“Sesungguhnya telah Kami turunkan dia pada malam Kemuliaan.” (ayat
1). Artinya ialah bahwa Kami yaitu Allah telah
menurunkan Al-Qur’an yang mula-mula sekali kepada Nabi-Nya pada malam
Kemuliaan. Lailatul-Qadr, kita artikan malam kemuliaan, karena setengah dari arti qadr itu ialah kemuliaan. Dan boleh juga diartikan Lailatul-Qadr malam Penentuan, karena pada waktu itulah mulai ditentukan khittah
atau langkah yang akan ditempuh Rasul-Nya di dalam memberi petunjuk
bagi ummat manusia. Kedua arti ini boleh dipakai. Kalau dipakai arti
Kemuliaan, maka mulai pada malam itulah Kemuliaan tertinggi
dianugerahkan kepada Nabi SAW, karena itulah permulaan Malaikat Jibril
menyatakan diri di hadapan beliau di dalam gua Hira’ sebagai yang telah
kita tafsirkan pada Surat Al-‘Alaq yang telah lalu. Dan pada malam itu
pulalah perikemanusiaan diberi Kemuliaan, dikeluarkan dari zhulumaat,
kegelapan, kepada nur, cahaya petunjuk Allah yang gilang-gemilang. Dan
jika diartikan penentuan, berartilah di malam itu dimulai menentukan
garis pemisah di antara kufur dengan iman, jahiliyah dengan Islam,
syirik dengan tauhid, tidak berkacau-balau lagi. Dan dengan kedua
kesimpulan ini sudahlah nampak bahwa malam itu adalah malam yang
istimewa dari segala malam. Malam mulai terang-benderang wahyu datang ke
dunia kembali setelah terputus beberapa masa dengan habisnya tugas Nabi
yang terdahulu. Dan Nabi yang kemudian ini, Muhammad SAW adalah penutup
dari segala Nabi dan segala Rasul (Khatimul Anbiya’ wal mursalin).
“Dan sudahkah engkau tahu, apakah dia malam Kemuliaan itu?” (ayat 2).
Ayat yang kedua ini tersusun sebagai suatu pertanyaan Allah kepada
Nabi-Nya untuk memperkokoh perhatian kepada nilai tertinggi malam itu.
Dan setelah pertanyaan timbul dalam hati Nabi SAW apakah makna yang
terkandung dan rahasia yang tersembunyi dalam malam itu, maka Tuhan pun
menukas wahyu-Nya:
“Malam Kemuliaan itu lebih utama daripada 1000
bulan.” (ayat 3).
Dikatakan dalam ayat ketiga ini bahwa keutamaan malam Kemuliaan atau Malam Lailatul-Qadr
itu sama dengan 1000 bulan, lebih daripada 80 tahun, selanjut usia
seorang manusia. Lalu diterangkan pula sebabnya dalam ayat selanjutnya:
“Turun Malaikat dan Roh pada malam itu, dengan izin Tuhan mereka,
membawa pokok-pokok dari tiap-tiap perintah.” (ayat 4).
Itulah sebab yang nyata dari kemuliaan malam itu. Laksana satu
perutusan, atau satu delegasi, malaikat-malaikat turun ke muka bumi ini
bersama-sama dengan malaikat yang di sini disebut ROH, yaitu kepala dari
sekalian malaikat. Itulah Malaikat Jibril yang kadang-kadang disebut
juga Ruhul-Amin dan kadang-kadang disebut juga Rahul-Quds, yang menghantarkan wahyu kepada Nabi yang telah terpilih buat menerimanya, (Mushthafa), Muhammad SAW dia dalam gua Hira’.
Nilai malam itu menjadi tinggi sekali, lebih utama dari 1000 bulan,
setinggi-tinggi usia biasa yang dapat dicapai oleh manusia. Pada kali
pertama dan utama itu Jibril memperlihatkan dirinya kepada Muhammad
menurut keadaannya yang asli, sehingga Nabi sendiri pernah mengatakan
bahwa hanya dua kali dia dapat melihat Jibril itu dalam keadaannya yang
sebenarnya, yaitu pada malam Lailatul-Qadr, atau malam Nuzulul-Qur’an itu di Gua Hira’, dan kedua di Sidratul Muntaha ketika beliau mi’raj.
Pada kali yang lain beliau melihat Jibril hanyalah dalam penjelmaan
sebagai manusia, sebagai pernah dia menyerupakan dirinya dengan sahabat
Nabi yang bernama Dahiyyah Al-Kalbi.
Di dalam Surat 44, Ad-Dukhkhan ayat 3, malam itu disebut “lailatinmubaarakatin”, malam yang diberkati Tuhan.
Amat mulialah malam itu, sebab malaikat-malaikat dan Roh dapat
menyatakan dirinya dan Muhammad SAW mulai berhubungan dengan Alam
Malakut, dan akan terus-meneruslah hal itu selama 23 tahun; 10 tahun di
Makkah dan 13 tahun di Madinah, yaitu setelah lengkap wahyu itu
diturunkan Tuhan. Di ujung ayat disebutkan bahwa kedatangan
malaikat-malaikat dan Roh itu dengan izin Tuhan ialah karena akan
menyampaikan pokok-pokok dari tiap-tiap perintah. Setiap perintah akan
disampaikan kepada Rasul SAW, setiap itu pulalah malaikat dan Roh itu
akan datang, sehingga lancarlah perhubungan di antara alam syahadah
dengan Alam Ghaib.
“Sejahteralah dia sehingga terbit fajar.” (ayat 5). Dalam ayat ini
bertambah jelas bahwa malam itu adalah malam SALAAM, malam sejahtera,
malam damai dalam jiwa Rasul Allah. Sebab pada malam itulah beliau
diberi pengertian mengapa sejak beberapa waktu sebelum itu dia mengalami
beberapa pengalaman yang ganjil. Dia merasakan mimpi yang benar, dia
mendengar suara di dekat telinganya sebagai gemuruh bunyi lonceng. Mulai
pada malam itu terobat hati manusia utama itu, Muhammad SAW, yang sudah
sekian lama merasa diri terpencil dalam kaumnya karena perasaannya yang
murni sudah sejak kecilnya tidak menyetujui menyembah berhala dan tidak
pernah beliau memuja patung-patung dari batu dan kayu itu sejak
kecilnya. Dan sudah sejak mudanya hati kecilnya tidak menyetujui
adat-adat buruk bangsanya. Pada malam itulah terjawab segala pertanyaan
dalam hati, terbuka segala rahasia yang musykil selama ini. Itulah malam
damai, malam salam, sejak terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar
hari esoknya. Di waktu itu, sebab pada malam itulah “dipisahkan segala urusan yang penuh hikmah.” (Surat 44 Ad-Dukhkhan ayat 4). “Yaitu urusan yang benar dari sisi Kami; Sesungguhnya Kami adalah mengutus Rasul.” (ayat 5). “Sebagai rahmat dari Tuhanmu; Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Mendengar, lagi Mengetahui.” (ayat 6).
***
Dalam keterangan 3 ayat Lailatul-Qadr, ditambah 3 ayat pembuka dari
Surat Ad-Dukhkhan teranglah bahwa Malam Lailatul-Qadr itu adalah malam
mula turunya Al-Qur’an.
Bilakah masa Lailatul-Qadr itu? Al-Qur’an telah menjelaskannya lagi.
Di dalam Surat 2, Al-Baqarah ayat 185 jelas bahwa “Bulan Ramadhan adalah
bulan yang padanyalah diturunkan Al-Qur’an, menjadi petunjuk bagi
manusia, dan keterangan-keterangan dari petunjuk itu dan pemisah, di
antara yang hak dengan yang batil.
Tetapi menjadi perbincangan panjang lebar pula di antara ahli-ahli
Hadis dan riwayat, bilakah, malam apakah yang tepat Lailatul-Qadr itu?
Sehingga di dalam kitab Al-Fathul-Bari syarah Bukhari dari Ibnu Hajar
Al-Usqallani yang terkenal itu, disalinkan beliau tidak kurang dari 45 qaul
tentang malam terjadinya Lailatul-Qadr, masing-masing menurut
pengalaman dengan catatan Ulama-ulama yang merawikannya, sejak dari
malam 1 Ramadhan sampai 29 atau malam 30 Ramadhan ada saja tersebut
Ulama yang merawikannya di dalam kita tersebut. Dan semuanya pun
dinukilkan pula oleh Syaukani di dalam “Nailul-Authar”nya. Ada
satu riwayat dalam Hadis Bukhari dirawikan dari Abu Said Al-Khudri bahwa
tentang malam bulan Ramadhan itu diramaikan dan diisikan penuh dengan
ibadat. Tetapi terdapat juga riwayat yang kuat bahwa Lailatul-Qadr itu
ialah pada malam sepuluh akhir dari Ramadhan, artinya sejak malam 21.
Karena sejak malam 21 itu Nabi SAW lebih memperkuat ibadatnya daripada
malam-malam yang sebelumnya, sampai beliau bangunkan kaum keluarganya
yang tertidur.
Abdullah bin Masud, dan Asy-Sya’bi dan Al-Hasan dan Qatadah
berpendapat bahwa malam itu ialah malam 24 Ramadhan. Alasan mereka ialah
karena ada Hadis dari Wastilah bahwa Al-Qur’an diturunkan pada 24
Ramadhan.
Suatu riwayat lagi dari As-Sayuthi, yang kemudian sekali dikuatkan
oleh Syaikh Khudhari, Guru Besar pada Fuad I University (1922), jatuhnya
ialah pada 17 Ramadhan. Orang yang berpegang pada 17 Ramadhan ini
mengambil istimbath daripada ayat 41 dari Surat 8, Al-Anfal karena di sana tersebut:
“… dan apa yang Kami turunkan kepada Hamba Kami pada Pemisahan, hari bertemu dua golongan.”
“Hari bertemu dua golongan” ialah dalam peperangan Badar, pada 17
Ramadhan, sedang “Hari Pemisahan” ialah hari turunnya Al-Qur’an yang
pertama, yang disebut juga malam yang diberi berkat sebagai tersebut di
dalam Surat 44 Ad-Dukhkhan di atas tadi. Maka oleh karena berhadapan dua
golongan di Perang Badar itu, golongan Islam dan golongan musyrikin
terjadi 17 Ramadhan, mereka menguatkan bahwa Lailatul-Qadr, mulai
turunnya Al-qur’an di gua Hira’, ialah 17 Ramadhan pula, meskipun jarak
waktunya adalah 15 tahun.
Kita pun dapatlah memahamkan bahwa ini pun adalah hasil ijtihad, bukan suatu nash qath’i yang pasti dipegang teguh, sebab Nabi SAW menyuruh memperhebat ibadat setelah 10 yang akhir, bukan pada malam 17 Ramadhan.
Menurut keterangan Al-Hafiz Ibnu Hajar juga, di dalam Fathul-Bari,
setengah Ulama berpendapat bahwa Malam Lailatul-Qadr yang sebenarnya
hanyalah satu kali saja, yaitu ketika Al-Qur’an mulai pertama turun itu.
Adapun Lailatul-Qadr yang kita peringati dan memperbanyak ibadat pada
tiap malam hari Bulan Ramadhan itu, ialah untuk memperteguh ingatan kita
kepada turunnya Al-Qur’an itu. Sudah terang malam itu pasti terjadi
dalam bulan Ramadhan. Kita hidupkan malam itu, mengambil berkat dan
sempena dan memperbanyak syukur kepada Allah karena bertetapan dengan
malam itulah Al-Qur’an mulai diturunkan Allah. Berdiri mengerjakan
sembahyang yang disebut qiyamul-lail atau tarawih, di seluruh
malam Ramadhan ataupun menambah ramainya di malam 10 yang akhir,
pastilah salah satu bertetapan dengan malam turunnya Al-Qur’an.
Bukanlah ini saja hari-hari besar yang disuruh peringati di dalam
Agama Islam. Kita pun disuruh mempuasakan 10 Muharram, atau ‘Asyura
karena mengenangkan beberapa kejadian pada Nabi-nabi yang terdahulu pada
tanggal tersebut. Nabi SAW pun menegakkan beberapa Sunnah dalam manasik
haji guna mengenangkan kejadian zaman lampau; seumpama Sa’i antara
bukit Shafa dan Marwah mengenangkan betapa sulitnya Hajar mencari air
untuk puteranya Ismail di lembah yang tidak bertumbuh-tumbuhan itu. Kita
pun disuruh melontar Jumratul ‘Aqabah bersama kedua Jumrah lagi,
memperingati perdayaan syaitan kepada Nabi Ibrahim karena akan
menyembelih puteranya atas perintah Tuhan. Namun Ibrahim tetap teguh
hatinya dan tidak kena oleh perdayaan itu. Maka jika kita tilik
memperingati Lailatul-Qadr, atau Malam Kemuliaan, atau Malam Penentuan,
dapatlah semuanya kita pertautkan jadi satu, yaitu membesarkan syi’ar
Allah untuk menambah Takwa hati.
Ada juga yang mengatakan bahwa Malam Lailatul-Qadr itu dapat
disaksikan dengan kejadian yang ganjil-ganjil. Misalnya air berhenti
mengalir, pohon kayu runduk ke bumi dan sebagainya. Semuanya itu adalah
hal-hal yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut ilmu agama yang
sebenarnya.
Heran dan kagumlah saya dengan orang tua saya, Syaikh Yusuf Amrullah
yang wafat pada 11 Ramadhan 1392 (19 Oktober 1972), dalam usia 86 tahun,
seketika saya menziarahi beliau pada 10 April 1972. Beliau menyatakan
pendapatnya yang sesuai dengan pendapat Ulama yang disalinkan oleh
Al-Hafiz Ibnu Hajar tadi, bahwa Lailatul-Qadr yang sebenarnya hanya
sekali, yaitu ketika mula-mula Al-Qur’an diturunkan. Yang kita perkuat
berbuat ibadat di dalam bulan puasa menunggu Lailatul-Qadr itu ialah
memperingati dan memuliakan malam Al-Qur’an pertama turun itu. Kita
kenangkan tiap tahun, agar kita bertambah teguh memegang segala yang
dituntunkan Tuhan di dalam Al-Qur’an. Saya menjadi kagum, karena sudah
lama mata beliau tidak dapat melihat kitab-kitab lagi.
Ada juga terdapat beberapa perkataan mengatakan bahwa Lailatin-Mubaarakatin,
malam yang diberi berkat itu bukanlah Lailatul-Qadr, melainkan malam
Nisfu Sya’ban. Tetapi dalam penyelidikan terhadap sumber agama yang sah,
yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis yang shahih, tidaklah bertemu sumbernya.
Riwayat tentang Nisfu Sya’ban itu tidaklah dapat dipegang, sanad-sanad
ambilannya kacau-balau, riwayatnya banyak yang dha’if, bahkan ada yang
dusta. Oleh sebab itu tidaklah dapat dijadikan dasar untuk dijadikan
akidah dan pegangan.