dengan tetneranya yang besar tidak dapat memelihara dirinya dari azab Allah Ta’alajika azab itu datang menimpa? “Pada hari yang menyebabkan anak-anak pun akan tumbuh uban.” (ujung ayat 17). Ngeri sangat hari itu kelak. Saking ngeriny, anak kecil yang belum dewasa pun bisa tumbuh ubah dibuatnya. Inilah satu ungkapan melukiskan kengerian yang amat dahsyat. Sedangkan seorang yang muda belia, belum patut tumbuh uban, jika diberi tanggungjawab yang berat, bisa segera tumbuh uban, karena berfikir.
Orang bertanya kepada Abdulmalik bin Marwan yang menjadi Khalifah pada usia masih muda, padahal belum cukup tiga tahun memerintah, kepalanya sudah beruban. Lalu ada orang bertanya; “Mengapa selekas ini tumbuh uban, ya Amirul Mu’minin?” Beliau menjawab; “Naik ke atas mimbar berkhutbah tiap hari Jum’at itu menyebabkan kepalaku penuh uban.”
“Langit pun jadi pecah belah hari itu.” (pangkal ayat 18). Dapatlah kita fahamkan dengan langit pecah belah itu bahwa bintang-bintang tidak berjalan menurut ukuran insijam (harmonis)nya lagi. Daya tarik yang ada di antara satu bintang dengan bintang yang lain telah diputuskan, matahari telah terlepas hubungan dengan sekalian bintang yang jadi satelitnya; “Adalah janji Allah pasti berlaku.” (ujung ayat 18).
Artinya bahwa semuanya itu pasti terjadi, jangan dipandang enteng Kalam Allah ini.
“Ini adalah suatu peringatan.” (pangkal ayat 19). Ang datang dari Tuhan sendiri dan Rasul Allah adalah menyampaikan berita ini dengan jujur; “Maka barangsiapa yang mau, niscaya ditempuhnyalah jalan kepada Tuhannya.” (ujung ayat 19). Sebab di ayat 17 di atas sudah dijelaskan bahwa tidak seorang pun yang akan dapat berlepas diri atau memelihara diri, atau mengelak dari datangnya hari itu; sebagaimana juga maut, tidak seorang pun yang dapat mengelakkan diri dari cengekeramannya.
* * * * *
(20) Sesungguhnya Tuhan engkau mengetahui bahwasanya engkau berdiri hampir dari dua pertiga malam dan seperdua malam dan sepertiganya dan satu segolongan dari orang-orang yang bersama engkau. Dan Allah menentukan ukuran malam dan siang; Tuhan telah tahu bahwa kamu sekali-kali tidak akan dapat memperhitungkannya. Maka diberiNya taubatlah atas kamu. Sebab itu bacalah mana yang mudah dari al-Quran. Tuhan telah tahu bahwa akan ada di antara kamu yang sakit. Dan yang lain-lain mengembara di muka bumi karena mengharapkan kurnia dari Allah, dan yang lain-lain berperang pada jalan Allah; maka bacalah mana yang mudah daripadanya dan dirikanlah sembahyang dan berikanlah zakat dan beri pinjamlah Allah, pinjaman yang baik. Dan apa jua pun yang kamu dahulukan untuk dirimu dari kebajikan, akan kamu perdapat dia di sisi Allah, dia adalah baik dan sebesar-besar ganjara. Dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Yang Berat Diringankan
Perintah Allah pada permulaan Surat supaya Nabi Muhammad dan orang-orang ang beriman bangun sembahyang malam, menurut yang ditentukan Tuhan, telah mereka laksanakan dengan baik.
Sekarang pada penutup Sura, ayat 20 datannglah penjelasan lagi dan penghargaan Tuhan karena mereka telah melaksanakan perintah itu;
Surat 73: 20 ayat, Diturunkan di MAKKAH
Surat ini bernama al-Muzammil, yang berarti orang yang berselimut. Yang dimaksudkan ialah Nabi Muhammad s.a.w. sendiri. Surat yang ke-73 dalam susunan Mushhaf Usmani, terdiri dari 20 ayat. “Al-Muzzammil” sebagai nama dari surat, ditemukan pada ayat yang pertama.
Ada beberapa riwayat yang menyebabkan kenapa disebut yang berselimut. Riwayat yang umum ialah Surat ini turun sesudah Nabi Muhammad s.a.w turun dari gua Hira’, menerima ayat-ayat al-Quran yang pertama kali turun, yaitu lima ayat dari Surat al-Alaq “Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq” dan seterusnya, beliau pun pulang ke rumahnya mendapati isterinya Siti Khadiah. Beliau berkata; “Zammiluuni, Zammiluuni”, selimutilah aku, selimutilah aku. Karena beliau merasa kedinginan setelah beliau dipeluk keras oleh Jibril, sebagai pengalaman pertama beliau menerima wahyu.
Satu riwayat lagi mengatakan bahwa arti berselimut disini bukanlah benar-benar berselimut kain karena kedinginan. Melainkan tanggungjawab nubuwwat dan risalat yang diberikan Allah kepada beliau, saking beratnya, seakan-akan membuat badan jadi “panas-dingin”, yaitu suatu perintah dari Allah yang wajib dia sampaikan kepada manusia terutama terlebih dahulu kepada kaumnya yang terdekat yang masih sangat kuat mempertahankan jahiliyah dan kemusyrikan. Dari semula beliau telah merasakan bahwa pekerjaan itu tidaklah mudah. Lantaran itu maka dia dipanggil Allah dengan “Muzzammil”, yang boleh diartikan orang yang diselimuti seluruh dirinya oleh tugas yang berat.
Yang ketiga ialah bahwa ayat ini turun di malam hari, sedang Nabi s.a.w. enak tidur dan berselimut. Maka datang perintah menyuruh berdiri mengerjakan sembahyang malam. Untuk sembahyang malam itu selimut hendaklah disingkirkan, segera bangun, ambil wudhu’ dan sembahyang. Ini pun dapat dipertalikan dengan ayat 79 daripada Surat 17, al-Isra’; “Dan pada sebahagian dari malam berbangkitlah bangun sebagai tambahan.”
Tahajjud ialah bangun menyentak, melepaskan selimut.
Dari ketiga keterangan itu, yang satu menguatkan yang lain dan semuanya dapat diterima, jelaslah termaktub salah satu gelar kehormatan Nabi Muhammad s.a.w. yaitu; “al-Muzzammil”, di samping gelar-gelar kehormatan beliau yang lain.
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (١)قُمِ اللَّيْلَ إِلا قَلِيلا (٢)نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلا (٣)أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا (٤)إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلا ثَقِيلا (٥)إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلا (٦)إِنَّ لَكَ فِي اَلنَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلا (٧)وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلا (٨)رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلا (٩)
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih.
(1) Wahai orang yang berselimut.
(2) Bangunlah di malam hari, kecuali sedikit.
(3) Seperduanya atau kurangilah daripadanya sedikit.
(4) Atau tambah daripadanya, dan bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan.
(5) Sesungguhnya Kami hendak menurunkan kepada engkau perkataan yang berat.
(6) Sesungguhnya bangun malam itu adalah lebih mantap dan bacaan lebih berkesan.
(7) Sesungguhnya bagi engkau pada siang hari adalah urusan-urusan yang panjang.
(8) Dan sebutlah nama Tuhan engkau dan tunduklah kepadanya sebenar-benar tunduk.
(9) Tuhan dari masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia; maka ambillah Dia jadi pelindung.
Orang Yang Berselimut
“Wahai orang yang berselimut.” (ayat 1). Ucapan wahyu Tuhan terhadap RasulNya yang membayangkan rasa kasih-sayang yang mendalam, baik karena sedang dia enak tidur dibangunkan atau karena berat tanggungjawab yang dipikulkan ke atas dirinya.
“Bangunlah di malam hari.” (pangkal ayat 2). Yaitu bangun buat mengerjakan sembahyang. Perintah Tuhan buat mengerjakan sembahyang selalu disebut dengan “Qiyam” dalam al-Quran “kerjakanlah sembahyang”. Sebab dengan menyebut bangunlah atau berdirilah sembahyang, atau mendirikan sembahyang, jelas bahwa sembahyang itu didirikan dengan sungguh-sungguh dan dengan kesadaran yang penuh; “Kecuali sedikit.” (ujung ayat 2). Yaitu tinggalkanlah malam itu buat istirahat agak sedikit, namun yang terbanyak hendaklah untuk melakukan sembahyang.
“Seperduanya.” (pangkal ayat 3). Artinya, perdualah malam itu; yang seperdua gunakan untuk mendirikan sembahyang dan yang seperdua untuk istirahat; “Atau kurangilah daripadanya sedikit.” (ujung ayat 3). Kalau dikurangi dari seperdua, jadilah dia dua pertiga untuk istirahat.
“Atau tambah daripadanya.” (pangkal ayat 4). Atau tambah dari seperdua malam, menjadi lebih banyak sembahyangnya dari tidurnya; “Dan bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan.” (ujung ayat 4).
Selain dari mengerjakan sembahyang malam itu, baik dua pertiga malam, atau separuh malam ataupun sepertiga malam, dan itu terserah kepada kekuatan mengerjakannya, hendaklah pula al-Quran yang telah diturunkan kepada engkau itu, selalu engkau baca dengan perlahan-lahan. Jangan dibaca dengan tergesa-gesa. Biar sedikit terbaca, asal isi kata-kata al-Quran itu masuk benar ke dalam hatimu dan engkau fahamkan dengan mendalam.
Menurut sebuah Hadis yang dirawikan oleh Bukhari dan Anas bin Malik, ada ditanyakan kepada Anas bagaimana cara Nabi s.a.w. membaca al-Quran. Lalu Anas memberikan keterangan bahwa Nabi bila membaca al-Quran ialah dengan suara tenang panjang, tidak tergesa terburu. Anas membuat misal kalau Nabi membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim, Bismillah beliau baca dengan panjang, Arrahman dengan panjang dan Arrahim dengan panjang pula. Dan menurut riwayat Ibnu Juraij yang diterima dari Ummi Salamah, isteri Rasulllah, kalau beliau membaca surah al-Fatihah, tiap-tiap ayat yang beliau baca seayat demi seayat dengan terpisah. Bismillahir-Rahmanir-Rahim. Beliau berhenti lalu beliau baca Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, demikian pula seterusnya. Sebab itu tidaklah beliau membacanya dengan tergesa-gesa bersambung-sambung tiada perhentian (washal).
Itulah contoh teladan daripada Nabi s.a.w. sendiri di dalam hal membaca al-Quran. Malahan beliau anjurkan supaya dilagukan membacanya. Bahkan beliau suruh baca dengan perasaan sedih, seakan-akan hendak menangis, supaya dia lebih masuk ke dalam jiwa. Abu Musa al-Asy’ari ketika beliau dengan bagus bacaan Qurannya, beliau puji dan beliau katakan; “Suaramu laksana bacaan Mazmur Nabi Daud.” Karena Nabi Daud terkenal keindahan suara beliau ketika munajat kepada Allah dengan Mazmurnya yang terkenal.
Abdullah bin Mas’ud, sahabat Rasulullah s.a.w. memberi ingat kalau membaca al-Quran jangan tergesa-gesa, jangan terburu-buru, bahkan bacalah dengan perlahan, jangan sebagai mendendangkan syair. Kalau bertemu dengan keajaibannya berhentilah sejenak merenungkannya, dan gerakan hati untuk memperhatikannya.
Oleh sebab itu bertalilah rupanya di antara kedua ibadat ini, yaitu sembahyang malam dengan membaca al-Quran dengan tartil. Dan itu pun lebih dianjurkan lagi oleh Nabi jika bulan Ramadhan; di samping mengerjakan shalatul lail (sembahyang malam, tarawih) dianjurkan pula membaca al-Quran dengan tartil, supaya jiwa lebih kuat dan hati bertambah dekat kepada Tuhan, sehingga apa yang kita mohonkan kepada Tuhan akan mudah dikabulkan.
Apakah sebab dan apa gunanya ibadat sembahyang malam dan tartil al-Quran? Jawabnya ialah ayat yang selanjutnya; “Sesungguhnya Kami hendak menurunkan kepada engkau perkataan yang berat.” (ayat 5).
Wahyu sungguh-sungguh adalah perkataan yang berat. Berat bagi rohani dan berat bagi jasmani. Kedatangan malaikat Jibril membawa wahyu itu bukanlah perkara yang enteng; bahkan memang berat.
Menurut satu Hadis yang dirawikan oleh Imam Ahmad, Abdullah bin Amer pernah bertanya kepada Nabi bagaimana permulaan datangnya wahyu kepada beliau. Beliau jawab; “Mula-mula saya dengar sebagai bunyi loceng, di waktu itu aku terdiam. Tiap-tiap wahyu turun, rasanya sebagai akan matilah aku.”
Harits bin Hisyam pun pernah menanyakan kepada beliau tentang turunnya wahyu. Beliau menjawab seperti itu juga; yaitu terdengar mulanya sebagai bunyi loceng, aku pun terpana ketika mendengar itu; setelah itu mengertilah aku semua apa yang dikatakan malaikat itu. Kadang-kadang malaikat itu sendiri berkata kepadaku, lalu aku faham apa yang dikatakannya itu.
Aisyah mengatakan bahwa dia pernah melihat ketika suatu hari Rasulullah menerima wahyu, ketika itu hari sangat dingin. Namun keringat mengalir di dahi Rasulullah s.a.w.
Hisyam bin ‘Urwah bin Zubair meriwayatkan bahwa kalau wahyu datang sedang Nabi berkenderaan, maka unta yang beliau kenderai itu tidak sanggup melangkahkan kakinya. Zaid bin Tsabit berceritera bahwa satu kali wahyu turun kepada Rasulullah, sedang kaki beliau ketika duduk bersila terletak di atas kaki Zaid. Kata Zaid di waktu itu dia merasakan sangat berat, sehingga dia tidak sanggup menggerakkan kakinya.
Ibnu Jarir dalam tafsirnya mengatakan, bahwa wahyu itu berat dari dua pihak; Berat bagi badan, sebab malaikat sedang datang. Dan berat bagi jiwa, karena berat tanggungjawabnya.
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata; “Berat wahyu itu di alam dunia ini dan berat pula di akhirat kelak pada timbangannya.”
“Sesungguhnya bangun malam itu adalah lebih mantap.” (pangkal ayat 6). Karena di waktu malam gangguan sangat berkurang. Malam adalah hening, keheningan malam berpengaruh pula kepada keheningan fikiran. Di dalam suatu Hadis Qudsi Tuhan bersabda, bahwa pada sepertiga malam Tuhan turun ke langit dunia buat mendengarkan keluhan hambaNya yang mengeluh, buat menerima taubat orang yang taubat dan permohonan maghfirat (ampunan) hambaNya yang memohonkan ampun. Maksudnya ialah bahwa hubungan kita dengan langit pada waktu malam adalah sangat dekat. Orang ahli Ilmu Alam menyebut bahwa udara ini dipenuhi oleh ether, maka ether di waktu malam itu memperdekat hubungan. Memperdekat hati; ”Dan bacaan lebih berkesan.” (ujung ayat 6). Baik bacaan sedang sembahyang ataupun membaca al-Quran dengan perlahan-lahan di malam hari, dengan tidak mengganggu orang lain yang sedang tidur.
“Sesungguhnya bagi engkau pada siang hari adalah urusan-urusan yang panjang.” (ayat 7). Memang urusan pada siang hari selalu sibuk. Tiap-tiap manusia ada saja urusannya. Dalam ayat yang lain, sebagaimana tersebut kelak dalam Surat 78, an-Naba’, ayat 11: “Dan Kami jadikan siang hari itu untuk penghidupan.”
Bercucuk tanam, menggembala, menjadi nelayan, berniaga, berperang, berusaha yang lain, dalam segala bentuk kehidupan. Dan Tuhan pula yang menyuruh tiap-tiap orang berusaha di muka bumi di siang hari mencari rezeki yang halal. Maka waktu malam adalah waktu yang tenang dan lapang.
“Dan sebutlah nama Tuhan engkau.” (pangkal ayat 8). Wadzkur, artinya ialah sebut dan ingat. Diingat dalam hati lalu dibaca dengan lidah, setali lafaz dengan makna, sesuai yang lahir dengan yang batin. 99 nama Allah, yang bernama “al-Asmaul-Husnaa”, yang berarti nama-nama yang indah. Sebutlah nama itu semuanya dengan mengingat artinya! Atau segala zikir yang telah tertentu. Puncak zikir ialah Tahlil (La Ilaha Illallah), Tahmid (Alhamdulillah), Tasbih (Subhanallah), Istighfar (Astaghfirullah), Hauqalah (La haula walaa quwwata illa billah), Takbir (Allahuakbar), dan sebagainya; “Dan tunduklah kepadanya sebenar-benar tunduk.” (ujung ayat 8).
Lakukan muraqabah, yang berarti mengintai waktu yang baik atau peluang untuk mengontakkan diri dengan Dia. Atau Mujasabah yaitu memperhitungkan kebebalan dan kelalaian diri di samping nikmat yang bengini besar dianugerahkan Allah.
Siapa yang wajib engkau sembah dan engkau tunduk kepadanya itu?
Ialah “Tuhan masyriq dan maghrib.” (pangkal ayat 9). Dia Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan perjalanan matahari dari sebelah Timur ke sebelah Barat, teratur jalannya, tidak pernah berkisar tempatnya, masa demi masa; “Tiada Tuhan melainkan Dia.” Ke sanalah hidup ini ditujukan, daripadanyalah diambil kekuatan; “Maka ambillah Dia jadi pelindung.” (ujung ayat 9).
Dengan cara yang demikianlah jasmani dan rohani engkau akan dapat kuat dan teguh melakukan tugas. Karena engkau tidak pernah jauh dari Tuhan.
* * * * *
(10) Dan bersabarlah engkau atas apa yang mereka katakan itu dan hijrahlah dari mereka dengan hijrah yang indah.
(11) Dan biarkanlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, yang mempunyai kemewahan, dan berilah mereka tangguh sejenak.
(12) Sesungguhnya di sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang bernyala-nyala.
(13) Dan makanan yang mempunyai sekangan dan azab yang pedih.
(14) Pada hari, yang akan bergoncang bumi dan gunung-gunung dan jadilah gunung-gunung itu tumpukan pasir yang berterbangan.
(15) Sesungguhnya telah Kami utus kepada kamu seorang Rasul; yang akan jadi saksi terhadap kamu, sebagaimana telah Kami utus kepada Fir’aun seorang Rasul.
(16) Maka mendurhakalah Fir’aun terhadap Rasul itu; maka Kami siksalah dia dengan siksaan yang ngeri.
(17) Maka betapakah kamu akan dapat memelihara diri jika kamu kafir, pada hari yang menyebabkan anak-anak pun akan tumbuh uban.
(18) Langit pun jadi pecah belah di hari itu; adalah janji Allah pasti berlaku.
(19) Ini adalah suatu peringatan; maka barangsiapa yang mau, niscaya ditempuhnyalah jalan kepada Tuhannya.
“Dan bersabarlah engkau atas apa yang mereka katakan itu.” (pangkal ayat 10). Macam-macamlah kata-kata yang dilontarkan oleh kaum musyrikin itu terhadap Nabi s.a.w. untuk melepaskan rasa dendam dan benci. Dituduh gila, dituduh tukang sihir, dituduh tukang tenung dan sebagainya. Maka disuruh Tuhanlah Nabi bersabar, jangan naik darah, hendaklah berkepala dingin mendengarkan kata-kata demikian. Karena jika kesabaran hilang, pedoman jalan yang akan ditempuh atau rencana yang tengah diperbuat akan gagal semua tersebab hilang kesabaran. Sabar adalah satu syarat mutlak bagi seorang Nabi atau seorang pemimpin yang ingin berhasil dalam perjuangannya. “Dan hijrahlah dari mereka dengan hijrah yang indah.” (ujung ayat 10).
Hijrah yang dimaksud di sini belumlah hijrah negeri, khususnya belum hijrah ke Madinah. Hijrah di sini ialah dengan menjauhi mereka, jangan dirapatkan pergaulan dengan mereka. Jika mereka memaki-maki atau mencela, berkata yang tidak bertanggungjawab, sambutlah dengan sabar dan jangan dibalas dengan sikap kasar pula. Hijrah yang indah ialah membalas sikap mereka yang kasar itu dengan budi yang luhur, dengan akhlak yang tinggi. Tentang keluhuran budi itu telah ada pengakuan Allah atas RasulNya pada ayat 4 dari Surat 68, al-Qalam yang telah kita uraikan terlebih dahulu. Lantaran itu bagaimanapun sakitnya telinga mendengarkan caci-maki mereka, janganlah Nabi menghadapi mereka, jauhi saja mereka;
“Dan biarlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu.” (pangkal ayat 11). Janganlah engkau menuntut balas sendiri terhadap kekasaran sikap orang-orang yag mendustakan itu. Teruskan saja melakukan da’wah yang ditugaskan Tuhan ke atas pundakmu. Tentang menghadapi orang-orang seperti itu dan menentukan hukumnya, serahkan sajalah kepada Allah; “Yang mempunyai kemewahan.” Biasanya mereka berani mendustakan Rasul Allah mentang-mentang mereka kaya, mentang-mentang mereka hidup mewah penuh nimat, sehingga mereka tidak mau mengingat bahwa nikmat yang mereka gelimangi itu mereka terima dari Allah; “Dan berilah mereka tangguh sejenak.” (ujung ayat 11). Artinya biarkanlah mereka bersenang-senang, bermewah-mewah sebentar waktu. Akan berapalah lamanya dunia ini akan mereka pakai. Kemewahan itu tidak akan lama. Ada-ada saja jalannya bagi Tuhan untuk mencabut kembali nikmat itu kelak. Karena Tuhan itu Maha Kuasa memutar-balikkan sesuatu. Sejauh-jauh perjalan hidup, akhirnya akan mati. Segagah-gagah badan waktu muda, kalau umur panjang tentu akan tua. Sesihat-sihat badan, satu waktu akan sakit. Atau harta itu sendiri licin tandas, sebagai mana tandasnya kebun yang terbakar karena yang empunyanya bakhil semua, sebagai dijelaskan Tuhan dalam Surat 68 al-Qalam juga.
“Sesungguhnya di sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat.” (pangkal ayat 12). Yang akan dibelenggukan kepada kaki, tangan dan leher mereka kelak, karena kekafiran yang tidak mau menerima Kebenaran itu; “Dan neraka yang bernyala-nyala.” (ujung ayat 12). Ke dalam neraka yang bernyala-nyala itulah mereka akan dihalaukan di kemudian hari sebagai makhluk yang hina karena penuh dengan kesalahan.
“Dan makanan yang mempunyai sekangan.” (pangkal ayat 13). Ada semacam makanan dalam neraka yang bernyala-nyalal itu nanti bila dimakan dia akan tersekang di kerongkongan; masuk kedalam perut tidak mau, dikeluarkan kembali pun tidak mau; “Dan azab yang pedih.” (ujung ayat 13). Artinya ada lagi beberapa siksaan lain yang akan mereka derita. Pada waktu itu, azab siksaan yang mereka terima adalah sepadan dengan kesombongan dan besar kepala mereka di kala kedatangan Nabi.
“Pada hari, yang akan bergoncang bumi dan gunung-gunung.” (pangkal ayat 14). Karena kiamat ketika itu telah datang; “Dan jadilah gunung-gunung itu tumpukan pasir yang berterbangan.” (ujung ayat 4).
Meskipun pemuka-pemuka Quraisy yang kena ancaman itu belum mendapati ketika bumi dan gunung-gunung akan bergoncang karena kiamat, namun nasib mereka yang menantang Nabi tidak jugalah baik. Mana yang tidak tunduk menemui kematian yang sengasara disertai malu keluarga yang tinggal karena kekalahan di Perang Badar. Dan ancaman bahwa kiamat akan datang adalah hal yang diyakini, sebab alam ini tidaklah kekal.
Kemudian itu datanglah peringatan Allah untuk mendekatkan soal ini ke dalam hati orang-orang yang kafir itu; “Sesungguhnya telah Kami utus kepada kamu seorang Rasul.” (pangkal ayat 15). Peringatan kepada kaum Quraisy itu, bahwa yang datang kepada mereka ini adalah Utusan Tuhan, Muhammad, dibangkitkan dalam kaum keluarga mereka sendiri, bukan orang lain yang datang dari negeri lain; “Yang akan jadi saksi terhadap kamu.” Artinya bahwa Rasul itu akan menjadi saksi di hadapan Tuhan siapa di antara kamu yang taat, patuh dan percaya akan panggilan Rasul itu dan siapa pula yang kafir, tidak mau percaya. “Sebagaimana telah Kami utus kepada Fir’aun seorang Rasul.” (ujung ayat 15). Dibandingkan oleh Allah kedatangan Muhammad yang sekarang kepada kaumnya, dengan kedatangan Musa kepada Fir’aun.
“Maka mendurhakalah Fir’aun terhadap Rasul itu.” (pangkal ayat 16). Ditolak, dibantahnya dan dia membanggakan diri kepada Musa, sampai Fir’aun itu mendakwakan bahwa dirinyalah yang Tuhan; “Maka Kami siksalah dia dengan siksaan yang ngeri.” (ujung ayat 16). Kami tenggelamkan Fir’aun itu ke dalam dasar laut dan mampus dia di sana bersama tentera yang mengikuti dia, dan diselamatkan Allah Musa, Rasul Allah bersama Rasul Allah Harun dan Bani Israil sampai ke seberang.
Dengan menyebutkan hal ini Allah memberikan peringatan bahwa kalau Fir’aun, Raja Besar bisa remuk redam kena azab siksaan yang ngeri karena menentang Tuan, niscaya mereka itu, kaum Quraisy yang masih kufur kalau masih tidak juga berobah mudah saja bagi Tuhan menghukumnya.
“Maka betapakah kamu akan dapat memelihara diri jika kamu kafir.” (pangkal ayat 17). Ke mana kamu akan lari? Sedangkan Fir’aun dengan tetneranya yang besar tidak dapat memelihara dirinya dari azab Allah Ta’alajika azab itu datang menimpa? “Pada hari yang menyebabkan anak-anak pun akan tumbuh uban.” (ujung ayat 17). Ngeri sangat hari itu kelak. Saking ngeriny, anak kecil yang belum dewasa pun bisa tumbuh ubah dibuatnya. Inilah satu ungkapan melukiskan kengerian yang amat dahsyat. Sedangkan seorang yang muda belia, belum patut tumbuh uban, jika diberi tanggungjawab yang berat, bisa segera tumbuh uban, karena berfikir.
Orang bertanya kepada Abdulmalik bin Marwan yang menjadi Khalifah pada usia masih muda, padahal belum cukup tiga tahun memerintah, kepalanya sudah beruban. Lalu ada orang bertanya; “Mengapa selekas ini tumbuh uban, ya Amirul Mu’minin?” Beliau menjawab; “Naik ke atas mimbar berkhutbah tiap hari Jum’at itu menyebabkan kepalaku penuh uban.”
“Langit pun jadi pecah belah hari itu.” (pangkal ayat 18). Dapatlah kita fahamkan dengan langit pecah belah itu bahwa bintang-bintang tidak berjalan menurut ukuran insijam (harmonis)nya lagi. Daya tarik yang ada di antara satu bintang dengan bintang yang lain telah diputuskan, matahari telah terlepas hubungan dengan sekalian bintang yang jadi satelitnya; “Adalah janji Allah pasti berlaku.” (ujung ayat 18).
Artinya bahwa semuanya itu pasti terjadi, jangan dipandang enteng Kalam Allah ini.
“Ini adalah suatu peringatan.” (pangkal ayat 19). Ang datang dari Tuhan sendiri dan Rasul Allah adalah menyampaikan berita ini dengan jujur; “Maka barangsiapa yang mau, niscaya ditempuhnyalah jalan kepada Tuhannya.” (ujung ayat 19). Sebab di ayat 17 di atas sudah dijelaskan bahwa tidak seorang pun yang akan dapat berlepas diri atau memelihara diri, atau mengelak dari datangnya hari itu; sebagaimana juga maut, tidak seorang pun yang dapat mengelakkan diri dari cengekeramannya.
* * * * *
(20) Sesungguhnya Tuhan engkau mengetahui bahwasanya engkau berdiri hampir dari dua pertiga malam dan seperdua malam dan sepertiganya dan satu segolongan dari orang-orang yang bersama engkau. Dan Allah menentukan ukuran malam dan siang; Tuhan telah tahu bahwa kamu sekali-kali tidak akan dapat memperhitungkannya. Maka diberiNya taubatlah atas kamu. Sebab itu bacalah mana yang mudah dari al-Quran. Tuhan telah tahu bahwa akan ada di antara kamu yang sakit. Dan yang lain-lain mengembara di muka bumi karena mengharapkan kurnia dari Allah, dan yang lain-lain berperang pada jalan Allah; maka bacalah mana yang mudah daripadanya dan dirikanlah sembahyang dan berikanlah zakat dan beri pinjamlah Allah, pinjaman yang baik. Dan apa jua pun yang kamu dahulukan untuk dirimu dari kebajikan, akan kamu perdapat dia di sisi Allah, dia adalah baik dan sebesar-besar ganjara. Dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Yang Berat Diringankan
Perintah Allah pada permulaan Surat supaya Nabi Muhammad dan orang-orang ang beriman bangun sembahyang malam, menurut yang ditentukan Tuhan, telah mereka laksanakan dengan baik.
Sekarang pada penutup Sura, ayat 20 datannglah penjelasan lagi dan penghargaan Tuhan karena mereka telah melaksanakan perintah itu;
“Sesungguhnya Tuhan engkau mengetahui bahwasanya engkau berdiri
hampir dari dua pertiga malam dan seperdua malam dan sepertiganya.”
(pangkal ayat 20). Artinya segala perintah itu telah engkau jalankan
sebagaimana yang ditentukan oleh Tuhan; yang dekat dengan dua pertiga
sudah, yang seperdua malam pun sudah, demikian juga yang sepertiga.
Semuanya sudah dilaksanakan dengan baik; “Dan satu segolongan dari
orang-orang yang bersama engkau.” Artinya bahwa engkau telah memberikan
teladan tentang bangun sembahyang malam itu kepada pengikut-pengikut
setia engkau dan mereka pun telah berbuat demikian pula bersama engkau;
“Dan Allah menentukan ukuran malam dan siang.” Di musim dingin lebih
pendek siang, lebih panjang malam; di musim panas lebih panjang siang,
lebih pendek malam. Di musim kembang terdapat persamaan siang dengan
malam. Ibnu Katsir memberikan tafsir bahwa inilah hikmatnya maka sejak
semula perintah ini didatangkan, Nabi boleh membuat dua pertiga malam
atau lebih, atau kurang, atau seperdua, atau sepertiga. Karena
perimbangan malam itu tidak sama. Yang perbedaan tidak seberapa ialah di
negeri-negeri Khatulistiwa sebagai kepulauan kita di Indonesia ini.
“Tuhan telah tahu bahwa kamu sekali-kali tidak akan dapat
memperhitungkannya,” dengan teliti. Apatah lagi di zaman itu ilmu hisab
dan ilmu falak belum semaju sebagai sekarang. Belum ada buat penelitian
perjalanan musim dan pergantian hari sebagai yang ada di Greenwich
sekarang ini. Walaupun tahu, tidak pula semua orang wajib mengetahuiya.
“Maka diberiNya taubatlah atas kamu.” Artina bukanlah diberi taubat
karena ada suatu perintah yang dilanggar, melainkan beban yang berat
yang diringankan. “Sebab itu bacalah mana yang mudah dari al-Quran.”
Artinya janganlah kamu persukar dirimu karena pembacaan itu. Karena
tadinya sudah diperintahkan membaca al-Quran dengan perlahan-lahan, maka
banyaklah di antara sahabat-sahabat Rasulullah itu yang tekun membaca
lalu sembahyang, dan membaca lagi lalu sembahyang. Membaca di dalam
sembahyang dan membaca di luar sembahyang; semuanya karena ingin
melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan. Disuruh pilih di antara dua
pertiga, boleh ditambah dan boleh dikurangi, seperdua pun boleh
sepertiga pun boleh, naumn banyak yang berbuat lebih dekat kepada dua
pertiga.
Ar-Razi menukilkan dalam tafsirnya perkataan Muqatil; “Ada sahabat
Rasulullah yang sembahyang seluruh malam, karena takut kalau-kalau
kurang sempurna mengerjakan sembahyang yang wajib. “Tuhan telah tahu
bahwa akan ada di antara kamu yang sakit.” Tentu saja orang yang sakit
tidak diberati dengan perintah. Dan lagi kalau ada orang yang sembahyang
saja tersu-terusan satu malam, niscaya dia akan kurang tidur. Kurang
tidur pun bisa menimbulkan sakit. Maksud Tuhan memerintahkan beribadat,
buknlah supaya orang jadi sakit, melainkan tetap sihat wal’afiat; “Dan
yang lain-lain mengembara di muka bumi karena mengharapkan kurnia dari
Allah.” Yang dimaksudkan ialah terutama sekali, berniaga, Atau bercucuk
tanam, yang menghasilkan buah. Atau berternak yang menghasilkan binatang
peliharaan. Semuanya itu diperintahkan belaka oleh Allah, sebagaimana
tersebut di dalam Surat 67, al-Mulk ayat 15 yang telah kita ketahui di
pangkal Juzu’ 29 ini. Mencari rezeki yang halal dan yang baik adalah
suruhan pula dari Tuhan. Dengan suku ayat ini Ibnul Farash berkata bahwa
ayat yang menerangkan tentang pengembaraan di muka bumi ini mencari
kurnia dari Allah adalah satu galakan atau anjuran utama supaya
berniaga. Dia diserangkaikan dengan Jihad fi Sabilillah, dengan
sambungan ayat; “Dan yang lain-lain berperang pada jalan Allah.” Maka
kalau kurang istirahat pada malam hari, niscaya lemah bertempur dengan
mush pada siang harinya.
Ibnu Katsir menerangkan pula. Sudah sama diketahui bahwa Surat ini
diturunkan di Makkah. Masyarakat Islam baru saja tumbuh. Perintah Jihad
belum ada. Tetapi sudah mula dibayangkan bahwa ini akan terjadi. Inilah
satu mu’jizat ari Nabi Muhammad s.a.w. “Maka bacalah mana yang mudah
daripadanya.” Berdasarkan kepada Hadis yang pernah dirawikan oleh
‘Ubbadah bin Shamit, bahwa Nabi pernah bersabda: “Tidaklah ada
sembahyang, bagi orang yang tidak membaca Fatihatil Kitab,” yang
dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, maka Ulama-ulama menyatakan pendapat
bahwa yang termuda dari al-Quran itu ialah al-Fatihah. Tetapi
Ulama-ulama dalam Mazhab Hanafi ada yang berpendapat bahwa meskipun
bukan Fatihah yang dibaca, asal saja ayat al-Quran, walau satu ayat,
sembahyangnya sah juga.
Selanjutnya sabda Tuhan; “Dan dirikanlah sembahyang dan berikanlah
zakat.” Perintah mengerjakan sembahyang di dalam ayat ini menyebabkan
jadi jelas bahwa di samping sembahyang malam dengan perintah khas ini,
Rasulullah s.a.w. sebelum Mi’raj telah mendapat juga perintah melakukan
sembahyang yang lain, meskipun belum diatur lima waktu. Perintah
memberikan zakat pun telah ada sejak dari Makkah, meskipun mengatur
nishab zakat baru diatur setelah hijrah ke Madinah. Maka orang-orang
yang beriman di masa Makkah dengan bimbingan Nabi sendiri telah
sembahyang dan telah berzakat. “Dan beri pinjamlah Allah, pinjaman yang
baik.” Yaitu mengeluarkan harta-benda untuk menegakkan kebajikan, untuk
berjuang menegakkan jalan Allah, untuk menegakkan agama, dipilih dari
harta yang halal, membantu yang patut dibantu, kikis dari diri penyakit
bakhil yang sangat berbahaya itu. Tuhan di sini memilih kata-kata
“pinjam”, artinya; “Bayarkanlah terlebih dahulu rezeki yang diberikan
Allah yang ada dalam tanganmu itu, Allah berjanji akan menggantinya
kelak berlipat-gand. Orang yang pemurah tidaklah akan berkekurangan.” –
“Dan apa jua pun yang kamu dahulukan untuk dirimu dari kebajikan.” Dalam
susunan bahasa kita tiap hari; “Apa pun kebajikan yang kamu dahulukan
untuk kepentingan dan kebahagiaan dirimu; “Akan kamu perdapat dia di
sisi Allah.” Artinya tidak ada satu kebajikan pun yang telah diamalkan,
baik berderma, berwaqaf, bershadaqah, menolong dan berjuang menegakan
kebenaran, berjihad, tidak ada yang luput dari catatan Allah. “Dia
adalah baik dan sebesar-besar ganjaran.” Asal semuanya itu dikerjakan
dengan ikhlas karena Allah, ganjrannya di sisi Tuhan pun sangat baik.
Perhatikanlah isi dari sabda Tuhan itu; “Apa pun yang kamu dahulukan
dari kebajikan.” Sebab segala amalan kebajikan yang kita lakukan
sementara hidup ini samalah artinya dengan mengirimkannya lebih dahulu
ke hadhrat Allah sebagai simpanan kekayaan yang kelak pasti kita dapati
dalam perhitungan di akhirat. Mana yang telah kita belanjakan terlebih
dahulu itulah yang terang buat kita. Yang lain belum tentu buat kita.
Tiga Hadis yang sama artinya, satu dirawikan oleh Bukhari, satu lagi
oleh an-Nasa’i dan satu lagi dari Abu Ya’la, tetapi ketiga Hadis itu
melalui al-A’masy dari Ibrahim dan Harits bin Suwaid, bahwa Rasulullah
s.a.w. pernah bertanya, “Siapakah di antara kamu yang lebih suka kepada
hartanya sendiri daripada harta yang dipunyai oleh warisnya?”
Sahabat-sahabat Rasulullah yang hadir mendengar pertanyaan itu
menjawab; “Tidak ada di antara kami seorang pun yang lebih menyukai
harta kepunyaan warisnya dari mencintai hartanya sendiri!” Rasulullah
berkata lagi, “Fikirkan benarlah apa yang kamu katakan itu!” Mereka
menjawab; “Tidak ada pengetahuan kami yang lain, ya Rasulullah,
melainkan begitulah yang kejadian,” harta sendiri yang lebih disukai
daripada harta kepunyaan waris. Lalu beliau berkata; “Yang benar-benar
harta kamu ialah yang lebih dahulu kamu nafkahkan, dan yang tinggal
adalah harta kepunyaan waris kamu!”
Sama jugalah makna dari sabda Rasulullah itu dengan perumpamaan yang
biasa kita dengar; “Jika burung terbang sepuluh ekor, kamu tembak, lalu
jatuh empat; berapa yang tinggal?” Orang yang tidak sempat berfikir
dijawabnya saja; “Enam yang tinggal.” Tetapi orang yang berfikir lebih
mendalam akan menjawab; “Yang tinggal ialah yang empat ekor telah kena
itu. Adapun yang enam telah terbang, belum tentu akan dapat lagi!”
Maka pada suatu hari singgahlah penulis ini di kota Semarang menemui
seorang dermawan yang patut dihargai di zaman sebagai sekarang. Dia
wakafkan sebahagian besar dari kekayaannya untuk mendirikan sebuah rumah
sakit dan diserahkannya mengurusnya kepada Perkumpulan Muhammadiyah.
Dia telah berkata kepada anak-anaknya ketika akan memberikan wakaf itu:
“Harta benda yang untuk kamu, wahai anak-anakku sudah ada ketentuannya
di dalam al-Quran. Jika ayah mati, maka di saat roh ayah bercerai dengan
badan harta itu semuanya sudah kamu yang empunya. Di saat itu tidak ada
sebuah pun yang akan ayah bawa ke akhirat, selain lapis kafan
pembungkus diri ayah sampai hancur. Sebab itu sebelum ayah meninggal
ini, biarkanlah ayah mengirim lebih dahulu harta yang akan ayah dapati
di akhirat, dengan jalan mendirikan rumah sakit untuk menolong
orang-orang miskin yang tidak kuat membayar mahal dan dipelihara oleh
perkumpulan Islam yang dipercayai. Apa yang ayah amalkan dan kirimkan
“terlebih dahulu” itulah yang jelas harta ayah.”
Anak-anaknya pun menerima keinginan ayahnya itu dengan ikhlas. “Dan
mohonlah ampun kepada Allah.” Karena sebagai manusia yang hidup,
tidaklah akan sunyi kamu dari kealpaan dan kekhilafan. Yang penting
adalah mengakui kekurangan diri di hadapan Kebesaran Allah;
”Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (ujung ayat
20).
Sebab bagaimanapun kebajikan yang kita perbuat, amalan yang kita
kerjakan, menolong orang yang kesusahan, berjuang dan berjihad, akan ada
sajalah kekurangan kita dan tidak akan ada yang sempurna. Sebab Yang
Maha Sempurna itu hanyalah Allah Ta’ala sendiri. Maka dengan mengingat
akan dua nama Allah, pertama GHAFUR artinya Maha Pengampun dan kedua
RAHIM, Maha Penyayang, masuklah kita daripada pintunya, moga-moga
terkabul apa yang kita harapkan. Sebab bagaimanapun kekurangan, namun
niat menuju Tuhan tidaklah pernah patah.
Beberapa keterangan berhubung degan Surat al-Muzzammmil;
Suatu riwayat dari Ibnu Abbas; Tuhan menyuruh NabiNya dan orang-orang
yang beriman supaya bangun sembahyang malam, keculai sedikit, artinya
sediakan sedikit malam buat tidur. Rupanya setelah dikerjakan oleh
orang-orang Mu’min, nampak telah memberati. Lalu datanglah perintah
keringanan di akhir Surat. Maka segala puji bagi Allah.
Menurut riwayat dari Abu Abdurrahman; ketika telah turun Surat “Ya
Ayyuhal Muzzammil”, maka satu tahun lamanya kaum beriman mengerjakan
dengan tekun tiap malam, sampai kaki mereka jadi pegal lantaran lamanya
sembahyang. Lalu turunlah akhir Surat. Dengan demikian terlepaslah
mereka dari ibadat yang berat itu.
Riwayat dari Said bin Jubair, al-Hasan al-Bishri dan Ikrimah begitu juga.
Al-Hafiz Ibnu Hajar menulis dalam Syarah Bukhari; “Setengah Ulama
berpendapat bahwa pada mulanya sembahyang malamitu adalah wajib.
Kemudian perintah itu dimansuhkan dengan bangun sembahyang malam sekadar
kuat, kemudian yang itu pun dimansukhkan dengan perintah sembahyang
lima waktu.”
Tetapi al-Maruzi membantah keterangan itu.
Setengahnya lagi mengatakan sebelum Nabi Mi’raj belum ada sembahyang
yang difardhukan. As-Sayuthi berpendapat bahwa ayat 20 itu memansukhkan
kewajiban yang dipikulkan di pangkal Surat. Suatu golongan Ulama
mangatakan bahwa sembahyang malam itu tetap wajib atas Nabi saja.
Setengah Ulama lagi mengatakan bahwa atas ummat pun wajib juga, tetapi
berapa bilangannya tidaklah ditentukan, hanya asal berapa kuat saja.
Di antara ahli tafsir mengeluarkan pendapat bahwa sejak semula
Qiyamul Lail itu tetaplah nafilah atau mandub atau sunnah (dianjurkan),
tidak ada nasikh dan mansukh dalam perkara ini. Ayatnya adalah ayat
muhkam, artinya tetap berlaku. Tetapi meskipun dia perintah sunnat,
namun setengah orang yang beriman mengerjakannya dengan tekun sampai
tidak mengingat lagi akan kesihatan badan dan tidak mengingat lagi bahwa
mereka pun wajib pula berusaha mencari rezeki yang halal. Dan kemudian
hari akan datang waktunya mereka mesti pergi berperang pada jalan Allah.
Maka diperingatkanlah di akhir Surat, ayat 20 supaya ibadat itu
dilakukan ala kadarnya saja, jangan sampai memberati.
Ini pun dibuktikan pula dengan beberapa Hadis, bahwa ada orang yang
merentangkan tali tempat bergantung ketika akan berdiri menyambung
sembahyang di dalam mesjid, terutama setelah pindah ke Madinah.
Sedangkan dalam mengerjakan sembahyang tarawih atau qiyamul lail yang
bulan puasa, tersebut pula ada yang sampai sembahyang 41 rakaat dengan
witir, sampai sembahyangnya itu ditutp saja dengan makan sahur atau
dengan waktu Subuh. Maka diperingatkan oleh Tuhan agar diingat juga
kewajiban-kewajiban lain yang akan kita hadapi dalam hidup ini.
Sekian tafsir dari Surat al-Muzzammil; Alhamdulillah
- See more at: http://ibutina.com/islamia/alquran/tafsir-surah-al-muzammil/#sthash.58sjeRpB.dpuf
No comments:
Post a Comment