...semoga semua pihak yang terlibat dengan tulisan ini medampat pahala dari Allah, penulis maupun yg membaca Nya...Insya Allah...amin....

freej

Monday, 14 March 2016

SURAH AL-HUMAZAH (QS 104)

Para Pengumpul Harta dan Neraka Huthomah


وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (1) الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ (2) يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ (3) كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ (4) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ (5) نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ (6) الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ (7) إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ (8) فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ (9)
1. Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,
2. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung,
3. dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya,
4. sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah.
5. Dan tahukah kamu apa Huthomah itu?
6. (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan,
7. yang (membakar) sampai ke hati.
8. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka,
9. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (QS. Al Humazah: 1-9)

Pengumpat Lagi Pencela
Mengenai kata “هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ”, para ulama berselisih pendapat apakah kedua kata tersebut bermakna sama ataukah berbeda.
Jika bermakna beda, ada 7 pendapat mengenai makna kedua kata tersebut:
1. Humazah bermakna menggibahi (menjelek-jelekkan di belakang), sedangkan lumazah bermakna menjelek-jelekkan. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas.
2. Humazah bermakna mencela manusia di hadapannya, sedangkan lumazah berarti menjelekkan manusia di belakangnya. Inilah pendapat Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’ dan Abul ‘Aliyah.
3. Humazah bermakna mencela manusia. Adapun lumazah bermakna mencela nasab manusia. Demikian pendapat Mujahid.
4. Humazah berarti mengejek dengan mata dan lumazah berarti mengejek dengan lisan. Inilah pendapat Qotadah.
5. Humazah berarti mencela dengan tangan ditambah memukul dan lumazah berarti mencela dengan lisan sebagaimana pendapat Ibnu Zaid.
6. Humazah berarti mencela dengan lisan, sedangkan lumazah berarti mencela dengan mata. Demikian pendapat Sufyan Ats Tsauri.
7. Humazah berarti mencela manusia di belakangnya, sedangkan lumazah berarti mencela manusia di hadapannya. Inilah pendapat Maqotil.
Sedangkan jika humazah bermakna sama dengan lumazah, maka maknanya adalah menjelek-jelekan di belakang dan membenci orang lain. (Dinukil dari Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi). Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di memilih tafsiran, humazah dimaksudkan untuk orang yang menjelek-jelekkan dengan isyarat dan perbuatannya. Sedangkan lumazah dimaksudkan untuk orang yang menjelek-jelekkan dengan perkataannya.
Berarti ayat “celakalah humazah dan lumazah” menunjukkan ancaman keras pada orang yang suka mencela dan menjelek-jelekkan orang lain. Karena “وَيْلٌ” itu sendiri bermakna celaka atau ancaman keras.

Pengumpul Harta
Mengenai ayat,
الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ
yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung”, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menerangkan bahwa di antara sifat humazah dan lumazah adalah hanya mengumpulkan harta saja, menghitung-hitungnya dan begitu tamak padanya. Namun mereka tidak punya semangat untuk menginfakkannya di jalan kebaikan atau jalan menjalin hubungan kekerabatan atau yang lainnya.
Harta Dapat Mengekalkan di Dunia?
Karena kebodohannya, mereka menyangka bahwa harta bisa mengekalkan mereka di dunia. Oleh karena itu, usaha dan kerja kerasnya hanyalah ingin terus menambah subur harta yang mereka sangka bahwa harta tadi bisa menambah umur mereka. Padahal sifat pelit (kikir) malah mengurangi umur dan menghancurkan kehidupannya di dunia. Yang sungguh menambah umur hanyalah dengan amalan kebajikan. Demikian keterangan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengenai ayat,
يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ
Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya.
Tidak Seperti yang Mereka Angankan
Mereka menyangka bahwa harta bisa mengekalkan di dunia, padahal tidak seperti yang mereka angankan. Allah Ta’ala berfirman,
كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah.” Maksud ayat ini adalah “tidak seperti yang mereka sangkakan karena sungguh mereka (yang hanya sibuk dengan mengumpulkan dan menghitung-hitung harta) akan dilemparkan di huthomah. Dan huthomah adalah salah satu dari nama neraka yang sifatnya memecahkan segala yang nanti masuk di dalamnya.” Na’udzu billah … Demikian keterangan dari Ibnu Katsir. Sedangkan Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir menerangkan bahwa huthomah disebut demikian karena segala sesuatu akan hancur atau pecah ketika di lempar di dalamnya. Gambarannya, tulang bisa patah setelah daging luarnya dilahap.
Adapun ayat tersebut diulang dengan,
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ
Dan tahukah kamu apa Huthomah itu?”, maksudnya adalah untuk menunjukkan besarnya dan ngerinya neraka tersebut. Demikian keterangan dari Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya.
Sifat-Sifat Huthomah
Setelahnya disebutkan beberapa sifat huthomah.
نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ (6) الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ (7) إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ (8) فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ (9)
(yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati.  Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang” (QS. Al Humazah: 1-9)
Huthomah adalah api yang dinyalakan, di mana api tersebut berbahan bakar manusia dan batu. Sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam ayat lainnya,
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
Api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At Tahrim: 6).
Nyala api itu tersebut kemudian membakar sampai di hati. Ini menunjukkan kerasnya siksa karena yang dibakar adalah jasad dan akan menjalar sampai ke qolbu (jantung).
Kengerian panasnya huthomah tersebut ditambah dengan tertutupnya neraka tadi dan orang yang telah masuk di dalamnya tidak bisa keluar.
Mengenai ayat “فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ”, sebagaimana dikatakan oleh ‘Athiyah Al ‘Aufiy bahwa maksudnya ada tiang dari besi. Sedangkan As Sudi berpendapat bahwa ada tiang dari api. Dan tiang tersebut dibentangkan. Artinya di sini, huthomah adalah neraka yang tertutup dan terdapat tiang di belakang pintu yang dibentangkan dan jika seseorang itu berusaha keluar, maka ia akan kembali lagi ke dalamnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
كُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا
Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya” (QS. As Sajdah: 20). Inilah keterangan dari Ibnu Katsir dan As Sa’di dalam kitab tafsirnya.
نعوذ بالله من ذلك، ونسأله العفو والعافية
Na’udzu billah min dzalik, kita berlindung kepada Allah dari kengerian neraka. Kita meminta pada Allah pemaafan dan keselamatan.

Thursday, 3 March 2016

SURAH AL-ASHR (QS 103)

 

“WAKIU”

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

وَالْعَصْرِ
1. Demi waktu,
'Ashr berarti 'waktu, zaman', atau 'sore, mundurnya hari'. Ini merupakan pertanda dari awal kemunduran yang dimulai setelah segala sesuatu mencapai zenitnya dan telah sampai pada pencahayaan penuhnya.

إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
 2. Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi.
Berdasarkan kenyataan bahwa kita menjalani waktu, ternyata manusia selalu dalam keadaan rugi. Dan berdasarkan kenyataan hidupnya, ternyata sifat rendah manusia itu merugikan. Khusr berarti 'kerugian, pengurangan'. Manusia memiliki sifat bingung, ia berayun dari satu situasi ke situasi lainnya, dari satu ketidakpuasan ke ketidakpuasan lainnya, dari satu ilusi ke ilusi lainnya. Kehidupannya tidak memuaskan karena ia tidak bisa beristirahat, atau memperoleh kedamaian dan ketenangan di dalamnya. Itulah keadaan normal dari kehidupan dunia ini, dengan fluktuasi-fluktuasinya yang meletihkan manusia. Baru saja satu situasi terkendali, situasi kacau baru yang tidak memberi harapan terjadi.

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, dan saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran.
Orang-orang ini dikecualikan karena mereka akan berusaha melebihi keadaan alamiahnya. Secara inheren, tidak ada yang salah apabila terjadi kemunduran pada kondisi manusia, sebagaimana digambarkan tadi. Karena, kemunduran itu mengikuti busur alamiah dari penciptaan. Kita harus ingat bahwa Allah mengatakan dalam sebuah hadis kudsi, 'Apa yang salah pada hamba-hamba-Ku? Mereka berdoa kepada-Ku, meminta kemudahan dan kesenangan di dunia ini, dan Aku tidak menciptakannya untuk itu!'
Begitu kita menyadari keadaan rugi ini maka kita dapat membebaskan diri dari situasi tersebut melalui ketaatan, tidak melalui serangan langsung terhadap kehidupan atau mencoba mengendalikan kehidupan. Hanya melalui ketaatan—bukan berarti melarikan diri dari masalah melainkan keyakinan bahwa yang ada di balik penciptaan benar-benar aman—akan diperoleh keuntungan yang mutlak. Jalan menuju kepercayaan itu adalah melalui keyakinan yang didasarkan pada ilmu (iman), dan amal saleh.
Termasuk dalam panggilan salat adalah ungkapan hayya 'ala al-falah (mari menuju keberhasilan). Panggilan ini mengajak kita untuk meraih keberhasilan yang timbul dari ketundukkan kepada dilema keadaan manusia yang merugi. Dari keadaan bingung dan rugi yang biasa, keberhasilan bisa terwujud pertama-tama melalui keyakinan batin bahwa kita bisa berhasil—bahwa kita dapat mengatasi keadaan—tidak melalui materi atau dengan menguasai, tapi dengan mengubah sikap kita. Kita tidak dapat mengubah sifat dunia, sebesar apa pun upaya kita. Kekuatan semata tidaklah dapat mengatasi keadaan kecuali dengan mengubah arah batin, yaitu mewujudkan iman ke dalam amal saleh.
Washa berarti 'memperingatkan, melarang, memerintahkan, menasihati'. Kata benda turunan, washiyah berarti 'kemauan', yakni perintah yang terakhir dan terpenting yang ditinggalkan seseorang. Kata kerja di sini diungkapkan dalam bentuk jamak karena berkenaan dengan manusia. Implikasinya adalah bahwa guna mengatasi keadaan normal keduniawian maka kita harus melibatkan orang lain; masalah keduniawian tidak dapat diselesaikan melalui pengasingan diri. Juga berarti bahwa di antara orang lain dalam kesatuan sosial ada ukuran yang dapat kita jadikan sebagai patokan untuk mengukur diri. Jika kita hidup bersama sekelompok orang yang berorientasi pada kebenaran dan saling memikirkan, maka kedustaan dan kemunafikan kita akan terungkap.
Fondasi dari semua ini adalah shabr, 'kesabaran', karena Allah adalah Yang Mahasabar, al-Shabur. Allah berada di luar waktu. Kesabaran berarti menyusutkan waktu. Umpamanya, jika kita ingin memakan buah mentah sebelum waktunya dan kita tahu harus menunggu tujuh hari sebelunn buah itu siap dimakan, maka kita siap untuk menunggu. Yang harus kita lakukan adalah membekukan waktu seminggu menjadi 'waktu nol'. (Kita menunggu sampai waktu yang seminggu itu habis dijalani—peny.).
Surah ini dimulai dengan 'ashr dan diakhiri dengan shabr dan menunjukkan kepada kita bahwa waktu berasal dari Allah, dari Yang Tak Berwaktu. Surah ini mulai dengan apa yang kita alami, berbagai peristiwa yang berubah-ubah dan bersifat siklis, dan berakhir dengan fondasi, yang tak tergoyahkan dan tak berubah: shabr (kesabaran). Ketika Sembilan Puluh Sembilan Nama dituliskan atau dibacakan, maka Nama al-Shabur selalu yang terakhir, karena Sifat itu merupakan fondasi untuk penciptaan.