“WAKIU”
بِِسْمِ
اللَّهِ
الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ
Dengan
Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
وَالْعَصْرِ
1. Demi waktu,
'Ashr berarti 'waktu, zaman', atau 'sore, mundurnya hari'. Ini merupakan
pertanda dari awal kemunduran yang dimulai setelah segala sesuatu mencapai
zenitnya dan telah sampai pada pencahayaan penuhnya.
إِنَّ
الْإِنسَانَ
لَفِي خُسْرٍ
2. Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi.
Berdasarkan kenyataan bahwa kita menjalani waktu,
ternyata manusia selalu dalam keadaan rugi. Dan berdasarkan kenyataan hidupnya,
ternyata sifat rendah manusia itu merugikan. Khusr berarti 'kerugian,
pengurangan'. Manusia memiliki sifat bingung, ia berayun dari satu situasi ke
situasi lainnya, dari satu ketidakpuasan ke ketidakpuasan lainnya, dari satu
ilusi ke ilusi lainnya. Kehidupannya tidak memuaskan karena ia tidak bisa
beristirahat, atau memperoleh kedamaian dan ketenangan di dalamnya. Itulah
keadaan normal dari kehidupan dunia ini, dengan fluktuasi-fluktuasinya yang
meletihkan manusia. Baru saja satu situasi terkendali, situasi kacau baru yang
tidak memberi harapan terjadi.
إِلَّا
الَّذِينَ
آمَنُوا
وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ
3. Kecuali orang-orang yang
beriman dan berbuat kebaikan, dan saling menasihati untuk kebenaran, dan saling
menasihati untuk kesabaran.
Orang-orang ini
dikecualikan karena mereka akan berusaha melebihi keadaan alamiahnya. Secara
inheren, tidak ada yang salah apabila terjadi kemunduran pada kondisi manusia,
sebagaimana digambarkan tadi. Karena, kemunduran itu mengikuti busur alamiah
dari penciptaan. Kita harus ingat bahwa Allah mengatakan dalam sebuah hadis
kudsi, 'Apa yang salah pada hamba-hamba-Ku? Mereka berdoa kepada-Ku, meminta
kemudahan dan kesenangan di dunia ini, dan Aku tidak menciptakannya untuk itu!'
Begitu kita
menyadari keadaan rugi ini maka kita dapat membebaskan diri dari situasi
tersebut melalui ketaatan, tidak melalui serangan langsung terhadap kehidupan
atau mencoba mengendalikan kehidupan. Hanya melalui ketaatan—bukan berarti
melarikan diri dari masalah melainkan keyakinan bahwa yang ada di balik
penciptaan benar-benar aman—akan diperoleh keuntungan yang mutlak. Jalan menuju
kepercayaan itu adalah melalui keyakinan yang didasarkan pada ilmu (iman), dan
amal saleh.
Termasuk dalam panggilan salat adalah ungkapan hayya 'ala al-falah
(mari menuju keberhasilan). Panggilan ini mengajak kita untuk meraih
keberhasilan yang timbul dari ketundukkan kepada dilema keadaan manusia yang
merugi. Dari keadaan bingung dan rugi yang biasa, keberhasilan bisa terwujud
pertama-tama melalui keyakinan batin bahwa kita bisa berhasil—bahwa kita dapat
mengatasi keadaan—tidak melalui materi atau dengan menguasai, tapi dengan
mengubah sikap kita. Kita tidak dapat mengubah sifat dunia, sebesar apa pun
upaya kita. Kekuatan semata tidaklah dapat mengatasi keadaan kecuali dengan
mengubah arah batin, yaitu mewujudkan iman ke dalam amal saleh.
Washa berarti 'memperingatkan, melarang, memerintahkan, menasihati'. Kata
benda turunan, washiyah berarti 'kemauan', yakni perintah yang terakhir
dan terpenting yang ditinggalkan seseorang. Kata kerja di sini diungkapkan
dalam bentuk jamak karena berkenaan dengan manusia. Implikasinya adalah bahwa
guna mengatasi keadaan normal keduniawian maka kita harus melibatkan orang
lain; masalah keduniawian tidak dapat diselesaikan melalui pengasingan diri.
Juga berarti bahwa di antara orang lain dalam kesatuan sosial ada ukuran yang
dapat kita jadikan sebagai patokan untuk mengukur diri. Jika kita hidup bersama
sekelompok orang yang berorientasi pada kebenaran dan saling memikirkan, maka
kedustaan dan kemunafikan kita akan terungkap.
Fondasi dari semua ini adalah shabr,
'kesabaran', karena Allah adalah Yang Mahasabar, al-Shabur. Allah berada
di luar waktu. Kesabaran berarti menyusutkan waktu. Umpamanya, jika kita ingin
memakan buah mentah sebelum waktunya dan kita tahu harus menunggu tujuh hari
sebelunn buah itu siap dimakan, maka kita siap untuk menunggu. Yang harus kita
lakukan adalah membekukan waktu seminggu menjadi 'waktu nol'. (Kita menunggu
sampai waktu yang seminggu itu habis dijalani—peny.).
Surah ini dimulai dengan 'ashr dan diakhiri
dengan shabr dan menunjukkan kepada kita bahwa waktu berasal dari Allah,
dari Yang Tak Berwaktu. Surah ini mulai dengan apa yang kita alami, berbagai
peristiwa yang berubah-ubah dan bersifat siklis, dan berakhir dengan fondasi,
yang tak tergoyahkan dan tak berubah: shabr (kesabaran). Ketika Sembilan
Puluh Sembilan Nama dituliskan atau dibacakan, maka Nama al-Shabur
selalu yang terakhir, karena Sifat itu merupakan fondasi untuk penciptaan.
No comments:
Post a Comment