...semoga semua pihak yang terlibat dengan tulisan ini medampat pahala dari Allah, penulis maupun yg membaca Nya...Insya Allah...amin....

freej

Saturday, 19 February 2011

Al-'Anam (binatang Ternak)

"Katakanlah milik siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?" (12)
Salah satu cara yg ditempuh oleh Al-quran utk meyakin manusia adalah mengajak mrk berfikir dan untuk mengajak berfikir itu salah satu caranya adalah mengajukan pertanyaan. Karena itu di dalam Alquran sering kali kita temukan ayat-ayat yang memerintahkan nabi bertanya. Kebenaran hanaya dapat masuk kedalam jiwa, mantap didalam benak kalau kita berfikir dan menemukan jawabannya. Lalu nabi di perintahkan mnjawab
"Katakanlah, pemilik segala yang ada dilangit dan di bumi adalah Allah"
Allah Pemilik.
Apa kata orang kalau ada sesuatu benda miliknya di robek atau di potong, apa kata orang. Maka orang mengatakan orang tersebut tidak waras.
Kalau ada seseorang memotong kaki seseorang, maka kita katakan orang itu kejam. Tetapi kalau dokter memotong kaki seseorang, maka kita katakan dokter itu hebat, dia kasihan. Kanapa? Karena dokter itu lebih tau dari kita. Nah... kalau Allah melakukan sesuatu meneurut pandangan kita buruk bisakah kita katakan Allah itu kejam? Tidak. Karena Dia lebih tau. Maka sesungguhnya sesutau itu harus patuh pada pemiliknya. Jika anda merasa diri di miliki oleh Allah, maka apapun yang diperintahkan kepada anda yang bertentangan dengan perintah Tuhan, anda harus patuh kepada Allah. itu sebenarnya salah satu makna firman Tuhan "iya kanak budu waiya kanasta'in".
"Allah menetapkan atas dirinya Rahmat dan kasih sayang. Semua yang ada dilangit dan di bumi, dikelola oleh Allah atas dasar Rahmat dan kasih sayang. Allah mengatakan "Rahmatku mencakup segala sesuatu" tidak ada yang tidak dapat Rahmat. tapi Dia katakan "SiksaKu menimpa siapa yang Aku kehendaki. Kalau demikian Rahmat itu yang Dominan. Contoh: air selalu mencari tempat yang rendah, itu sifat dominan air. Tapi air bisa mencari tempat yang tinggi karena ada faktor/dorongan dari luar air. Demikianlah Allah, semua dari Nya Rahmat tetapi kalau ada siksa maka sebenarnya bukan datang dari sifat Allah yang Rahim, tetapi itu karena disebabkan yang bersangkutan. didalam Hadist dikatan "Allah memiliki 100 rahmat, satu Dia bagikan buat mahluk Nya. 99 ada pada Nya. Jika Allah mengelola alam raya berdasar Rahmat Nya, maka mestinya kitapun mengelola apa yang ada di sekitar kita berdasarkan Rahmat. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Rahmat, kasih sayang, hubungan yang baik itulah ajaran Islam.
"Pasti kamu semua, sedikit demi sedikit satu persatu akan ditarik akan dibawa pulang kepada Aallah (mati), lalu kamu semua kan dihimpun di padang mahsyar untuk dilakukan perhitungkan terhadap segala sesuatu yang pernah dilakukan"
Jangan ada keraguan terhadap pertanggung jawaban akhir.
"Orang-orang yang rugi (merugikan) dirinya mereka itulah yang tidak beriman." Allah tidak mengatakan "Orang-orang yang tidak beriman itulah orang yang merugi" artinya: kita ini punya modal diberi oleh Allah, badan, mata, telinga, hati dan lain-lain. Orang yg tidak gunakan modalnya, rugi atau tidak? Untuk beriman kita perlu gunakan potensi modal, buka hati kita, buka mata kita, buka telinga kita. Orang yang tidak membuka Hati, mata dan telinganya, itulah orang yang merugi, siapa yang untung, siapa yang rugi kalau dia tidak percaya hari kiamat, sorga dan neraka.
Kalaulah memang tidak ada sorga dan neraka maka tidak ada kerugian bagi orang yang percaya, malah dia untung karena hidup dalam optimisme. Sebaliknya bila ada sorga dan neraka, anda tidak percaya, rugi atau tidak?
"Milik Allah juga apa yang diam dan tidak bergerak dimalam hari atau siang hari dan Allah maha mendengan lagi maha mengetahui".
Yang mana lebih susah diketahui yang diam atau yang nergerak. Yang diam saja dia ketahui apalagi yang bergerak. Dia maha mengetahui semua milikNya.
"Katakan wahai Muhammad kalau memang seperti itu Allah kuasaNya, apakah selain Dia yang saya mintai perlindungan?. Anda mau minta perlindungan pada orang yang tidak tau. Anda mau minta perlindungan pada orang yang setengah-setengah tau? Anda mau minta perlindungan pada orang yang tidak memmiliki sesuatu.
"Kalau demikian apakah wajar Aku meminta perlindungan pada selain Allah." Pasti tidak wajar. Karena Allah yang menciptakan lagit dan bumi tanpa contoh. Allah yang memeberi kita makan. Tidak ada orang yang bisa tidak makan. Kecuali mencontohi sifat Tuhan sesuai kemampuan seperti berpuasa.
"Sampaikanlah kepada orang-orang ingkar itu bahwa Aku (Muhammad) diperintahkan untuk menjadi orang pertama yang berserah diri". Islam ini suatu bangunan, dibangun oleh Allah melalui nabi-nabi. Sampai pada masa nabi Muhammad itu rumah belum selesai, nabi yang melengkapkan, siapa yang pertama masuk. Jadi orang yang paling sempurna ketakwaan nya itu nabi Muhammad.
"Allah juga mewanti-wanti saya, jangan seakali-kali termasuk kedalam golongan orang yang sirik"
"Sampaikanlah kepada mereka bahwa saya takut apabila saya durhaka kepada Tuhan ku, saya takut jangan sampai Allah menjatuhkan siksa pada ku pada hari kiamat"
"Siapa yang dihindarkan dari neraka sedikit saja, itu merupakan suatu keberuntungan yang luar biasa".
"Ketahuilah Apabila Allah menyentuhkan sesuatu yang tidak enak kepada mu maka tidak sesuatupun bisa menyingkapnya". Dan apabila Allah menyentuhkan sesuatu kepada mu yang baik maka sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu"
Artinya tidak ada yang datang dari Allah itu tidak baik. Anda terkena musibah, maka disesuaikan dengan pikiran anda. Menilai baik atau buruk kejadian tersebut. Seharusnya apapun yang kita alami, maka kakanlah "Allah kuasa memberi semua itu"
"Sesungguhnya Allah maha kuasa, bisa memaksa kehendak Nya. Dia berada di atas, Dia maha bijaksana lagi maha mengetahui.

Monday, 14 February 2011

Meluruskan Tafsir Surat Almaidah Ayat 44 Serta Penjelasan Syubuhat Khowarij.

Khawarij berasal dari kata khuruj yang artinya memberontak. Mereka adalah satu kelompok yang menjadikan pemberontakan terhadap para penguasa sebagai agamanya. Mereka mengkafirkan kaum muslimin dengan dosa-dosa besar, khususnya terhadap para penguasa. Kemudian menghalalkan darah mereka sebagai jembatan untuk menghalalkan pemberontakan terhadap mereka. Mereka adalah kaum reaksioner yang berjalan dengan emosinya tanpa didasari ilmu.
Atas dasar itulah mereka berduyun-duyun datang ke Madinah dari Mesir, Kuffah dan Basrah menuju rumah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu menuntut diturunkannya beliau dari Khilafah. Mereka menuduh Utsman menyelewengkan harta Baitulmal (korupsi), Utsman lebih mementingkan keluarganya (nepotisme), dan lain-lain. Inilah demonstrasi pertama dalam sejarah Islam, yang merupakan sunnah sayyi’ah (contoh yang jelek) dari kaum khawarij. Demonstrasi mereka itu berakhir dengan anarkis hingga terbunuhlah Utsman ibnu Affan radhiallahu ‘anhu.

Jika manusia terbaik setelah Abu Bakar dan Umar dituduh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), maka bagaimana mereka akan puas dengan khalifah-khalifah setelahnya, terlebih lagi pemimpin kaum muslim pada zaman kita ini. Dengan kata lain mereka akan tetap tidak pernah puas terhadap pemimpin manapun sampai akhir zaman. Dan mereka akan terus hidup memberontak, membunuh dan menteror kaum muslimin.

Kita tidak berbicara tentang masa lalu yang sudah berakhir ceritanya. Akan tetapi kita berbicara tentang manhaj khawarij yang masih tetap ada di masa kita ini, meskipun dengan berbagai macam nama dan identitas yang berbeda Bahkan mereka kini lebih mengerikan dari pendahulunya. Mereka menebar teror, kerusuhan, penculikan, pembunuhan dan lain-lain di negeri-negeri kaum muslimin dengan dalih yang sama: kekafiran, kedzaliman, korupsi, kolusi, nepotisme dan seterusnya.
Pengkafiran mereka terhadap sesama kaum muslimin itu didasari oleh syubhat yang mereka yakini sebagai kebenaran yaitu: “Ancaman Allah (al-wa’id) terhadap orang-orang yang berdosa pasti akan Allah buktikan sebagaimana janji Allah (al-wa’d) pasti akan ditepati”. Mereka menganggap al-wa’d (janji dengan kebaikan) dan al-wa’iid (janji dengan ancaman), keduanya merupakan janji yang mesti Allah tepati. Mereka bawakan dalil-dalil tentang janji Allah yang pasti ditepati seperti dalam firman-Nya:

…إِنَّ اللَّهَ لاَ يُخْلِفُ الْمِيعَادَ

…Sesungguhnya Allah tidak akan menyalahi janji. (Ali Imran: 9)
Dengan ayat di atas mereka menganggap bahwa semua ancaman Allah dalam al-Qur’an terhadap para pendosa yang bermaksiat, pasti akan ditepati dan ditimpakan kepada pelakunya.
Seperti ancaman Allah bagi orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja dalam ayat-Nya:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya. Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (an-Nisaa’: 93)
Menurut anggapan mereka, seorang mukmin yang membunuh seorang mukmin lainnya pasti akan kekal di dalam Jahannam. Mereka mengkaitkannya dengan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya merupakan kekafiran. (HR. Bukhari Muslim)
Demikian pula, ancaman Allah bagi orang yang bermaksiat secara umum seperti dalam ayat-Nya:

…وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا

… Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. (al-Jin: 23)
Mereka menganggap telah kafirnya para pelaku maksiat dan dosa-dosa besar, karena mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam kekal selama-lamanya sebagaimana dalam ayat di atas. Kemudian dikaitkan pula dengan ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِيْنَ يَزْنِى وَهُوَ مَؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ الْخْمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Tidaklah berzina seorang pezina ketika berzina dalam keadaan mukmin, tidaklah minum khamr ketika meminumnya dalam keadaan mukmin dan tidak mencuri seorang pencuri ketika mencuri dalam keadaan mukmin. (HR. Bukhari Muslim)
Mereka menganggap bahwa dalam hadits ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menafikan keimanan bagi para pelaku maksiat, yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kafir.
Inilah inti penyimpangan mereka, yaitu:
1. Mereka menganggap sama antara ancaman Allah dan janji-Nya.
2. Tidak membedakan kufur akbar dan kufur ashghar.
Kita jawab syubhat mereka ini dari beberapa sisi:
Pertama, para salafus shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in, tabiit-tabi’in berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara ancaman dan janji Allah. Jika hal itu merupakan janji, Pasti akan Allah tepati dan tidak mungkin Allah selisihi. Karena menyelisihi janji merupakan sifat yang jelek dan Allah maha suci dari sifat seperti itu. Berbeda halnya dengan ancaman yang Allah ancamkan kepada orang-orang yang bermaksiat, mungkin saja Allah memaafkan dan mengampuninya. Hal itu merupakan sifat yang mulia bagi Allah, yaitu sifat maghfirah (mengampuni), rahmah (menyayangi), al-afuw (memaafkan), dan lain-lain.
Ahlus sunnah wal jama’ah sejak zaman salaf sampai hari ini berkeyakinan bahwa ancaman Allah bisa saja diterapkan, bisa pula tidak. Dengan kata lain tahtal masyi’ah (di bawah kehendak Allah). Jika Allah kehendaki Allah akan mengadzabnya, dan jika dikehendaki oleh-Nya, Ia akan mengampuninya. Dalilnya adalah ucapan Allah:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (an-Nisaa’: 48)
Dalam ayat di atas Allah menyatakan “dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik), bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” menunjukkan bahwa ancaman Allah bisa saja tidak Allah laksanakan kepada pelaku dosa, karena Allah telah memaafkan dan mengampuninya.
Kedua, bahwa menurut aqidah ahlus sunnah wal jama’ah yang disepakati secara ijma’ adalah bahwa kekafiran itu bertingkat-tingkat. Ada kufur yang mengeluarkan dari Islam yaitu kufur akbar, ada pula kufur yang tidak mengeluarkan dari Islam yaitu kufur ashgar. Atau dengan istilah lain kufur i’tiqadi (dalam keyakinan) dan kufur amali (dalam amalan).
Terkadang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa dosa sebagai kekafiran, seperti hadits di atas: “Memerangi muslim adalah kekafiran” atau hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

لاَ تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضِكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

Jangan kalian kembali kepada kekafiran, sebagian membunuh sebagian yang lain. (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah kufur amali, yaitu kekufuran kecil yang tidak mengeluarkan dari Islam. Dalil-dalil yang membuktikan hal ini sangat banyak, di antaranya ayat Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kalian dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (al-Baqarah: 178)
Dari ayat ini kita mendapatkan beberapa faedah:
1. Seorang muslim yang membunuh muslim lainnya disebut dalam ayat ini sebagai “saudara” bagi keluarga terbunuh. Hal ini tentunya menunjukkan persaudaraan keimanan yang berarti dia tidak keluar dari keislaman.
2. Allah sebutkan dalam ayat ini “keringanan” bagi orang yang membunuh tadi setelah diberi maaf oleh keluarganya, yang menunjukkan kalau orang tersebut tidak kafir yang mengeluarkan dari Islam. Karena tidak ada keringanan bagi orang kafir yang murtad dan keluar dari Islam.
3. Disebutkan pula dalam ayat ini “rahmat”, yang tentunya terkandung di dalamnya ampunan. Ini pun menunjukkan bahwa orang tadi tidak kafir, sehingga masih mungkin mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah.
Bukti lainnya adalah ucapan Allah:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kalian damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kalian perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kalian berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Al-Hujuraat: 9-10)
Dalam ayat ini kita dapatkan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa orang yang memerangi atau membunuh seorang muslim tidak kafir keluar dari Islam, di antaranya:
1. Allah menyebutkan dalam ayat ini dua kelompok yang saling berperang adalah orang-orang mukmin.
2. Allah juluki mereka dengan “saudara” yang tentunya yang dimaksud adalah saudara sesama muslim.
3. Allah perintahkan kepada kelompok penengah untuk mendamaikan keduanya dengan kalimat “Damaikanlah antara saudara-saudara kalian”, yang tentunya menunjukkan mereka masih muslimin.
4. Allah memerintahkan kepada kelompok penengah untuk memerangi orang yang tidak mau berdamai (kelompok bughot) sampai kembali kepada perintah Allah. Dan sudah diketahui secara umum bahwa memerangi para bughot adalah hingga mereka mau kembali dan taat kepada penguasanya. Wanita mereka tidak dijadikan tawanan, harta mereka tidak dianggap sebagai pampasan perang, tidak dikejar orang yang lari, tidak dibunuh orang yang luka dan seterusnya. Ini sangat berbeda dengan memerangi orang-orang yang kafir.
5. Disebutkan dalam ayat ini tujuan memerangi para bughot adalah agar mereka mau kembali berdamai dan tunduk kepada penguasa muslim. Berbeda sekali dengan tujuan memerangi orang-orang kafir agar mereka masuk Islam atau tunduk di bawah kekuasaan Islam dengan membayar jizyah.
Ketiga, bahwa penafian keimanan yang disebutkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits pezina di atas tidak menunjukkan kafirnya pelaku zina tersebut. Demikian pula peminum khamr dan pencuri. Tidak ada satu pun para ulama sejak para shahabat sampai hari ini yang menyatakan kafirnya mereka.
Kalau mereka dianggap kafir dengan kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam, tentunya tidak dihukumi dengan hukum-hukum had, seperti dicambuk, dipotong tangannya dan lain-lain. Sudah diketahui secara ijma’ bahwa hukum bagi seorang murtad adalah dibunuh.
Perhatikan ucapan Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu ketika membantah khawarij yang mengkafirkan seorang muslim dengan kemaksiatan sebagai berikut: “Kami telah mendapati bahwa Allah telah mendustakan ucapan mereka. Yaitu ketika Allah menghukumi seorang pencuri dengan dipotong tangannya, seorang pezina dan penuduh zina dengan cambuk. Kalau saja dosa itu mengkafirkan pelakunya, tentu hukumnya atas mereka tidak lain kecuali dibunuh. Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ

Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah dia!. (HR. Bukhari).

Ketika dua kelompok yang bertikai dalam perang shiffin sepakat memilih dua penengah yaitu Abu Musa al ‘Asyari radhiallahu ‘anhu dan ‘Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu, kaum khawarij keluar dan berlepas diri dari dua kelompok tersebut. Mereka mengangkat mushaf di ujung-ujung pedang mereka seraya berkata :

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ

Tidak ada hukum kecuali milik Allah. (al-An’aam: 57)

Melihat keadaan ini, berkatalah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu :

كَلِمَةُ حَقٍّ أَرَادُ بِهَا الْبَاطِلَ

Kalimat yang hak, tapi yang mereka maukan adalah kebathilan. (Lihat as-Syariah oleh Al-Ajurri). Inilah syubhat berikutnya dari kaum khawarij, yaitu menganggap bahwa mengangkat seseorang sebagai hakim untuk menengahi suatu pertikaian termasuk berhukum kepada selain Allah. Akhirnya mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu, Abu Musa Al ‘Asyari, Amr bin Ash dan seluruh para sahabat yang ikut dalam dua pasukan tersebut. Demikian pula terhadap seluruh kaum muslimin yang ridha pada dua hakim penengah yang telah ditunjuk. Dalil yang mereka jadikan sandaran adalah ayat Allah subhanahu wata’ala:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. (al-Maidah: 44)

Kemudian merekapun menghalalkan darah para shahabat dan menggerakan masa untuk menentang dan memberontak kepada mereka dengan alasan demi keadilan, amar ma’ruf nahi munkar, jihad dan seterusnya. Seperti yang pernah mereka lakukan pada Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu sebelumnya.
Ayat ini pula yang dipakai KGB (khawarij gaya baru) seperti NII dan Pecahannya, JI dan seluruh kelompoknya, Ikhwanul Muslimin (IM) dan seluruh sempalannya, serta semua kelompok yang menganut quthbisme seperti Muhammad surur, dan masy’ari yang merencanakan peledakan di Riyadh, dan lain-lain dalam mengkafirkan penguasa-penguasa muslimin dan menghalalkan darah mereka.
Tidak hanya sampai di sini, bahkan mereka membela para pendahulu mereka dari kalangan khawarij yang membunuh Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Seperti ucapan Sayyid Qutb berikut :”… tetapi barang siapa yang melihat dengan kacamata Islam dan menilai kejadian dengan ruhul Islam tentu akan menganggap bahwa pemberontakan tersebut secara umum lebih dekat kepada ruhul Islam dan arahnya daripada sikap Utsman bin Affan atau lebih tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di belakangnya dari kalangan Bani Umayyah. (lihat Keadilan Sosial Dalam Islam, cet.5).
Syubhat mereka ini telah terbantah dengan ucapan pada edisi yang lalu, yaitu bahwa kekufuran ada dua macam: kufur amali dan kufur i’tiqadi. Oleh karena itu perlu dilihat dengan teliti tafsir ayat di atas menurut para shahabat dan para Ulama setelahnya. Agar jangan kita menyimpang dari jalan mereka dan melenceng dari apa yang dimaukan oleh Allah dengan ayat tersebut.

Syaikh al-Albani dalam kitabnya Fitnatut Takfir wal Hakimiyah, hal. 31. menukilkan ucapan Ibnu Abbas: “Yang dimaksud kafir pada ayat ini adalah kufrun duna kufrin (kafir yang tidak mengeluarkan dari Islam)”.
Dalam riwayat lain disebutkan ketika seseorang menyampaikan ayat ini kepada Ibnu Abbas, beliau menyatakan: “Jika dia melakukan demikian, maka dia telah berbuat kekufuran, tetapi bukan seperti kafir kepada Allah dan hari akhir”. (Riwayat ath-Thabari, juz 6, hal. 256)
Dalam riwayat lain, beliau menyatakan: “Itu adalah kekufuran, tapi bukan kekufuran kepada Allah dan malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya”.
Thawus bin kisan seorang tabiin juga mengatakan hal yang sama seperti ucapan Ibnu Abbas di atas. (lihat Tafsir Ibnu Katsier, juz 2/80)
Atha bin Abi Rabah berkata:”Itu adalah kufrun duna kufrin, dzulmun duna dzulmin dan fisqun duna fisqin.” (lihat Tafsir Ibnu Katsier, juz 2/80)
Yang maksudnya juga sama, yaitu kekafiran, kedhaliman dan kefasikan yang tidak mengeluarkan dari agama.
Ibnul Jauzi dalam kitabnya Zaadul Maasir Fi ‘Ilmit Tafsir berkata: ”Yang dimaksud dengan kekafiran dalam ayat tersebut ada dua pendapat. Pertama kufur kepada Allah dan yang kedua kufur kepada hukum tersebut yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Kesimpulannya, adalah bahwa seorang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan dengan menentangnya dalam keadaan dia tahu Allah subhanahu wata’ala telah menurunkannya seperti apa yang dilakukan oleh Yahudi, maka dia kafir. Adapun orang yang berhukum tidak dengan hukum Allah karena kecenderungan hawa nafsu dengan tidak menentangnya maka dia adalah dhalim atau fasik.
Al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzir berkata:”Berkata para Ulama bahwa yang demikian adalah jika menolak nash-nash hukum Allah dengan terang-terangan dan sengaja. Adapun jika karena tersamar baginya atau keliru atau dengan takwilan-takwilan (alasan-alasan yang di-buat-buat) maka tidak kafir. (hal. 241)
Imam Al-Qurthubi dalam Tafsirnya Al-Jami’ Li Ahkamil Quran berkata : ”…. Adapun seorang muslim dia tidak dikafirkan walaupun melakukan dosa besar. Di sini ada yang tersembunyi, yaitu siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan yakni menolak Al-Quran dan menentang ucapan Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam maka dia kafir. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Mujahid. Maka ayat ini umum dalam hal ini. Berkata Ibnu Mas’ud dan Al-Hasan: ”Ayat ini umum mencakup setiap orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan apakah dari kalangan muslimin , Yahudi ataupun orang-orang kafir”. Yakni jika menentang dengan keyakinannya dan menghalalkannya. Adapun jika dia melakukannya dengan tetap meyakini bahwa dia telah melanggar keharaman maka dia adalah orang-orang fasik dari kalangan muslimin. Urusannya diserahkan kepada Allah, kalau Allah kehendaki Allah ampuni dia dan kalau Allah kehendaki Allah hukum dia. Dalam satu riwayat Ibnu Abbas mengatakan: ”Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka dia telah melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang-orang kafir”. (Juz VI, hal. 190)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata: ”Seseorang, kapan dia menghalalkan yang haram yang telah disepakati keharamannya secara ijma’, atau mengharamkan yang halal yang telah disepakati kehalalannya secara ijma’, atau mengganti syariat yang sudah disepakati secara ijma’ maka dia kafir murtad dengan kesepakatan para ahli fiqih. Untuk yang sejenis inilah Allah subhanahu wata’ala turunkan ucapannya –menurut salah satu pendapat-:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. (al-Maidah: 44)
Yakni orang-orang yang menganggap halal berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan”.
Kemudian beliau berkata: ”Dan tidak ragu lagi bahwa orang yang tidak meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan kepada rasulnya maka dia kafir”. (juz III/267-268; lihat pula Minhajus Sunnah, juz III/32)
Ibnu Qayyim Al-Jauziah dalam kitabnya Madarikus shalikin berkata: ”ada pun kekufuran itu ada dua macam yaitu kufur akbar dan kufur asghar. Kufur akbar adalah yang menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka, sedangkan kufur as-ghar adalah yang tidak mengekalkan dalam neraka”. (Juz I/335)
Kemudian beliau berkata tentang ayat di atas bahwa di antara para ulama ada yang menafsirkan dengan berbagai macam tafsiran:
- Bahwa ayat ini adalah mengenai orang yang meninggalkan hukum dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan dengan menentangnya terang-terangan (juhud), seperti ucapan Ikrimah.
- Di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa ayat tersebut mengenai orang yang meninggalkan hukum dengan apa yang Allah turunkan secara keseluruhan, termasuk didalamnya berhukum dengan tauhid dan keislaman. Ini merupakan pendapatnya Abdul Azis Al-kinani.
- Di antara mereka ada yang menafsirannya bahwa ayat tersebut tentang orang yang berhukum dengan sesuatu yang menyeisihi nash dengan sengaja bukan karena kebodohan, kesalahan atau takwil, ini adalah pendapat Al-Baghawai dengan menukil ucapan para ulama secara umum.
- Di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa ayat tersebut khusus bagi ahlul kitab. Demikian pendapat Qatadah, Dhahak dan lain-lain.
Kemudian Ibnul Qayyim berkata: ”Yang benar adalah bahwa berhukum degan selain yang Allah subhanahu wata’ala turunkan bisa menyebabkan dua jenis kekufuran, kufur asghar atau kufur akbar sesuai dengan keadaan si pelaku. Jika dia masih tetap meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan tetapi dia menyelisihinya dengan bermaksiat dalam keadaan tetap mengakuinya, maka dia pantas mendapat adzab namun ini adalah kufur kecil.
Adapun jika dia meyakini bahwa berhukum dengan hukum Allah itu adalah tidak wajib, dia bebas memilih padahal dia yakin itu adalah hukum Allah subhanahu wata’ala maka dia adalah kafir dengan kufur akbar. Sedangkan orang yang bodoh atau keliru maka dia adalah orang yang salah dan dihukumi sebagaimana hukumnya orang-orang yang keliru”.
Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi dalam Syarh Aqidah ath-Thahawiyah mengatakan: “Di sini ada perkara yang harus kita pahami dengan benar. Yaitu bahwa berhukum dengan selain apa yang Allah turun-kan bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir yang mengeluarkan dari agama, bisa jadi pula merupakan kemaksiatan besar (dosa besar), atau bisa pula dosa kecil. Dikatakan sebagai kekufuran, bisa jadi karena makna kiyas*), bisa jadi kufur kecil sesuai dengan dua pendapat yang tersebut dalam masalah ini. Yang demikian sesuai dengan keadaan si pelaku. Jika dia meyakini bahwa berhukum dengan apa yang Allah turunkan adalah tidak wajib, setiap orang bebas memilih, atau melecehkannya dalam keadaan tahu bahwa itu adalah hukum Allah, maka itu adalah kekufuran yang besar. Namun, jika dia tetap meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan dan ilmunya tentang hal tersebut ada, tetapi dia meninggalkannya dalam keadaan mengakui bahwa perbuatan itu perbuatan yang layak mendapatkan balasan, maka ia adalah orang yang bermaksiat. Dinamakan kafir dengan makna kiyas atau kufur kecil. Adapun jika dia tidak mengerti tentang hukum Allah dalam keadaan telah berusaha dan mengeluarkan segenap ke mampuannya untuk mengenali hukum tersebut namun dia keliru, maka dia adalah seorang yang keliru yang mendapatkan pahala atas usahanya dan kesalahannya diampuni.” (hal. 323 & 324)
Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin dalam Syarh Tsalatsatul Ushul berkata: “Adapun tentang ucapan Allah:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. (al-Maidah: 44)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka orang-orang dhalim.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الفَاسِقُوْنَ

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka orang-orang fasik.
Apakah tiga sifat ini Allah turunkan untuk mensifati satu golongan?. Dengan makna bahwa setiap orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka dia kafir, dhalim dan fasik sekaligus. Karena Allah mensifati orang-orang kafir juga dengan kedhaliman dan kefasikan seperti dalam firmanya:

وَالْكَافِرُوْنَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ

Dan orang-orang kafir itu adalah orang-orang dhalim.

إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُوْنَ

Sesungguhnya mereka orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.
Ataukah sifat-sifat ini turun untuk mensifati beberapa golongan sesuai dengan faktor pendorong mereka tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan? Yang lebih dekat menurut saya adalah yang kedua ini. Wallahu a’lam”. (hal. 157)
Yang dimaksud dengan ucapan syaikh ini adalah bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah belum tentu kafir, bisa jadi kafir, bisa jadi dhalim atau bisa jadi pula dia fasik yang berarti tidak kafir. Wallahu a’lam.

Friday, 11 February 2011

Surat An-Nisa', Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita

Berber pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?

Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)

Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)

Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)

Dalam hadits shahih disebutkan:

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)

2. Dijaganya hak perempuan yatim.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ

“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:

وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)

Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.

“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)

Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)

Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)

Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ

“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)

Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)

8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)

9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)

Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)

Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote:

1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Niswah, hal. 80-85. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=617

Thursday, 10 February 2011

Ali Imran 118: Jangan Mudah Percaya Dengan Orang Kafir

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran[3]: 118)

Tentang sebab turunnya ayat di atas, Ibnu Abbas menjelaskan, “Ada beberapa orang kaum muslimin yang menjalin hubungan dekat dengan beberapa orang Yahudi mengingat mereka adalah tetangga dan orang-orang yang pernah saling bersumpah untuk saling mewarisi di masa jahiliyyah lalu Allah menurunkan ayat yang berisi larangan menjadikan orang-orang Yahudi sebagai teman dekat karena dikhawatirkan menjadi sebab munculnya godaan iman. Ayat yang dimaksudkan adalah ayat di atas.” (Riwayat Ibnu Abi hatim dengan sanad yang hasan).

Dalam ayat ini terkandung larangan keras untuk simpati dan memihak kepada orang-orang kafir, karena yang dimaksud bithonah dalam ayat tersebut adalah orang-orang dekat yang mengetahui berbagai hal yang bersifat rahasia. Bithonah diambil dari kata-kata bathnun yang merupakan kebalikan dari zhahir yang berarti yang nampak. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bithonah adalah orang-orang yang sering menemui karena sudah akrab. Kata Ibnu Hajar, penjelasan tersebut merupakan pendapat Abu ‘Ubaidah (Fathul Bari, 13/202, lihat Jami’ Tafsir min Kutub al Ahadits, 1/396)

Tentang makna bithonah, Zamakhsyari mengatakan bahwa bithonah adalah orang kepercayaan dan orang pilihan, tempat untuk menceritakan hal-hal yang pribadi karena merasa percaya dengan orang tersebut (Tafsir al Kasysyaf, 1/406, lihat Tafsir al Qasimi, 2/441 cetakan Darul Hadits Kairo)

Dengan ayat ini, Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menjadikan orang-orang kafir baik Yahudi ataupun ahlu ahwa’ (pengekor hawa nafsu, ahli bid’ah) sebagai orang-orang dekat yang menjadi tempat bermusyawarah dan mengadukan permasalahan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ «الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ»

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Seseorang itu mengikuti agama teman dekatnya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Hakim dan dinilai shahih oleh Hakim serta disetujui oleh adz Dzahabi. Demikian juga dinilai shahih oleh an Nawawi, dll)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan, “Nilailah seseorang dengan teman dekatnya.”

Setelah itu Allah menjelaskan sebab dilarangnya menjalin kedekatan dengan mereka. Mereka selalu mencurahkan segala daya upaya untuk menyengsarakan kalian. Dengan kata lain, jika mereka tidak memerangi kalian secara terang-terangan maka mereka tidak pernah kenal lelah membuat tipu daya untuk kalian.

Ketika menjelaskan potongan ayat ini, Muqatil bin Hayyan mengatakan, “Mereka hendak menyesatkan kalian sebagaimana mereka telah sesat. Maka Allah melarang orang-orang beriman untuk memasukkan orang-orang munafik dengan meninggalkan orang-orang yang beriman ke dalam rumah atau menjadikan mereka sebagai orang dekat.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang hasan).

Terkait ayat ini, Abu Umamah mengatakan, “Yang Allah maksudkan adalah orang-orang khawarij (orang yang memiliki pemahaman mudah mengafirkan orang lain tanpa alasan yang jelas)”

Diriwayatkan bahwa Abu Musa al ‘Asy’ari mengangkat orang Nasrani sebagai sekretaris beliau maka Khalifah Umar mengirim surat dengan nada kasar lalu mengutip ayat di atas sebagai teguran bagi Abu Musa.

Abu Musa pernah menghadap Khalifah Umar dengan membawa laporan secara tertulis. Setelah disampaikan kepada Khalifah Umar beliau merasa kagum dengan lembaran-lembaran laporan tersebut. Setelah laporan tersebut sampai ke tangan Khalifah Umar, beliau bertanya kepada Abu Musa, “Di manakah juru tulismu? Minta dia supaya membacakannya di hadapan banyak orang.” “Dia tidak masuk ke dalam masjid”, jawab Abu Musa. Khalifah bertanya, “Mengapa? Apakah dia dalam kondisi junub?” Abu Musa berkata, “Bukan, namun karena dia seorang Nasrani.” Mendengar hal tersebut, Khalifah Umar lantas menghardik beliau seraya berkata, “Jangan dekatkan mereka kepada kalian padahal Allah telah menjauhkan mereka. Jangan muliakan mereka padahal Allah telah menghinakan mereka. Jangan percaya kepada mereka padahal Allah sudah menegaskan bahwa mereka suka khianat terhadap amanah.”

Khalifah Umar juga pernah mengatakan, “Janganlah kalian mempekerjakan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) karena mereka menghalalkan suap. Untuk menyelesaikan urusan kalian dan urusan rakyat kalian manfaatkanlah orang-orang yang merasa takut kepada Allah.”

Dari Abu Dahqonah, ada yang berkata kepada Khalifah Umar, “Ada seorang budak laki-laki Nasrani dari daerah Hirah yang paling jago dalam tulis menulis dan terkenal sebagi seorang yang amanah. Berkenankah anda seandainya dia menjadi sekretaris anda?” Dengan tegas, Khalifah Umar menyatakan, “Jika demikian berarti aku telah menjadikan non muslim sebagai orang kepercayaanku.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang shahih)

Ar Razi berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa Umar menjadikan ayat ini sebagi dalil bahwa menjadikan orang Nasrani sebagi teman dekat adalah suatu yang terlarang.” (Tafsir ar Razi, 8/216)

Ibnu Katsir mengatakan, “Riwayat dari Khalifah Umar ditambah ayat di atas adalah dalil bahwa orang kafir dzimmi tidak boleh dipekerjakan sebagai juru tulis sehingga merasa lebih tinggi dari kaum muslimin dan mengetahui rahasia-rahasia umat sehingga dikhawatirkan akan disampaikan kepada musuh, orang kafir harbi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/398)

Dalam al Iklil, Imam Suyuthi mengutip perkataan al Kaya Harasi, “Dalam ayat tersebut terdapat dalil bahwa meminta tolong dengan kafir dzimmi jika terkait dengan urusan kaum muslimin adalah suatu hal yang terlarang.” (Al Iklil hal. 72)

Penjelasannya sebagaimana yang dikatakan oleh al Qasyani, “Sesungguhnya bithonah seseorang adalah kekasih dan orang pilihannya yang mengetahui berbagai hal rahasia yang dia miliki. Sahabat semisal ini tidak mungkin kecuali setelah adanya kesamaan tujuan hidup, agama dan karakter dan bersahabat karena Allah bukan karena tendensi tertentu karena sahabat adalah satu jiwa dalam raga yang berbeda. Jika dua orang tersebut tidak seiman maka persahabatannya tentu akan segera berantakan.” (Tafsir Al Qasimi, 2/442)

Imam Qurthubi mengatakan, “Keadaan telah berubah total di masa kini. Yahudi dan Nasrani diangkat sebagai para juru tulis dan orang-orang kepercayaan. Hal tersebut bahkan menjadi kebanggaan bagi para penguasa yang kurang paham dengan agama.” Jika demikian keadaan di masa Imam Qurthubi lalu apa yang bisa katakan untuk masa kita saat ini.

عن أبي سعيد الخدري عن النبي صلى الله عليه و سلم قال «ما بعث الله من نبي ولا استخلف من خليفة إلا كانت له بطانتان بطانة تأمره بالمعروف وتحضه عليه وبطانة تأمره بالشر وتحضه عليه فالمعصوم من عصم الله تعالى»

Dari Abu Said al Khudri, Nabi bersabda, “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi atau mengangkat seorang khalifah melainkan pasti memiliki dua jenis orang dekat. Ada yang mengajak dan memotivasi untuk berbuat kebaikan. Sebaliknya yang kedua malah mengajak dan memotivasi untuk mengerjakan keburukan. Orang yang terjaga adalah orang yang benar-benar Allah jaga.” (HR. Bukhari dan Nasai)

Sungguh permusuhan dan sikap mendustakan telah benar-benar nampak pada mulut-mulut mereka. Dalam hal ini, Allah menyebutkan mulut untuk mengisyaratkan bahwa mereka pongah dalam kata-kata yang mereka lontarkan. Artinya mereka itu melebihi orang-orang yang menyembunyikan permusuhan sehingga permusuhan hanya nampak dalam sorot pandangan mata.

Tentang ayat ini, Qotadah mengatakan, “Ungkapan permusuhan telah nampak jelas melalui mulut orang-orang munafik ketika berada di hadapan orang-orang kafir yang sejalan dengan mereka. Mereka katakan bahwa mereka berhasil menipu Islam dan umat Islam serta menyampaikan ungkapan rasa benci terhadap orang-orang yang beriman.” Beliau juga mengatakan, “Yang mereka sembunyikan dalam dada-dada mereka itu lebih besar dibandingkan yang mereka nampakkan dengan lisan mereka.” (Riwayat Thabari dengan sanad yang hasan)

Ayat di atas juga menjadi dalil seorang musuh tidak boleh memberikan persaksian yang menyudutkan kepada orang yang menjadi musuhnya. Inilah pendapat para ulama’ terdahulu yang berdomisili di Madinah dan Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya) pada umumnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan hal tersebut sebagaimana dalam salah satu riwayat. Ibnu Bathal mengutip penyataan Ibnu Sya’ban, “Para ulama bersepakat bahwa musuh tidak boleh memberikan persaksian yang menyudutkannya kepada yang menjadi musuhnya dalam kasus apapun meski dia adalah seorang yang baik agamanya. Jadi permusuhan itu menghilangkan nilai kejujuran seseorang. Lalu bagaimana dengan permusuhan dengan orang kafir.” Pada akhir ayat Allah menegaskan bahwa rasa benci yang disembunyikan oleh orang-orang kafir itu jauh lebih besar lagi dibandingkan yang dinampakkan dengan mulut.

Wednesday, 9 February 2011

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 45-49 Ayat ke 45

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 45-49

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 45-49



Ayat ke 45

Artinya:
(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).

Sayidah Maryam adalah seorang gadis yang atas nazar ibunya, telah menjadi pelayan masjid dan melewatkan usianya dengan ibadah dan penghambaan kepada Allah Swt. Makanannya dibawakan oleh para Malaikat dan beliau memiliki kelayakan sehingga Allah menganugerahkan kepadanya seorang anak laki-laki yang nantinya punya posisi tinggi di sisi masyarakat.

Berbeda dengan keyakinan umat Kristen, al-Quran menilai Isa bukanlah Tuhan dan juga bukan anak Tuhan. Ia adalah putera Maryam dan makhluk Allah. Akan tetapi makhluk yang keberadaannya menjadi tanda kekuasaan dan keagungan penciptaan Tuhan. Oleh karenanya, Allah Swt mengenalkannya sebagai kalimat, sebagaimana dalam ayat 109, surah Kaf dan semua makhluk Tuhan dinamakan dengan kalimat-Nya.

Dari ayat ini kita dapat petik beberapa pelajaran:
1. Selain dengan para nabi, para malaikat juga berbicara dengan manusia-manusia saleh, baik laki-laki maupun wanita.
2. Walaupun Nabi Isa as dilahirkan tanpa ayah, namun bukanlah anak Tuhan tetapi anak Maryam karena ia melewati usia janin di rahim ibunya.

Ayat ke 46

Artinya:
Dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia adalah termasuk orang-orang yang saleh.

Sayidah Maryam tatkala mendengar berita akan dianugerahi seorang bayi, ia jatuh cemas sekiranya asyarakat sekitar menuduhnya yang bukan-bukan. Semua itu karena beliau tidak bersuami. Oleh karenanya para malaikat berkata kepadanya: "Allah SWT guna membela kesucianmu, akan membuat bayi itu dapat berbicara dan bayi itu akan membantah semua tuduhan yang dilemparkan kepada ibunya. Bayi itu seperti halnya orang dewasa, sedemikian jelas dan indah berbicara sehingga semua menjadi takjub. Dalam penciptaannya begitu terlihat tangan-tangan mukjizat.

Dari ayat ini kita ambil beberapa pelajaran:
1. Janganlah kita ragu dengan kekuasaan Tuhan. Dzat yang dapat menganugerahkan seorang anak kepada aryam tanpa suami dapat membuat bayi yang ada dibuaian berbicara. 2. Jika ibu adalah seorang yang salihah, maka kesalehan dan kelayakan akan tampak pada diri anaknya juga.

Ayat ke 47

Artinya:
Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun". Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia.

Ketika mendapat kabar bahwa dirinya akan dianugerahkan seorang bayi, Sayidah Maryam bertanya-tanya, bagaimana mungkin ia dapat melahirkan seorang bayi, sementara ia tidak pernah disentuh seorang lelaki. Karena dunia tidak lepas dari hukum sebab akibat dan setiap makhluk memerlukan serantaian penyebab.
Untuk menjawab pertanyaan ini, Allah Swt melalui para malaikat-Nya mengkabarkan bahwa tatanan alam adalah ciptaan Tuhan dan tunduk pada perintah-Nya. Kekuasaan-Nya yang bijak sedemikian tingginya sehingga setiap saat Ia berkehendak, maka Ia dapat menciptakan makhluk apapun terlepas dari sebab-sebab alamiah.

Penutupan ayat menyingung soal penciptaan Tuhan secara global dan berfirman: "Setiap kali Tuhan menghendaki sesuatu, maka secara spontan, sesuatu itu akan terjadi tanpa memerlukan berlalunya masa sebagaimana proses biasanya. Persis seperti orang yang hendak menciptakan sesuatu dan dengan mengatakan: "Jadilah", maka hal itu terjadi. Tangan Allah dalam penciptaan begitu terbuka. Penciptaan melalui cara-cara sarana alamiah atau non alamiah untuk Tuhan tidaklah berbeda.

Ayat ke 48-49

Artinya:
Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil.

Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): "Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.

Pada ayat sebelum ini, telah disebutkan bahwa Nabi Isa as setelah kelahirannya berbicara dengan masyarakat saat beliau dalam keadaan bayi dan beliau membela kesucian ibunya. Pada ayat ini, disebutkan keistimewaan lain Nabi Isa as. Seorang nabi yang hendak menjadi pemimpin masyarakat harus memiliki keistimewaan-keistimewaannya yang salah satunya adalah keluasan ilmu pengetahuannya. Maka dari itu, taklim atau pengajaran dan tarbiyah para Nabi langsung ditangani Tuhan. Sehingga, pertama-tama, pengetahuan dan visi mereka harus jauh dari segala bentuk kesalahan. Kedua, selain dari ilmu-ilmu zahir yang ada di tangan masyarakat, para nabi juga mengetahui ilmu ghaib dan masa akan datang. Namun bukan berarti dengan memiliki ilmu pengetahuan, itu sudah mencukupi. Setiap nabi harus menunjukkan mukjizat guna membuktikan kenabiannya sehingga masyarakat mendengarkan ucapan-ucapannya dengan keyakinan yang mantap dan menerapkan perintah-perintahnya.

Meskipun keberadaan Nabi Isa as merupakan satu mukjizat, karena Sayyidah Maryam telah mengandung Nabi Isa tanpa memiliki suami dan beliau sendiri pasca kelahirannya berbicara dengan masyarakat, namun Nabi Isa as yang telah diutus Tuhan untuk Bani Israel menunjukkan mukjizat kepada mereka agar kaumnya beriman kepada beliau. Antara Mukjizatnya ialah menciptakan burung dari tanah liat, menyembuhkan orang-orang sakit, menghidupkan orang yang telah mati dan memberitakan hal-hal yang bakal terjadi pada masa akan datang. Semua itu dengan izin Allah karena penciptaan makhluk ataupun ilmu ghaib adalah khusus milik Allah.

Adapun sebagian orang yang mempercayai Nabi Isa as, memandang Nabi Isa bukanlah manusia, bahkan di atas manusia. Lantaran Nabi Isa as menunjukkan berbagai mukjizat dan bentuk khusus kelahirannya, mereka menamai Nabi Isa sebagai anak Tuhan, padahal beliau adalah putra Maryam, bukannya anak Tuhan dan apa yang dilakukan oleh Nabi Isa adalah kekuasaan Tuhan, bukan kekuasaan Nabi Isa sendiri.

Dari ayat ini kita petik beberapa pelajaran:
1. Auliya Allah dapat menguasai tatanan penciptaan dengan kekuasaan dan izin Tuhan serta melakukan perubahan di dalamnya.
2. Jika hamba-hamba Allah yang saleh dapat menghidupkan orang-orang yang telah mati di dunia, maka menghidupkan kembali orang-orang mati pada hari kiamat bukanlah satu pekerjaan yang sulit dan mustahil bagi Allah.
3. Mengenai Auliya Allah, janganlah kita berlebihan meninggikan mereka sehingga kita anggap bukan manusia yang mana hal ini merupakan penyelewengan akidah.

Tuesday, 8 February 2011

Rahasia Surat Al- Baqarah 3 (Ayat Kursi)

Artinya :

Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Kekal lagi terus menerus mengurus makhlukNya, tidak mengantuk dan tidak tidur KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang meraka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS : Al-Baqarah : 255)

Ayat ini diturunkan setelah hijrah. Semasa penurunannya ia telah diiringi oleh beribu-ribu malaikat karena kebesaran dan kemuliaannya. Syaitan dan iblis juga menjadi gempar kerana adanya satu perintang dalam perjuangan mereka. Rasullah s.a.w. dengan segera memerintahkan Zaid bin Tsabit menulis serta menyebarkannya.

Beberapa Fadhilah Ayat Al-Kursi :

  1. Sesiapa yang membaca ayat Kursi dengan khusyuk setiap kali selepas sholat fardhu, setiap pagi dan petang, setiap kali keluar masuk rumah atau hendak musafir, insyaAllah akan terpeliharalah dirinya dari godaan syaitan, kejahatan manusia, binatang buas yang akan memudaratkan dirinya bahkan keluarga, anak-anak, harta bendanya juga akan terpelihara dengan izin Allah s.w.t.
  2. Mengikut keterangan dari kitab “Asraarul Mufidah” sesiapa mengamalkan membacanya setiap hari sebanyak 18 kali maka akan dibukakan dadanya dengan berbagai hikmah, dimurahkan rezekinya, dinaikkan darjatnya dan diberikannya pengaruh sehingga semua orang akan menghormatinya serta terpelihara ia dari segala bencana dengan izin Allah.
  3. Syeikh Abu Abbas ada menerangkan, siapa yang membacanya sebanyak 50 kali lalu ditiupkannya pada air hujan kemudian diminumnya, Insya-Allah, Allah akan mencerdaskan akal fikirannya serta memudahkannya menerima ilmu pengetahuan.
  4. Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud: “Sesiapa pulang ke rumahnya serta membaca ayat Kursi, Allah hilangkan segala kefakiran di depan matanya.
  5. Sabda baginda lagi; “Umatku yang membaca ayat Kursi 12 kali pada pagi jumaat, kemudian berwuduk dan sembahyang sunat dua rakaat, Allah memeliharanya daripada kejahatan syaitan dan kejahatan pembesar.”
  6. Orang yang selalu membaca ayat Kursi dicintai dan dipelihara Allah sebagaimana DIA memelihara Nabi Muhammad.
  7. Mereka yang beramal dengan bacaan ayat Kursi akan mendapat pertolongan serta perlindungan Allah daripada gangguan serta hasutan syaitan.
  8. Pengamal ayat Kursi juga, dengan izin Allah, akan terhindar daripada pencerobohan pencuri. Ayat Kursi menjadi benteng yang kuat menyekat pencuri daripada memasuki rumah.
  9. Mengamalkan bacaan ayat Kursi juga akan memberikan keselamatan ketika dalam perjalanannya.
  10. Ayat Kursi yang dibaca dengan penuh khusyuk, insya-Allah akan menyebabkan syaitan dan jin terbakar.
  11. Jika anda berpindah ke rumah baru maka pada malam pertama anda menduduki rumah itu sebaiknya anda membaca ayat Kursi 100 kali, insya-Allah mudah-mudahan anda sekeluarga terhindar daripada gangguan lahir dan batin.
  12. Barang siapa membaca ayat Al-Kursi apabila berbaring di tempat tidurnya, Allah mewakilkan 2 orang Malaikat memeliharanya hingga subuh.
  13. Barang siapa membaca ayat Al-Kursi di akhir setiap sembahyang Fardhu, ia akan berada dalam lindungan Allah hingga sholat yang lain.
  14. Barang siapa membaca ayat Al-Kursi di akhir tiap sholat, tidak menegah akan dia daripada masuk syurga kecuali maut, dan barang siapa membacanya ketika hendak tidur, Allah memelihara akan dia ke atas rumahnya, rumah jirannya & ahli rumah2 di sekitarnya.
  15. Barang siapa membaca ayat Al-Kursi diakhir tiap-tiap sholat Fardhu, Allah menganugerahkan dia hati-hati orang yang bersyukur perbuatan2 orang yang benar, pahala nabi2 juga Allah melimpahkan padanya rahmat.
  16. Barang siapa membaca ayat Al-Kursi sebelum keluar rumahnya, maka Allah mengutuskan 70,000 Malaikat kepadanya, mereka semua memohon keampunan dan mendoakan baginya.
  17. Barang siapa membaca ayat Al-Kursi di akhir sembahyang Allah azza wajalla akan mengendalikan pengambilan rohnya dan ia adalah seperti orang yang berperang bersama nabi Allah sehingga mati syahid.
  18. Barang siapa yang membaca ayat al-Kursi ketika dalam kesempitan niscaya Allah berkenan memberi pertolongan kepadanya Dari Abdullah bin ‘Amr r.a.
  19. Sesiapa yang membaca ayat Kursi dengan istikamah setiap kali selesai sembahyang fardhu, setiap pagi dan petang, setiap kali masuk kerumah atau kepasar, setiap kali masuk ke tempat tidur dan musafir, insyaallah akan diamankan dari godaan syaitan dan kejahatan raja-raja (pemerintah) yang kejam, diselamatkan dari kejahatan manusia dan kejahatan binatang yang memudharatkan. Terpelihara dirinya dann keluarganya, anak-anak nya, hartanya, rumahnya dari kecurian, kebakaran dan kekaraman.
  20. Terdapat keterangan dalam kitab-kitab Asrarul Mufidah:Barang siapa mengamalkan membaca ayat Kursi,setiap kali membaca sebanyak 18 kali,insyaAllah dia akan hidup berjiwa Tauhid,dibukakan dadanya dengan berbagai hikmat,dimudahkan rizkinya,dinaikkan martabatnya,diberikan kepadanya pengaruh sehingga orang selalu segan kepadanya,dipeliharakan dari segala bencana dengan izin Allah SWT.
  21. Syekh Abul ‘Abbas Al-Bunni menerangkan:”Siapa membaca ayat Kursi sebanyak hitungan kata-katanya,yaitu 50 kali,ditiupkan pada air hujan kemudian diminumnya,maka insyaAllah,Allah SWT mencerdaskan akalnya dan memudahkannya faham pada ilmu yang dipelajarinya.
    (terdapat dalam kitab Khazinatul Asrar).
  22. Syekh Al-Bunni menerangkan:”Siapa yang membaca ayat Kursi sebanyak hitungan hurufnya,yaitu 170 huruf,maka insyaAllah,Allah SWT akan memberikan pertolongan pada hal dan menunaikan segala hajatnya dan melapangkan pikiran-pikirannya,diluluskan rizkinya,dihilangkan kedukaannya,dan diberikan apa yang dituntutnya.
    (terdapat dalam tafsir Al-Qudsi).
  23. Barangsiapa membaca ayat Kursi ketika hendak tidur,maka Allah SWT mewakilkan kepada dua malaikat yang menjaga selama tidurnya sampai pagi.
    Demikian sabda nabi Muhammad SAW dari Abi Qutadah.
  24. Abdurrahman bin ‘Auf menerangkan:
    Bahwa ia apabila masuk kerumahnya,dibacanya ayat Kursi pada empat penjuru rumahnya dan mengharapkan dengan itu menjadi penjaga dan pendinding syaitan.
    (terdapat dalam tafsir Al-Qudsi).
  25. Yang terafdhal diantara surah-surah dalam Al-Qur’an adalah Suratul Baqarah dan yang terbesar diantara ayat-ayat dalam surah Al-Baqarah ialah ayat Kursi.Sesungguhnya syaitan melarikan diri dari rumah yang didalamnya dibaca suratul Baqarah.
    (terdapat dalam kitab Durrulmantsur).
  26. Syaikhul Kabir Muhyiddin Ibnul Arabi menerangkan:
    Bahwa siapa yang membaca ayat Kursi sebanyak 1000 kali dalam sehari semalam kemudian dawam (kontinyu) membacanya sampai 40 hari,maka demi Allah dan demi Rasulullah dan demi Al-Qur’an yang mulia,Allah akan membukakan baginya pandangan rohani,dihasilkan yang dimaksud dan diberi pengaruh kepada manusia.
    (terdapat dalam kitab Khawasul Qur’an).
  27. Bahwa siapa yang membaca 4 ayat pada permulaan suratul Baqarah dan ayat Kursi,ditambah 2 ayat setelah ayat Kursi kemudian ditutup dengan 3 ayat pada akhir suratul Baqarah,maka ia dan keluarganya tidak didekati syaitan,dan jika dibacakan pada orang gila,niscaya akan sembuh dengan seizin Allah SWT.
    (terdapat dalam kitab itqan).
  28. Siapa yang membaca ayat Kursi secara kontinyu setiap kali selesai sembahyang fardhu,setiap pagi dan petang,setiap kali masuk kerumah dan kepasar,setiap kali masuk ketempat tidur dan pergi musafir,insyaAllah ia akan diamankan dari godaan syaitan dan kejahatan raja-raja kejam,diselamatkan dari kejahatan manusia dan kejahantan binatang2 yang memudharatkan.Terpelihara dirinya dan keluarganya,anak2nya,hartanya,rumahnya dari kecurian,kekaraman dan kebakaran.Didapatny keselamatan dan kesehatan jasmaninya dengan izin Allah SWT yg Hidup dan Berdiri Sendiri.
    (terdapat dalam kitab Khawasul Qur’an kaya Imam Ghazali).
  29. Ayat kursi mengandung keistimewaan,didalamnya terdapat ismul-a’zam,tersusun dalam 50 kata-kata,terdapat 17 nama Tuhan dhahir dan dhamir,terdapat 17 huruf mim dan 17 huruf wawu.Ayat Kursi membahas ke-Esaan dzat Allah SWT dan kesempurnaan sifat-sifatnya.
    (Abdullah Al-Qurtubi)

Saturday, 5 February 2011

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 33

E-mail Print PDF

قَالَ يَا آدَمُ أَنبِئْهُم بِأَسْمَآئِهِمْ فَلَمَّا أَنبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ

[Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama ini". Maka tatkala Adam memberitahu mereka nama-nama itu, Allah berfirman: "Bukankah telah Ku katakan kepadamu, bahwanya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian nampakkan dan apa yang kalian sembunyikan?"]

[He said: O Adam! inform them of their names. Then when he had informed them of their names, He said: Did I not say to you that I surely know what is ghaib in the heavens and the earth and (that) I know what you manifest and what you hide?]

1). Setelah malaikat membeberkan secara jujur apa sesungguhnya yang terjadi pada diri mereka yang berkenaan dengan keterbatasan “kapasitas”-nya dan sifat ilmu yang ada pada diri mereka, kini Allah meminta Adam untuk mempresentasikan kemampuannya kepada mereka. Dan ternyata Adam mampu mengungkapkan kembali semua apa yang telah Allah ajarkan kepadanya, yaitu hakikat segala sesuatu yang merupakan tajalliyat (manifestasi) dari nama-nama-Nya; sesuatu yang para malaikat tidak mampu melakukannya. Terbukti kini bahwa “kapasitas” seorang khalĭfah memang jauh melampaui “kapasitas” malaikat. Dan karena “kapasitas”-nya beda, maka tentu kapabilitasnya juga beda.

2). Pembenaran dan pengakuan Allah atas paparan Adam mengenai nama-nama yang dajarkan kepadanya menunjukkan dengan sangat jelas bahwa ilmu langsung (hudluri) tidak menyisakan ‘ruang-antara’ antara subyek (yang mengajar) dan obyek (yang diajar). Yaitu bahwa ketika proses ta’lim wa ta’lum (teaching and learning, belajar mengajar) itu terjadi, maka tidak ada lagi dualitas ego antara “yang mengajar” dan “yang diajar”. Sehingga secara otomatis juga di sana tidak tersisa ‘ruang’—sesempit apapun—yang memungkikan terjadinya kesalahan dari sisi obyek (yang diajar). Telah terjadi ‘pemenyatuan’ sempurna, wahatul wujud, manunggaling kawulo lan gusti, diantara keduanya (yang mengajar dan yang diajar).

Dan karena yang diajarkan ialah nama-nama yang merupakan tajalliyat dari nama-nama-Nya, maka pada hakikatnya yang diajarkan Allah kepada Adam (sebagai al-‘ālim, pihak yang mengetahui), sebagai khalĭfah, tiada lain kecuali Diri-Nya sendiri (sebagai al-ma’lum, pihak yang diketahui). Sehingga sangat masuk akal bilamana tidak terbuka kemungkinan terjadinya kesalahan dalam ilmu hudluri, sebab yang terjadi sebetulnya ialah ‘menyatunya’ antara al-‘ālim (pihak yang mengetahui) dan al-ma’lum (pihak yang diketahui). Nah, pada saat Adam atau khalĭfah, ‘menyatu’ dengan ‘Guru’-nya, seluruh rahasia realitas pun menjadi terlimpahkan kepadanya. “Dan kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, cuma orang-orang munafik itu tidak memahami.” (63:7)

3). Pembenaran dan pengakuan Allah atas paparan Adam tadi diungkapkan oleh Allah ke hadapan para malaikat dengan kalimat yang indah: "Bukankah telah Ku katakan kepadamu, bahwanya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian nampakkan dan apa yang kalian sembunyikan?" Yitu bahwa ilmu yang ada pada Adam, pada khalĭfah, itu kini sama dengan ilmu Allah, yang tidak diketahui oleh malaikat ketika Allah mengatakan kepadanya: "Sungguh Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui". Yakni ilmu tentang rahasia langit dan bumi, bahkan rahasia manusia (baik yang dinampakkan ataupun yang disembunyikan). Inilah agaknya yang tidak difahami oleh Hafsah binti Umar bin Khattab ketika merasa heran kepada suaminya (Rasulullah Muhammad saw) yang tiba-tiba mengetahui pembicaraan rahasianya dengan Aisyah binti Abu Bakar As-Shiddiq, padahal Nabi sebelumnya telah meminta kepadanya untuk merahasiakannya dan tidak menyampaikannya kepada siapapun. “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".” (66:3)

4). Dengan memahami ayat 31, 32, dan 33 dari Surat al-Baqarah ini kita bisa mengerti kenapa para nabi dan rasul dan siapa saja yang berstatus khalĭfah menjadi gudang perbendaharaan ilmu yang luar biasa. Kita juga bisa mengerti kenapa ilmu dan atau Kitab Suci yang mereka bawa tidak pernah bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Juga tidak pernah dan tidak mungkin bertentangan diantara mereka. Kalau ada yang diaku sebagai Kitab Suci atau ilmu dari nabi tapi di dalamnya terjadi kontradiksi-kontradiksi atau bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang sudah terbukti validitasnya, maka Kitab Suci atau ilmu tersebut sudah pasti telah ‘terjamah’ oleh tangan-tangan manusia. Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkan (nya)?” (6:50). Ini pertanda, ilmu Nabi adalah murni hasil dari ‘kemenyatuan’-nya dengan Rabnya yang puncaknya adalah pewahyuan atau pelimpahan.

AMALAN PRAKTIS

Camkanlah potongan ayat ini baik-baik: “Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian nampakkan dan apa yang kalian sembunyikan.” Artinya, Allah mengetahui segala rahasia yang tersimpan di benak dan pikiran kita. Sehingga pada saat Anda berniat buruk kepada seseorang, Dia mengetahui semuanya secara rinci dan mencatatnya di sebuah Buku Induk. Maka berhati-hatilah bukan saja terhadap perbuatan Anda, tapi juga terhadap benak dan pikiran Anda, karena kelak Anda akan menjumpainya kembali di Mizan (tempat seluruh nilai dari amal perbuatan diperhitungkan).

RAHASIA SURAT AL-BAQARAH (Ayat 13)


وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُواْ كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُواْ أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاء أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاء وَلَكِن لاَّ يَعْلَمُون

[Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kalian sebagaimana manusia (lain) beriman", mereka menjawab: "Pantaskah kami beriman sebagaimana orang-orang bodoh itu beriman?" Ketahuilah, sungguh merekalah orang-orang bodoh, tetapi mereka tidak mengetahui].

1). Orang yang menjadikan dirinya sebagai tolak ukur kebenaran, akan menilai orang lain yang tidak sama dengan dirinya sebagai tidak benar. Di sinilah berawalnya egoisme (bangga diri) dan fanatisme (bangga kelompok). Kalau begitu, lalu apa yang menjadi tolak ukur kebenaran? Tolak ukur kebenaran adalah Kebenaran itu sendiri. Kebenaran adalah suatu entitas yang berdiri sendiri, yang tidak membutuhkan yang lain. Kebenaran (al-Haq) itu tunggal (ahad), universal (kulli), sederhana (basith) dan meliputi (muhith). Maka Kebenaran itu tidak pernah tidak ada, karena tidak membutuhkan syarat apapun demi keberadaannya. Untuk itu, Kebenaran tidak perlu dicari, pun tidak perlu ditemukan. Kebenaran hanya perlu diketahui (dengan istrumen yang bernama ‘ilm atau ilmu), untuk selanjutnya disadari (dengan perangkat yang disebut syu’ur) dan dirasakan (dengan alat yang disebut dzauq). Rangkaian inilah nantinya yang membawa manusia kepada iman dan yaqin. Semua runtutan yang membawa kepada iman dan yaqin ini tidak bisa diikuti oleh orang kafir dan munafiq, karena Allah telah menutup qalbu, pendengaran, dan penglihatan mereka dengan sumbat (lihat kembali ayat 7). Yang pantas bagi mereka bukan iman bukan yaqin, tapi azab yang besar (2:7) dan azab yang pedih (2:10). Itu sebabnya mereka balik menuding orang beriman sebagai orang bodoh karena tolak ukurnya adalah dirinya sendiri.

2). Bila kita menelusuri ayat-ayat yang menggunakan kata السُّفَهَاء (as-sufahā’, orang-orang bodoh) atau yang seasal kata dengannya, maka makna yang bisa difahami daripadanya ialah “ketidaktahuan” (yakni tidak punya ilmu). Sementara ilmu ini merupakan syarat pertama dan utama untuk sampai kepada tingkatan iman dan yaqin. Coba simak ayat ini: “Benar-benar rugilah orang-orang yang membunuh anak-anaknya karena bodoh (yaitu) tanpa ilmu, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezekikan kepadanya dengan mengada-adakan (dalih atau alasan yang dibuat-buat) atas nama Allah. Benar-benar mereka telah sesat dan mereka tidak (pantas) mendapat petunjuk.” (6:140) Ketidaktahuan atau kebodohan inilah yang mengantarkan manusia kepada penolakan terhadap kebenaran, dan bukan karena Kebenaran itu sendiri bermasalah. Dan Kebenaran itu aksiomatik (badihi), maka masuk akal jikalau al-Qur’an menyebut orang yang menolak Kebenaran sebagai “membodohi dirinya sendiri”, sebab pada hakikatnya sama saja dengan mengingkari eksistensi dirinya sendiri. “Dan tiada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, karena benar-benar Kami telah memilihnya di dunia, dan di akhirat dia sungguh termasuk orang-orang yang saleh.” (2:130)

3). Ketika berbicara soal al-fāsad (kerusakan) di ayat 12, Allah mengakhiri ayat itu dengan penggalan: lā yasy’uruwn (mereka tidak menyadari). Hal yang sama ketika membincang soal “menipu Allah”, juga diakhiri dengan: yasy’uruwn (mereka tidak menyadari). Tetapi ketika menjelaskan tentang iman dan kebodohan di ayat 13 ini, Allah mengakhirinya dengan klausa: lā ya’lamuwn (mereka tidak mengetahui). Inilah diantara kelebihan al-Qur’an; yaitu konsistensinya menganut epistemologi yang dibangunnya sendiri. Apabila berkenaan dengan “merasakan” (misalnya) banjir sebagai dampak dari penggundulan hutan atau split personality (keterpecahan pribadi) akibat kesenangan berdusta, maka yang cocok adalah “menyadari”. Karena keadaan “menyadari” terjadi manakala subyek yang “merasakan” sudah bersua dengan obyek yang “dirasakan”. Sehingga di sana tidak ada lagi jarak psikologis. Sementara kerja “mengetahui” dibutuhkan saat menguak rahasia-rahasia. Sehingga orang yang tidak “mengetahui” pada dasarnya juga tidak bisa menguak rahasia-rhasia tersebut. Lalu apa gerangan yang menutupi rahasia-rahasia itu sehingga perlu kerja “mengetahui” untuk menyingkapnya? Jawabannya: hijab kebodohan (السُّفَهَاء, as-sufahā’).

4). Dengan melihat penjelasan pada poin 1, 2, dan 3, dapat dimengerti betapa berbahayanya apabila kekuasaan berada di tangan orang seperti ini. Inilah yang menjelaskan kenapa manusia dan kemanusiaan selama ini hanya menjadi pelengkap penderita belaka dari kekuasaan mereka. Yang ada hanyalah diri mereka saja. Yang lain tidak dihitung. Yang lain diisolasi, dipojokkan, diputus akses-akesnya, dengan alasan (dan dengan dicitrakan bahwa) mereka adalah السُّفَهَاء (as-sufahā’, orang-orang bodoh). Maka supaya jangan termakan oleh ‘iklan murahan’ mereka, sejak awal Allah mengingatkan kita semua: Ketahuilah, sungguh merekalah orang-orang bodoh, tetapi mereka tidak mengetahui. Sehingga kalau kita selama ini menjadi korban kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan ekonomi-politik mereka, itu semata karena kesalahan kita sendiri yang tidak mau menjadikan al-Qur’an sebagai kacamata untuk melihat realitas yang berlangsung di sekitar kita. Al-Qur’an hanya diagungkan tapi tidak pernah direnungkan.

AMALAN PRAKTIS

Anda boleh merasa benar, tapi jangan mudah menuduh orang lain tidak benar. Karena Anda nanti berhak disebut benar manakala sudah sampai kepada Kebenaran sejati. Dan itu hanya terjadi jikalau Anda telah “mengetahui”-Nya, “menyadari”-Nya, dan “merasakan”-Nya. Hebatnya lagi, setelah sampai di Sana, Anda justru tidak lagi membutuhkan “klaim”. Karena Kebenaran tidak butuh kepada apapun dan siapapun.