أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ
بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى
طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ
صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ
الْمَاعُونَ (7)
Artinya :
“Tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama? (1) Itulah orang yang menghardik anak yatim, (2) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
(3) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (4) (yaitu)
orang-orang yang lalai dari salatnya, (5) orang-orang yang berbuat ria. (6) dan enggan (menolong
dengan) barang berguna.(7)”
Surat al-Ma’un terdiri dari 7 ayat. Diturunkan di Mekah dan
termasuk surat Makiyah. Kata “al-Maun” diambil dari ayat terakhir yang berarti
barang berguna. Surat Al-Ma’un mempunyai beberapa nama, yaitu : ad-Din
(agama, pembalasan), at-Takdzib (dusta/ kebohongan), al-Yatim
(anak yatim), dan ara’aita (tahukah kamu). Surat ini adalah wahyu ke-17
yang diterima Nabi Muhammad. Ia turun setelah surat al-Takatsur dan sebelum
al-Kafirun.
Surat ini turun berkaitan dengan salah seorang kaum Kafir Mekah
yang setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim
datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu. Namun, ia tidak
diberinya bahkan dihardik dan diusir.
Menurut al-Biqa’i, surat ini diturunkan sebagai peringatan bagi
mereka yang mengingkari datangnya hari kebangkitan. Karena pengingkaran
terhadap hari kebangkitan adalah sumber dari segala kejahatan. Dan akan mendorong
manusia untuk melakukan berbagai akhlak yang buruk dan melecehkan kebajikan.
Surat al-Ma’un menjelaskan tentang beberapa bentuk sikap dan
perbuatan yang dapat digolongkan sebagai mendustakan agama. Perbuatan-perbuatan
tersebut adalah :
a. Menghardik anak yatim
dan tidak mau menolong orang miskin yang sedang kelaparan. Mereka disebut
demikian karena menduga bahwa berbuat baik kepada anak yatim dan membantu orang
miskin tidak menghasilkan apa-apa. Ini berarti mereka mengingkari adanya hari
pembalasan. Padahal agama memerintahkan untuk percaya kepada datangya hari
pembalasan. Dan orang yang mengingkari adanya hari pembalasan biasanya akan
berlaku seenaknya. Dan perbuatan dosa telah menjadi teman hidupnya yang
berujung pada kerugian, baik untuk dirinya maupun orang yang ada di sekitarnya.
Dan pada akhirnya akan membuat kerusakan tatanan masyarakat yang lebih luas.
b. Mereka yang
melalaikan makna shalatnya. Yaitu mereka yang melaksanakan shalat hanya
bertujuan untuk riya’ dan mencari pujian orang lain. Perbuatan riya inilah yang
menyebabkan manusia kemudian menjadi sombong. Mereka lupa bahwa shalat adalah
ibadah yang bertujuan menghilangkan sifat sombong tersebut. Oleh karena itu
sifat riya digolongkan sebagai perbuatan syirik kecil, sebagaimana sabda Nabi
Saw :
اَخْوَفُ مَا اَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ،
فَسُئِلَ عَنْهُ فَقَالَ : الرِّيَاءُ
Artinya :
“Sesuatu yang sangat aku takutkan akan
menimpa kalian ialah syirik kecil. Nabi lalu ditanya apa itu syirik kecil,
kemudian beliau menjawab : riya.” (HR. Ahmad)
Perbuatan
riya’ dikatergorikan sebagai syirik kecil karena di dalamnya mengandung sifat
takabur (sombong). Dan orang yang sombong adalah orang yang memuji dirinya
sendiri secara berlebihan. Sehingga meniadakan keberadaan Allah yang merupakan sumber
dari semua yang ia banggakan. Seakan-akan semuanya adalah hasil usahanya
sendiri bukan dari Allah.
Sebab
yang kedua sehingga seseorang dianggap telah melalaikan makna shalat adalah
enggan memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, yang
dimaksud dari kata al-Ma’un dalam ayat ini adalah bantuan yang kecil
sifatnya. Sehingga menurut beliau memberikan bantuan yang kecil saja mereka
enggan, apalagi bantuan yang besar. Alangkah kikirnya orang yang demikian.
Kedua
hal diatas merupakan tanda-tanda tidak menghayati makna dan tujuan shalat.
Karena sesungguhnya shalat berisikan doa (permohonan). Orang yang berdoa
berarti menyatakan dirinya lemah dan butuh bantuan. Oleh karena itu tidak
pantas bagi mereka yang shalat untuk berbuat riya’ dan enggan memberikan
bantuan kepada orang yang membutuhkan. Padahal mereka sendiri adalah
orang-orang yang membutuhkan pertolongan Allah. Sungguh orang yang seperti ini
tidak tahu diri. Sama-sama membutuhkan pertolongan namun tidak mau menolong
sesama yang membutuhkan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa seseorang dianggap
telah menjalankan shalat dengan sempurna apabila telah memenuhi dua syarat
berikut:
o
ikhlas melakukannya karena Allah
o
merasakan kebutuhan yang dirasakan orang-orang lemah
dan bersedia membantu mereka
Dengan demikian, semakin jelas
bahwa agama Islam menuntut kebersihan jiwa, kepedulian terhadap lingkungan
sekitar dan kerjasama antara sesama makhluk Allah. Karena tanpa itu semua,
mereka yang shalat pun akan dinilai sebagai orang yang telah mendustakan agama
dan mengingkari hari kebangkitan.
No comments:
Post a Comment