Allah Tidak Pernah Meninggalkan Kita
Hanya untuk menegaskan
bahwa Allah takkan pernah meninggalkan Nabi Muhammad saw, tidak juga
marah terhadapnya, Allah memulai surat ini dengan bersumpah dengan waktu
dhuha dan waktu malam. “Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi” (QS. 93: 1-2)
Apa
rahasia Allah memilih dua waktu tersebut?
Waktu dhuha adalah permulaan
siang. Waktu produktif kebanyakan manusia. Pada jam-jam inilah manusia
memulai aktivitasnya. Ada yang mulai bekerja, ada yang berangkat ke
sekolah belajar dan mengajarkan ilmu, ada yang mulai bertanam mencari
jalan rezeki, ada yang membuka toko, membuka pintu-pintu rahmat Allah.
Dalam
sejarahnya, di waktu dhuha inilah Musa as. menundukkan kesombongan
Fir’aun dengan mengalah tukang-tukang sihirnya,
“Berkata Musa: “Waktu
untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah
dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik”. (QS. Thaha: 59)
Kemudian
Allah bersumpah demi waktu malam yang menampakkan ketenangannya. Sunyi
dengan kesenyapannya. Itulah tabiat malam. Dijadikan Allah sebagai waktu
beristirahat manusia setelah seharian bekerja dan beraktivitas. Allah
jadikan juga waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Allah berikan
kesempatan untuk melakukan hal-hal yang dianggap paling privasi. Karena
waktu malam jauh lebih tenang dibanding waktu lainnya.
Di antara
sekian hamba-Nya ada yang merasa bahwa karunia ketenangan malam ini
harus disyukuri. Karenanya ia rela melawan kantuk, bangkit dan segera
bersujud serta bersimpuh di hadapan Dzat yang serba Maha.
Inilah
dua simbol yang pasti akan dialami oleh kebanyakan manusia. Setelah muda
banyak beraktivitas, kelak ia akan tua dan harus mengurangi
kegiatannya. Secara psikis juga –biasanya- ketenangan orang tua jauh di
atas orang muda. Sebagai sunnah Allah, manusia setelah beraktivitas juga
memerlukan waktu dan jeda untuk beristirahat. Dan makna-makna lain yang
tersirat dari sumpah di atas, dan yang terpenting adalah bahwa semua
waktu itu pasti berputar dan berganti. Sadar atau tidak waktu terus
berputar. Allahlah yang menjadikannya demikian. Tidak heran jika
kemudian Abu Hurairah ra mendapat pesan dari Rasul saw untuk tidak
meninggalkan Shalat Dhuha (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
“Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu”
(QS. 93: 3).
Ada beberapa versi sebab-sebab diturunkannya ayat ini.
Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang paling terkenal adalah tentang
tersendatnya turunnya wahyu pada waktu tertentu yang dialami oleh
Rasulullah saw. Meski terkenal tapi –masih menurut Ibnu Hajar- sangat
aneh bila dijadikan sebab turunnya ayat ini. Adapun riwayat yang shahih,
berasal dari Bukhari dan Muslim. Suatu ketika Rasulullah berkeluh kesah
dan mengadu kepada Allah. Selama dua malam beliau sakit dan tidak
berdiri/keluar rumah. Datang seorang perempuan kepadanya dan
mengatakan,”Wahai Muhammad, mana setanmu. Kurasa dia telah
meninggalkanmu” maka diturunkanlah ayat ini . Hadis ini juga
diriwayatkan oleh Tirmizi, Ahmad, an-Nasa`i, dan pakar hadis lainnya .
Kenikmatan dan Karunia Allah
“Dan
sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang
(permulaan). Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu,
lalu (hati) kamu menjadi puas”. (QS. 93: 4-5)
Sebab turun
ayat ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani, al-Baihaqi dan al-Hakim
dengan sanad hasan. Abdullah bin Abbas meriwayatkannya,”Rasulullah saw
dibujuk dengan ditawarkan kepadanya sesuatu yang akan terbuka untuk
umatnya, yaitu dunia”.
Jika pada ayat sebelumnya beliau
dicemooh karena seolah beliau dibiarkan Allah maka ada usaha lain untuk
meneror psikis beliau dengan tawaran yang menggiurkan. Yaitu godaan
dunia. Namun, Rasulullah berdakwah tidaklah untuk memperkaya diri atau
mencari pengaruh di tengah umatnya. Karena itu Allah meneguhkan
pendirian beliau.
Sebagai gantinya Allah menawarkan sesuatu yang
kelak akan membuat Rasul saw puas dan ridha. Karena kekekalan nikmat
akhirat jauh lebih sempurna dengan segala kemegahan isi dunia yang
banyak menggiurkan kebanyakan manusia.
Setidaknya Allah kemudian
memerintahkan kepada kekasih-Nya ini untuk mengingat-ingat beberapa
nikmat di antara nikmat-Nya yang tak terbilang yang diberikan kepada
beliau:
Pertama, “Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu?”
(QS. 93: 6).
Nabi Muhammad terlahir sebagai anak yatim. Ia bahkan tak
pernah tahu seperti apa wajah ayahnya. Kemudian belum banyak beliau
menikmati kebersamaan dengan ibunya setelah kembali dari Bani Sa’d
tempat beliau disusui dan dibesarkan di sana, Aminah, sang ibu dipanggil
Allah menyusul ayahnya. Kakek yang mengasuhnya setelah itu pun
dipanggil Allah. Hingga Muhammad kecil diasuh oleh pamannya, Abu Thalib.
Siapa yang mengatur peristiwa demi peristiwa itu. Siapa sesungguhnya
yang merekayasa semuanya. Allah lah pada hakikatnya yang mendidik dan
mengasuh Nabi Muhammad, meskipun sebabnya melalui ibu, kakek dan paman
juga orang-orang lainnya. Siapa pula yang menumbuhkan kecintaan mereka
kepada Nabi Muhammad.
Kedua, “Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk”
(QS. 93: 7). Yang dimaksud “dhall” di sini bukanlah kesesatan seperti
tersesatnya orang-orang musyrik dan kafir. Namun, sebagian besar pakar
tafsir mengatakan bahwa kebenaran tak bisa semata dicapai akal. Siapa
yang memberi petunjuk jika bukan Allah. Secara spesifik sebagian ahli
tafsir berpendapat petunjuk yang dimaksud di sini adalah kenabian dan
syariat yang dibawa oleh beliau .
Ketiga, “Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan kecukupan”
(QS. 93: 8). Allah membebaskan Nabi Muhammad saw dari kefakiran dengan
memberi kecukupan. Dari sejak diberi kemampuan mencari nafkah melalui
menggembala kambing, kemudian berdagang dan sukses di bidang tersebut,
hingga kemudian menikah dengan seorang konglerawati yang shalihah;
Khadijah binti Khuwailid ra . Kemudian Allah berikan rasa cukup dan
qanaah dalam hati beliau .
Bersyukur Atas Karunia Allah
Tiga karunia yang diberikan Allah di atas sudah selayaknya disyukuri
dengan baik. Oleh karena itu Allah melanjutkan pesan dan risalah
langit-Nya. Allah juga menganjurkan Rasul-Nya dan diwanti-wanti dengan
tiga hal berikut:
Pertama, “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang”. (QS. 93: 9)
Berbuat baik dan tidak menzhalimi anak yatim menjadi prioritas dalam
menyukuri nikmat Allah. Terlebih bagi Rasulullah saw sangat terasa,
bagaimana beliau menjadi anak yatim tapi dicintai dan dimuliakan oleh
orang-orang sekelilingnya. Tak heran jika dalam berbagai kesempatan
beliau sering mengatakan “Aku dan pengafil anak yatim seperti dua jari
ini ”. Beliau menunjuk jari tengah dan jari telunjuk beliau.
Az-Zajjaj memberikan penakwilan lain, yaitu ini sekaligus larangan untuk
menzhalimi anak yatim dengan berbagai cara. Di antaranya memakan harta
anak yatim yang diwarisi dari orang tuanya. Maka jangan berlaku zhalim
terhadap hartanya , demikian pesan itu.
Kedua, “Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya”.
(QS. 93: 10). Jika ada orang yang meminta maka sebaiknya kita
memberinya sesuatu yang membuatnya berbahagia atau setidaknya
menghilangkan sedikit bebannya. Jika seandainya kita belum mampu atau
tidak memberinya apapun maka sebaiknya kata-kata yang baiklah yang kita
berikan kepadanya. Allah berfirman dalam ayat lain, “Perkataan yang
baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi
Maha Penyantun” (QS. 2: 263)
Ketiga, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebut”.
(QS. 93: 11). Azz-Zajaj, Imam al-Qurthuby menafsirkan ayat ini sesuai
dengan konteks Rasulullah adalah bersyukur dengan menyampaikan risalah
kenabian beliau [12]. Jika ayat ini diperuntukkan kepada kita maka
konteksnya lebih luas. Yang dimaksud menyebut-nyebut, berbicara atau
berbagai saat kita mendapat nikmat juga luas. Diawali dengan bertahmid
dan bersyukur kepada Allah, kita disunnahkan untuk memberitahu
orang-orang yang dekat dan kita cintai. Jika memungkinkan maka percikan
nikmat tersebut juga bisa bermanfaat bagi orang lain. Jika nikmat itu
adalah harta maka bersyukurlah dengan zakat dan shadaqah. Jika nikmat
itu adalah ilmu maka bersyukurlah dengan mengamalkan dan mengajarkannya.
Tapi, menyebut-nyebut nikmat secara berlebihan akan mengundang rasa iri
dan dengki, maka sebaiknya hal tersebut dilakukan dengan wajar.
Selamat menyambut datangnya bulan penuh rahmat......