...semoga semua pihak yang terlibat dengan tulisan ini medampat pahala dari Allah, penulis maupun yg membaca Nya...Insya Allah...amin....

freej

Saturday, 5 February 2011

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 33

E-mail Print PDF

قَالَ يَا آدَمُ أَنبِئْهُم بِأَسْمَآئِهِمْ فَلَمَّا أَنبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ

[Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama ini". Maka tatkala Adam memberitahu mereka nama-nama itu, Allah berfirman: "Bukankah telah Ku katakan kepadamu, bahwanya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian nampakkan dan apa yang kalian sembunyikan?"]

[He said: O Adam! inform them of their names. Then when he had informed them of their names, He said: Did I not say to you that I surely know what is ghaib in the heavens and the earth and (that) I know what you manifest and what you hide?]

1). Setelah malaikat membeberkan secara jujur apa sesungguhnya yang terjadi pada diri mereka yang berkenaan dengan keterbatasan “kapasitas”-nya dan sifat ilmu yang ada pada diri mereka, kini Allah meminta Adam untuk mempresentasikan kemampuannya kepada mereka. Dan ternyata Adam mampu mengungkapkan kembali semua apa yang telah Allah ajarkan kepadanya, yaitu hakikat segala sesuatu yang merupakan tajalliyat (manifestasi) dari nama-nama-Nya; sesuatu yang para malaikat tidak mampu melakukannya. Terbukti kini bahwa “kapasitas” seorang khalĭfah memang jauh melampaui “kapasitas” malaikat. Dan karena “kapasitas”-nya beda, maka tentu kapabilitasnya juga beda.

2). Pembenaran dan pengakuan Allah atas paparan Adam mengenai nama-nama yang dajarkan kepadanya menunjukkan dengan sangat jelas bahwa ilmu langsung (hudluri) tidak menyisakan ‘ruang-antara’ antara subyek (yang mengajar) dan obyek (yang diajar). Yaitu bahwa ketika proses ta’lim wa ta’lum (teaching and learning, belajar mengajar) itu terjadi, maka tidak ada lagi dualitas ego antara “yang mengajar” dan “yang diajar”. Sehingga secara otomatis juga di sana tidak tersisa ‘ruang’—sesempit apapun—yang memungkikan terjadinya kesalahan dari sisi obyek (yang diajar). Telah terjadi ‘pemenyatuan’ sempurna, wahatul wujud, manunggaling kawulo lan gusti, diantara keduanya (yang mengajar dan yang diajar).

Dan karena yang diajarkan ialah nama-nama yang merupakan tajalliyat dari nama-nama-Nya, maka pada hakikatnya yang diajarkan Allah kepada Adam (sebagai al-‘ālim, pihak yang mengetahui), sebagai khalĭfah, tiada lain kecuali Diri-Nya sendiri (sebagai al-ma’lum, pihak yang diketahui). Sehingga sangat masuk akal bilamana tidak terbuka kemungkinan terjadinya kesalahan dalam ilmu hudluri, sebab yang terjadi sebetulnya ialah ‘menyatunya’ antara al-‘ālim (pihak yang mengetahui) dan al-ma’lum (pihak yang diketahui). Nah, pada saat Adam atau khalĭfah, ‘menyatu’ dengan ‘Guru’-nya, seluruh rahasia realitas pun menjadi terlimpahkan kepadanya. “Dan kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, cuma orang-orang munafik itu tidak memahami.” (63:7)

3). Pembenaran dan pengakuan Allah atas paparan Adam tadi diungkapkan oleh Allah ke hadapan para malaikat dengan kalimat yang indah: "Bukankah telah Ku katakan kepadamu, bahwanya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian nampakkan dan apa yang kalian sembunyikan?" Yitu bahwa ilmu yang ada pada Adam, pada khalĭfah, itu kini sama dengan ilmu Allah, yang tidak diketahui oleh malaikat ketika Allah mengatakan kepadanya: "Sungguh Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui". Yakni ilmu tentang rahasia langit dan bumi, bahkan rahasia manusia (baik yang dinampakkan ataupun yang disembunyikan). Inilah agaknya yang tidak difahami oleh Hafsah binti Umar bin Khattab ketika merasa heran kepada suaminya (Rasulullah Muhammad saw) yang tiba-tiba mengetahui pembicaraan rahasianya dengan Aisyah binti Abu Bakar As-Shiddiq, padahal Nabi sebelumnya telah meminta kepadanya untuk merahasiakannya dan tidak menyampaikannya kepada siapapun. “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".” (66:3)

4). Dengan memahami ayat 31, 32, dan 33 dari Surat al-Baqarah ini kita bisa mengerti kenapa para nabi dan rasul dan siapa saja yang berstatus khalĭfah menjadi gudang perbendaharaan ilmu yang luar biasa. Kita juga bisa mengerti kenapa ilmu dan atau Kitab Suci yang mereka bawa tidak pernah bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Juga tidak pernah dan tidak mungkin bertentangan diantara mereka. Kalau ada yang diaku sebagai Kitab Suci atau ilmu dari nabi tapi di dalamnya terjadi kontradiksi-kontradiksi atau bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang sudah terbukti validitasnya, maka Kitab Suci atau ilmu tersebut sudah pasti telah ‘terjamah’ oleh tangan-tangan manusia. Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkan (nya)?” (6:50). Ini pertanda, ilmu Nabi adalah murni hasil dari ‘kemenyatuan’-nya dengan Rabnya yang puncaknya adalah pewahyuan atau pelimpahan.

AMALAN PRAKTIS

Camkanlah potongan ayat ini baik-baik: “Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian nampakkan dan apa yang kalian sembunyikan.” Artinya, Allah mengetahui segala rahasia yang tersimpan di benak dan pikiran kita. Sehingga pada saat Anda berniat buruk kepada seseorang, Dia mengetahui semuanya secara rinci dan mencatatnya di sebuah Buku Induk. Maka berhati-hatilah bukan saja terhadap perbuatan Anda, tapi juga terhadap benak dan pikiran Anda, karena kelak Anda akan menjumpainya kembali di Mizan (tempat seluruh nilai dari amal perbuatan diperhitungkan).

No comments:

Post a Comment