...semoga semua pihak yang terlibat dengan tulisan ini medampat pahala dari Allah, penulis maupun yg membaca Nya...Insya Allah...amin....

freej

Tuesday, 9 June 2015

Surat Alam Nasyrah (QS- 94)



Tak terasa kita bertemu dengan bulan yang telah setahun meninggalkan kita, Ramadhan dan...
tanpa ku hitung waktu, Blog ini  telah pula sampai kepada ayat-ayat pendek, berarti sudah di penghujung. Mudah-mudahan banyak manfaat dari apa yang aku (yang tidak ada apap-apa nya ini) posting selama ini....amin.

Alam nasyrakh laka shadrak. Wa wadza’na anka wizrak. Alladzii anqazadzahrak. Wa rafa’naa laka dzikrak. Faa’inna ma’a al-‘usyri yusyra. Inna ma’a al-yusyri yusyra. Faa’idza faraghta faanshab. Wa iilaa rabbika faarghab

“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu? Yang memberatkan punggungmu. Dan Kami tinggikan bagimu sebutanmu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”.


Allah menyatakan dalam ayat ini bahwa Ia telah memberikan kelapangan dada setiap manusia. Menghilangkan beban yang kerap kali menghimpit derap langkah kehidupan manusia. Tetapi Allah juga berjanji bahwa setiap kali ada kesulitan yang menerpa kita, akan ada pula kemudahan menghampiri kita.

Setiap kali kita melangkahkan kaki keluar rumah, kita sadar bahwa di hadapan kita terbentang jalan yang tak datar. Pada saat tertentu kita melewati jalan menurun, tapi tak jarang pula kita harus mampu meniti jalan mendaki yang kadangkala terasa berat dan licin bisa membuat kita terpelesat.

Hidup adalah perjalanan; bertolak dari, sedang berada di, serta menuju ke suatu tempat, di dalamnya terdapat kesukaran dan kesulitan bagaikan pendakian yang berat.

Senada dengan pendakian yang berat itu Allah swt berfirman dalam Surat al-Baqarah 124, 155 – 157 yang mengingatkan kita kepada beberapa hal;  

pertama, munculnya rasa takut;  
kedua, kelaparan;  
ketiga, kekurangan harta;  
keempat, kehilangan anak; 
kelima, kekurangan buah-buahan; 
keenam, malapetaka/kesengsaraan/keguncangan; dan seterusnya.

Mengacu pada pemahaman para ahli tafsir (mufassirin) yang mengembahngkan makna harfiah ayat-ayat tersebut, dapatlah dikatakan bahwa kita tengah berada pada pendakian yang berat. Pendakian yang berat itu berupa ketimpangan ekonomi yang kian njomplang, harga-harga terus melambung, gejolak politik yang tak berkesudahan, bencana alam datang silih berganti, korupsi kian merajalela, dan sebagainya.

Kondisi yang memberatkan ini, terlepas apakah itu merupakan cobaan bagi orang-orang yang beriman atau akibat keasalahan manusia, adalam hambatan dan rintangan menuju baldatun thayyibatun wa rabbun Ghafur. Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerta raharja.

Oleh karena pendakian yang berat adalah bagian dari kehidupan setiap bangsa dan masyarakat, demikian pula jalan menurun, maka tak sepantasnya kita berkeluh kesah, mengumpat nasib, apalagi putus asa. Acuan yang baik dalam menghadapai pendakian yang berat adalah ajaran yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya untuk ikhlas dan tawakkal.

Dalam menghadapi pendakian yang berat, menurut Abd. Chair (2000:7),  keikhlasan bagaikan sumber energi yang memasok bahan bakar agar tak berhenti di tengah jalan atau surut ke belakang. Ikhlas juga seperti air bagi tumbuh-tumbuhan, apabila tanaman itu dirawat dan disiram dengan air akan berubah dan mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia.

Sementara itu, tawakkal adalah sifat yang membawa percaya diri. Sebab dengan tawakkal para Rasul mampu menghadapi rintangan dan tantangan serta mengatasi kesulitan.

Ayat di atas hendak menyakinkan kepada manusia bahwa dibalik semua kesulitan yang dihadapinya pasti ada kemudahan bah dengasn satu kesulitan Allah susulkan 2 kemudahan sesudahnya. Ada hikmah dibalik semua pristiwa yang dialami oleh manusia, baik itu pristiwa yang menggembirakan maupun kejadian yang menyengsarakan. Bersabarlah...

Tuesday, 2 June 2015

Surat Adh-Dhuha (QS 93)



Allah Tidak Pernah Meninggalkan Kita
Hanya untuk menegaskan bahwa Allah takkan pernah meninggalkan Nabi Muhammad saw, tidak juga marah terhadapnya, Allah memulai surat ini dengan bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam. “Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi” (QS. 93: 1-2)

Apa rahasia Allah memilih dua waktu tersebut? 

Waktu dhuha adalah permulaan siang. Waktu produktif kebanyakan manusia. Pada jam-jam inilah manusia memulai aktivitasnya. Ada yang mulai bekerja, ada yang berangkat ke sekolah belajar dan mengajarkan ilmu, ada yang mulai bertanam mencari jalan rezeki, ada yang membuka toko, membuka pintu-pintu rahmat Allah.
Dalam sejarahnya, di waktu dhuha inilah Musa as. menundukkan kesombongan Fir’aun dengan mengalah tukang-tukang sihirnya, 

“Berkata Musa: “Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik”. (QS. Thaha: 59)

Kemudian Allah bersumpah demi waktu malam yang menampakkan ketenangannya. Sunyi dengan kesenyapannya. Itulah tabiat malam. Dijadikan Allah sebagai waktu beristirahat manusia setelah seharian bekerja dan beraktivitas. Allah jadikan juga waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Allah berikan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang dianggap paling privasi. Karena waktu malam jauh lebih tenang dibanding waktu lainnya.
Di antara sekian hamba-Nya ada yang merasa bahwa karunia ketenangan malam ini harus disyukuri. Karenanya ia rela melawan kantuk, bangkit dan segera bersujud serta bersimpuh di hadapan Dzat yang serba Maha.

Inilah dua simbol yang pasti akan dialami oleh kebanyakan manusia. Setelah muda banyak beraktivitas, kelak ia akan tua dan harus mengurangi kegiatannya. Secara psikis juga –biasanya- ketenangan orang tua jauh di atas orang muda. Sebagai sunnah Allah, manusia setelah beraktivitas juga memerlukan waktu dan jeda untuk beristirahat. Dan makna-makna lain yang tersirat dari sumpah di atas, dan yang terpenting adalah bahwa semua waktu itu pasti berputar dan berganti. Sadar atau tidak waktu terus berputar. Allahlah yang menjadikannya demikian. Tidak heran jika kemudian Abu Hurairah ra mendapat pesan dari Rasul saw untuk tidak meninggalkan Shalat Dhuha  (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).

Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu” (QS. 93: 3). 

Ada beberapa versi sebab-sebab diturunkannya ayat ini. Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang paling terkenal adalah tentang tersendatnya turunnya wahyu pada waktu tertentu yang dialami oleh Rasulullah saw. Meski terkenal tapi –masih menurut Ibnu Hajar- sangat aneh bila dijadikan sebab turunnya ayat ini. Adapun riwayat yang shahih, berasal dari Bukhari dan Muslim. Suatu ketika Rasulullah berkeluh kesah dan mengadu kepada Allah. Selama dua malam beliau sakit dan tidak berdiri/keluar rumah. Datang seorang perempuan kepadanya dan mengatakan,”Wahai Muhammad, mana setanmu. Kurasa dia telah meninggalkanmu” maka diturunkanlah ayat ini . Hadis ini juga diriwayatkan oleh Tirmizi, Ahmad, an-Nasa`i, dan pakar hadis lainnya .

Kenikmatan dan Karunia Allah
 
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”.
(QS. 93: 4-5)

Sebab turun ayat ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani, al-Baihaqi dan al-Hakim dengan sanad hasan. Abdullah bin Abbas meriwayatkannya,”Rasulullah saw dibujuk dengan ditawarkan kepadanya sesuatu yang akan terbuka untuk umatnya, yaitu dunia”.
Jika pada ayat sebelumnya beliau dicemooh karena seolah beliau dibiarkan Allah maka ada usaha lain untuk meneror psikis beliau dengan tawaran yang menggiurkan. Yaitu godaan dunia. Namun, Rasulullah berdakwah tidaklah untuk memperkaya diri atau mencari pengaruh di tengah umatnya. Karena itu Allah meneguhkan pendirian beliau.
Sebagai gantinya Allah menawarkan sesuatu yang kelak akan membuat Rasul saw puas dan ridha. Karena kekekalan nikmat akhirat jauh lebih sempurna dengan segala kemegahan isi dunia yang banyak menggiurkan kebanyakan manusia.

Setidaknya Allah kemudian memerintahkan kepada kekasih-Nya ini untuk mengingat-ingat beberapa nikmat di antara nikmat-Nya yang tak terbilang yang diberikan kepada beliau:

Pertama, “Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu?” (QS. 93: 6). 

Nabi Muhammad terlahir sebagai anak yatim. Ia bahkan tak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya. Kemudian belum banyak beliau menikmati kebersamaan dengan ibunya setelah kembali dari Bani Sa’d tempat beliau disusui dan dibesarkan di sana, Aminah, sang ibu dipanggil Allah menyusul ayahnya. Kakek yang mengasuhnya setelah itu pun dipanggil Allah. Hingga Muhammad kecil diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Siapa yang mengatur peristiwa demi peristiwa itu. Siapa sesungguhnya yang merekayasa semuanya. Allah lah pada hakikatnya yang mendidik dan mengasuh Nabi Muhammad, meskipun sebabnya melalui ibu, kakek dan paman juga orang-orang lainnya. Siapa pula yang menumbuhkan kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad.

Kedua, “Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk” (QS. 93: 7). Yang dimaksud “dhall” di sini bukanlah kesesatan seperti tersesatnya orang-orang musyrik dan kafir. Namun, sebagian besar pakar tafsir mengatakan bahwa kebenaran tak bisa semata dicapai akal. Siapa yang memberi petunjuk jika bukan Allah. Secara spesifik sebagian ahli tafsir berpendapat petunjuk yang dimaksud di sini adalah kenabian dan syariat yang dibawa oleh beliau .
Ketiga, “Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan kecukupan” (QS. 93: 8). Allah membebaskan Nabi Muhammad saw dari kefakiran dengan memberi kecukupan. Dari sejak diberi kemampuan mencari nafkah melalui menggembala kambing, kemudian berdagang dan sukses di bidang tersebut, hingga kemudian menikah dengan seorang konglerawati yang shalihah; Khadijah binti Khuwailid ra . Kemudian Allah berikan rasa cukup dan qanaah dalam hati beliau .

Bersyukur Atas Karunia Allah
 
Tiga karunia yang diberikan Allah di atas sudah selayaknya disyukuri dengan baik. Oleh karena itu Allah melanjutkan pesan dan risalah langit-Nya. Allah juga menganjurkan Rasul-Nya dan diwanti-wanti dengan tiga hal berikut:
Pertama, “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang”. (QS. 93: 9)
Berbuat baik dan tidak menzhalimi anak yatim menjadi prioritas dalam menyukuri nikmat Allah. Terlebih bagi Rasulullah saw sangat terasa, bagaimana beliau menjadi anak yatim tapi dicintai dan dimuliakan oleh orang-orang sekelilingnya. Tak heran jika dalam berbagai kesempatan beliau sering mengatakan “Aku dan pengafil anak yatim seperti dua jari ini ”. Beliau menunjuk jari tengah dan jari telunjuk beliau. Az-Zajjaj memberikan penakwilan lain, yaitu ini sekaligus larangan untuk menzhalimi anak yatim dengan berbagai cara. Di antaranya memakan harta anak yatim yang diwarisi dari orang tuanya. Maka jangan berlaku zhalim terhadap hartanya , demikian pesan itu.

Kedua, “Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya”. (QS. 93: 10). Jika ada orang yang meminta maka sebaiknya kita memberinya sesuatu yang membuatnya berbahagia atau setidaknya menghilangkan sedikit bebannya. Jika seandainya kita belum mampu atau tidak memberinya apapun maka sebaiknya kata-kata yang baiklah yang kita berikan kepadanya. Allah berfirman dalam ayat lain, “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun” (QS. 2: 263)

Ketiga, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebut”. (QS. 93: 11). Azz-Zajaj, Imam al-Qurthuby menafsirkan ayat ini sesuai dengan konteks Rasulullah adalah bersyukur dengan menyampaikan risalah kenabian beliau [12]. Jika ayat ini diperuntukkan kepada kita maka konteksnya lebih luas. Yang dimaksud menyebut-nyebut, berbicara atau berbagai saat kita mendapat nikmat juga luas. Diawali dengan bertahmid dan bersyukur kepada Allah, kita disunnahkan untuk memberitahu orang-orang yang dekat dan kita cintai. Jika memungkinkan maka percikan nikmat tersebut juga bisa bermanfaat bagi orang lain. Jika nikmat itu adalah harta maka bersyukurlah dengan zakat dan shadaqah. Jika nikmat itu adalah ilmu maka bersyukurlah dengan mengamalkan dan mengajarkannya. Tapi, menyebut-nyebut nikmat secara berlebihan akan mengundang rasa iri dan dengki, maka sebaiknya hal tersebut dilakukan dengan wajar.

Selamat menyambut datangnya bulan penuh rahmat......