Menurut jumhur mufassirin Surat Al-Fajr diturunkan Allah
di Makkah setelah Surat Al-Lail([1]). Dinamakan demikian karena dibuka dengan sumpah
Allah yang menggunakan waktu fajar([2]). Surat ini memuat tiga pokok tema besar: pertama,
setelah bersumpah Allah mengisahkan tentang umat terdahulu yang mendustakan
para utusan-Nya serta menjelas-kan kondisi tragis yang menimpa mereka sebagai
akibat dari sikap sombong dan pembangkangan mereka. Kedua, surat ini
membicarakan sunnah (hukum) Allah yang ada di dunia ini. Yaitu cobaan yang
akan dijalani setiap manusia, dari kesenangan atau kesulitan; kelapangan atau
kesempitan hidup, kemiskinan dan tabiat manusia yang sangat mencintai harta dan
dunia. Ketiga, surat ini ditutup dengan pembicaraan tentang hari akhir
dengan berbagai macam perniknya([3]). Jika dalam surat al-Ghasyiah dibahas dan
ditengarai penduduk neraka atau penghuni surga, maka dalam surat ini juga ada
perbedaan antara an-nafs al-muthma`innah (jiwa yang tenang) dengan
jiwa yang buruk yang selalu mengajak pada keburukan. Pada saat berpisah dengan
jasad terjadi perbedaan yang mendasar.
Sumpah-Sumpah Allah
Dalam surat ini Allah membukanya dengan sumpah dengan menggunakan waktu
fajar. “Demi fajar” (QS. 89: 1)
Yang dimaksud di dini adalah fajar yang sesungguhnya. Karena kita mengenal
ada dua jenis fajar. Yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Dan
yang dimaksud dalam ayat ini adalah yang shadiq. Yaitu waktu shubuh. Dinamakan
demikian karena ia membuyarkan waktu malam, dan dengan datangnya fajar maka
malam segera berakhir. Allah juga menggunakan nama lainnya untuk bersumpah,
yaitu seperti yang terdapat dalam surat at-Takwir ayat 18, “Dan demi subuh
apabila fajarnya mulai menyingsing” (QS. : 18). Dan ini terjadi setiap
hari, sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Ikrimah, Mujahid, Abu
Shalih dan as-Suddy([4]). Dengan sumpah ini tentu fajar merupakan suatu
waktu yang diistimewakan Allah. Di dalamnya kita memulai kehidupan. Di dalamnya
kita diwajibkan bersujud dan shalat pada-Nya. Di dalamnya rizki-rizki Allah
dibagikan.
Kemudian Allah bersumpah “Dan demi malam yang sepuluh” (QS.
89: 2).
Menurut sebagian para pakar tafsir yang dimaksud di sini adalah 10 hari
pertama di bulan Dzulhijjah([5]). Sebagian lagi ada yang menafsirkannya dengan 10
hari terakhir di bulan Ramadhan([6]) karena di dalamnya terdapat malam lailatul qadar.
Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud di sini adalah 10 hari pertama bulan
Muharam karena di dalamnya terdapat hari Asyura([7]), hari ketika Musa as dan Bani Israel diselamatkan
Allah dari kejaran Fir’aun. Allah menenggelamkan Fir’aun bersama bala
tentaranya.
Kemudian Allah melanjutkan sumpah-Nya. “Dan yang genap dan yang ganjil”
(QS. 89: 3)
Ada banyak pendapat yang menafsirkan sumpah ketiga ini. Sebagian ulama
menafsirkannya dengan hari Arafah dan Hari Idul Adha. Sebagian lagi mengatakan
bahwa genap menunjukkan makhluk Allah dan witir mengisyaratkan penciptanya (khâliq).
“al-watru” dalam ayat ini dibaca fathah wawu-nya sebagaimana
bacaan jumhur qurra`. Yaitu bacaan kabilah Quraisy. Sedang bacaan yang
menggunakan kasrah pada huruf wawu adalah bacaan kabilah Tamim([8]).
Ala kulli hal, dua bilangan di atas digunakan manusia dalam
kehidupannya. Dan Allah bersumpah dengan hal yang tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan manusia. Karena manusia, demikian juga makhluk-Nya masuk dalam
bilangan tersebut. Genap atau ganjil.
Keempat kalinya Allah bersumpah. Kali ini dengan mengulangi menyebut waktu
malam. “Dan malam bila berlalu” (QS. 89: 4)
Malam yang dimaksud dalam ayat ini adalah sebagaimana waktu malam yang
setiap hari kita lalui dan selalu diakhiri dengan terbitnya fajar. Meskipun ada
yang mengatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah malam Idul Adha.
Keempat hal yang dipergunakan Allah dalam bersumpah sangat menarik untuk diperhatikan.
Terlebih penegasan untuk memperhatikannya dalang setelah Allah bersumpah dengan
keempat hal tersebut. “Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat
diterima) oleh orang-orang yang berakal” (QS. 89: 5)
- Waktu Fajar
- Sepuluh malam
- Bilangan ganjil dan genap
- Waktu malam bila berlalu.
Pertama Allah bersumpah dengan fajar, waktu yang dimuliakan Allah. Kemudian
Sepuluh malam mengindikasikan jumlah dan waktu. Bahwa di antara malam-malam
yang dilalui manusia setiap hari pasti ada sebagian waktu yang dimuliakan
Allah. Yaitu sepuluh malam yang dipakai bersumpah dalam ayat ini terlepas dari
perbedaan ulama mengenai maksud dari malam-malam tersebut. Inti dari pembatasan
ini adalah bahwa ada waktu-waktu tertentu yang diistimewakan Allah. Manusia
yang cerdas akan menggunakannya dengan baik. Menginvestasikan waktunya untuk
bekal masa depannya. Kemudian bilangan genap dan ganjil mengindikasikan adanya
pasangan dalam kehidupan manusia. Ini adalah sunnah Allah. Allah menciptakan
sebagian besar ciptaan-Nya secara berpasangan. Selain itu dengan bilangan ini
seolah Allah juga mengingatkan bahwa manusia berada dalam batasan dua jenis
bilangan tersebut. Maka gunakanlah waktu dengan sebaik-baiknya.
Bila malam telah sirna dan hari berganti terang. Ini akan bermakna jika kita
mau memikirkannya secara mendalam. Bahwa kegelapan akan selalu berganti dengan
cahaya yang terang. Menandakan bahwa tiada kekekalan dalam kehidupan dunia.
Maka bersabarlah dan teruslah berusaha. Akan datang setelah malam cahaya yang
dinanti-nantikan manusia, waktu ia akan menggunakannya bekerja. Sebaliknya,
kelelahan bekerja akan sirna bila waktu malam datang. Saat sebagian besar
manusia menggunakannya untuk beristirahat.
Demikianlah, Allah memberikan karunia kepada manusia berupa waktu. Tapi
waktu tersebut selalu ada batasnya. Hanya orang cerdaslah yang bisa
memanfaatkan waktu yang diberikan Allah dengan baik. Dan menjadi tabiat serta
karakteristik waktu adalah selalu berputar dan tidak pernah berhenti sejenak
pun.
Kisah-Kisah Kaum Terdahulu
“Apakah
kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad? (yaitu)
penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Yang belum
pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain”. (QS. 89:
6-8)
Kaum Ad adalah kaum Nabi Hud as. Keturunan Ad bin Ash bin Iram bin Sam bin
Nuh. Penamaan ini menggunakan penamaan kakek moyang mereka. Yaitu orang-orang
yang terkenal kuat. Yang menjadikan kota Iram sebagai kota yang sangat
me-nakjubkan. Mereka menjadikannya pusat peradaban. Maka mereka bangun
gedung-gedung yang menjulang tinggi dan kokoh yang tidak dijumpai di manapun
saat itu. Kota Iram([9]) mereka sulap dengan gemerlap dan kemegahan yang
luar biasa. Orang-orang yang menyaksikannya akan langsung tahu ketinggian
peradaban mereka. Namun, ketinggian peradaban dan kekuatan fisik mereka
tidaklah berarti jika mereka mendus-takan ajaran Allah swt. Nabi Hud yang
diutus untuk mengingatkan mereka dan menun-jukkan jalan hidayah, mereka
dustakan. Padahal sebelumnya mereka mengenal Hud sebagai saudara yang baik
serta terpercaya. Tetapi setelah Hud mendakwahi mereka dengan risalah yang
dibawanya dari Allah, sikap mereka berbalik memusuhinya. Maka, Allah musnahkan
mereka. “Adapun kaum ‘Ad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang
sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka
selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum ‘Aad
pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang
telah lapuk” (QS. 69: 6-7)
Kekuatan
fisik dan ketinggian peradaban tak mampu menolong mereka untuk menghalangi dan
menghindarkan dari murka Allah yang murka-Nya tiada terbendung oleh siapa dan
apapun.
“Dan
kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah” (QS. 89: 9)
Adapun
kaum Tsamud yang datang setelah Kaum ‘Ad musnah, tidaklah pandai mengambil
pelajaran dan ibrah dari peristiwa dan sejarah keangkuhan serta kesombongan.
Mungkin karena mereka memiliki fisik yang kuat mereka bahkan mampu memahat
gunung-gunung batu dan kemudian menjadikannya sebagai hunian yang asri dan
nyaman([10]).
Nikmat
dan karunia yang sangat dahsyat ini tidaklah dibalas dengan kesyukuran dan
perilaku yang baik. Hati mereka membatu. Jika mereka bisa memahat dan mengukir
batu, tidaklah demikian hati mereka yang menjadi keras melebihi batu. Hal ini
pun tercermin dari keangkuhan mereka ketika meminta Nabi Shalih untuk
menunjukkan mukjizat Allah dan tanda kerasulannya. Mereka meminta batu-batu
yang ada di hadapan mereka bisa mengeluarkan seekor unta. Dan setelah mukjizat
ini benar-benar terjadi. Unta yang dipesankan oleh Nabi Shalih supaya tak
disakiti, dengan sengaja mereka sembelih. Hanya sekedar untuk menyelisihi
perintah dan petuah sang nabi. Maka, hati dan watak orang-orang yang membatu
seperti ini memang sangat laik jika kemudian diadzab oleh Allah([11]).
“Dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak. Yang berbuat
sewenang-wenang dalam negeri. Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri
itu”. (QS. 89: 10-12)
Demikian juga contoh ketiga yang Allah ceritakan dalam surat ini. Fir’aun,
bukanlah orang pertama yang angkuh dan sombong yang kemudian mematut-matutkan
diri sebagai Tuhan padahal ia sangat ringkih dan penakut. Betapa ia lebih laik
untuk disebut sebagai penakut. Karena ia sangat menakuti dan mencemaskan
seorang bayi laki-laki dari kalangan Bani Israel. Hanya karena satu bayi
laki-laki itu saja, ia kemudian mengerahkan segala kekuatan dan pengaruhnya
untuk membunuh ribuan manusia dan sebagian besar adalah anak-anak kecil yang
tak berdaya. Melawan tentaranya dengan persenjataan lengkap. Dan ketika
kekhawatirannya menjadi nyata ia kemudian gelap mata. Untuk menutupi
ketakutannya ini kemudian ia kumpulkan semua rakyatnya dan dengan congkak ia
kemudian “…. berkata: Akulah Tuhan kalian yang paling tinggi”. (QS.
79: 24)
Ia memang memiliki pasukan yang sangat banyak dan kuat. Ia juga bisa
membangun peradaban yang terus diingat orang-orang yang hidup setelahnya.
Karena ia memiliki para teknokrat yang brilian yang dikomandoi Haman. Juga para
ekonom dan akademisi serta kalangan profesional yang lain serta
futurolog-futurolog, peramal dan para tukang sihir yang semuanya menopangnya
menjadikan Mesir menjadi salah satu negara yang disegani saat itu. Tapi mengapa
ia kerahkan semua kelebihan-kelebihan itu untuk memerangi Musa, anak tirinya
yang hidup dan tumbuh dewasa di istananya. Yang para pengikutnya adalah
kumpulan orang-orang lemah. Hanya karena Musa membawa risalah pengesaan dan
penghambaan kepada Allah swt. Ia kejar Musa dan kaumnya, Bani Israel hingga
perbatasan darat dengan laut merah. Pertolongan Allah pun datang. Musa membelah
laut dengan tongkatnya. Fir’aun pun segera menyusulnya. Namun, Allah lebih
cepat mengembalikan Laut Merah menjadi seperti semula. Fir’aun dengan segala
kekuatan pasukan dan semua keangkuhannya tenggelam. Tak mampu menghadapi
tentara Allah yang kali ini bernama air.
Adapun pasak-pasak yang dimaksud di sini adalah yang disediakan untuk
menyiksa orang-orang yang membangkang. Jumlahnya empat digunakan untuk mengikat
kaki dan tangan dan terdapat diberbagai tempat dan dijaga oleh tentara-tentara
Fir’aun yang kejam. Sebagaimana yang dituturkan Imam al-Alusy([12]).
“Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab. Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar mengawasi” ([13]). (QS. 89: 13-14)
Orang-orang yang diberi kenikmatan seperti di atas dan kemudian tidak mau
bersyukur. Tidak juga bersedia mengindahkan peringatan Allah melalui
utusan-utusan-Nya. Maka, adzab Allah lebih tepat untuk mereka. Dan Allah terus
mengawasi mereka dari waktu ke waktu. Namun, mereka tidak juga melakukan
perubahan.
Kemuliaan dan Kehinaan
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan
diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: Tuhanku telah memuliakanku.
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya, maka dia berkata:
Tuhanku meng-hinakanku”. (QS. 89: 15-16)
Inilah standar kebanyakan manusia dalam menilai Allah. Betapa pendeknya
pandangan mereka. Kesalahan persepsi ini didasarkan pada beberapa penilaian:
- Membatasi rizki Allah hanya berbentuk materi yang bisa dilihat dengan kasat mata, padahal rizki Allah sangat luas. Selain berbentuk materi rizki Allah bisa berupa: kesehatan, ilmu, ketenangan jiwa dan sebagainya
- Standar kemuliaan tidaklah dilihat dari materi yang ada pada seseorang. Demikian juga bahwa kehinaan tidaklah selamanya melekat pada orang miskin yang tak berharta. Tak sedikit orang kaya yang hina di mata sesamanya juga dalam pandangan Allah swt karena perilakunya yang buruk. Juga tidak sedikit orang miskin yang mulia karena akhlak dan kualitasnya.
- Ujian Allah disikapi dengan prasangka buruk. Padahal seharusnya karunia Allah yang dianugerahkan mesti disyukuri dan dimanfaatkan dengan baik. Bila ada yang tidak sesuai dengan kehendak, maka sabar adalah sebaik-baik bekal dalam menghadapinya. Karena pada hakikatnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Allah pada manusia dengan kondisi yang berbeda-beda.
Dengan persepsi yang salah tentang rizki ini akan berdampak pada sikap dan
perilaku manusia. Mereka menjadi kikir dan sangat mencintai dunia. Secara lebih
spesifik Allah menggambarkannya sebagai berikut:
Pertama, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan
anak yatim” (QS. 89: 17)
Penyimpangan pertama yang terjadi akibat salah persepsi mengenai rizki dan
harta adalah menyia-nyiakan anak yatim dan menerlantarkan mereka. Padahal anak
yatim yang miskin secara fisik dan psikis itu perlu dilindungi dan disayangi.
Kedua, “Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin”
(QS. 89: 18)
Rasa kikir
ini berlanjut dengan tidak mau memberi makan kepada fakir miskin. Bah-kan ia
menganjurkan kepada orang lain untuk melakukan hal tersebut. Keburukan tabiat
dan perilakunya membuatnya juga berusaha membentuk komunitas yang buruk. Yaitu
komunitas yang menginginkan kekayaan hanya digenggam di tangan beberapa orang
saja, supaya mereka bisa mengendalikan segalanya dengan harta. Apa yang mereka
inginkan –dalam pandangan mereka- pasti selalu bisa didapatkan dengan harta dan
uang.
Ketiga, “Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan
(yang halal dan yang bathil)” (QS. 89: 19)
Yang
lebih buruk dari dua hal tersebut adalah perbuatan memakan harta warisan. Ini
adalah orang yang paling buruk. Ia memakan harta yang tidak menjadi haknya, kemudian
harta yang dimakannya tersebut adalah hak saudaranya([14]). Ia melakukan dua penyim-pangan sekaligus.
Penyimpangan harta dan penyimpangan ukhuwah. Terlebih penggunaan kata “ta’kuluna”
yang berarti memakan mengindikasikan kerakusan untuk dinikmati sendiri dan
memperturutkan syahwat perut tanpa peduli kondisi dan hak saudaranya.
Ibnu Zaid
mengatakan: tambahan kata “lamma” ini untuk menguatkan kerakusannya. Ia
memakan tanpa memperdulikan apakah yang dia makan itu halal atau haram,
sehingga ia kehilangan rasa malu([15]).
Keempat, “Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan”
(QS. 89: 20)
Kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang didasarkan atas sifat kikir di
atas jika tidak dilawan maka akan mengkristal. Pada saat sudah menjadi watak
maka seseorang akan benar-benar sulit melepaskan diri dari materi. Saat itu ia
benar-benar sangat mencintai dunia dengan kecintaan yang berlebihan yang akan
menghancurkan-nya. Tidakkah cukup kisah Qarun menjadi cermin atas petaka yang
diakibatkan oleh kecintaan yang berlebihan terhadap dunia?
Imam al-Qurthuby menafsirkan kecintaan ini maksudnya adalah kecintaan
yang berlebihan dalam mengumpulkan harta serta tidak menunaikan haknya dengan
sedekah dan zakat([16]).
Berhentinya Kecintaan Pada Dunia
“Jangan
(berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut. Dan datanglah
Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.” (QS. 89: 21-22)
Keniscayaan yang tak bisa dihindari oleh manusia dan semua yang bernafas adalah
menjumpai kematian. Bila ia mati, maka ia dipisah paksa dengan dunia yang
sangat dicintainya. Sebelumnya ia tak sadar bahwa sikap salahnya tersebut kelak
akan menghancurkannya. Karena kematian bukalah akhir dari segalanya. Nantinya,
saat semua manusia dibangkitkan kembali dari matinya. Allah mendatangi mereka
semua untuk meminta pertanggungjawaban. Para malaikat berbaris, ditugaskan
Allah menjadi panitia pengurusan hari akhir.
“Dan
pada hari itu diperlihatkan neraka jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia,
akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya” (QS. 89: 23)
Saat
semua tersingkap barulah orang-orang yang lalai tersadar. Panasnya neraka sudah
terasakan, dan mereka segera mengingat kesalahan demi kesalahan yang dilakukan.
Penyesalan dan mengingat hal yang demikian pada saat itu tidaklah berguna. “Dia
mengatakan: Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk
hidupku ini” (QS. 89: 24). Karena penyesalan di saat yang demikian menjadi
sia-sia dan akan semakin membuat mereka menderita. Penderitaan di atas
penderitaan. Fisik dan jiwa merana karena salah memilih sikap di dunia.
“Maka
pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya. Dan tiada
seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya” (QS. 89: 25-26)
Dzat yang
serba maha hari itu terlihat dengan jelas kekuasaan-Nya. Orang yang tadinya
beriman dan yakin akan kebesaran dan kekuasaan-Nya akan semakin puas. Dan orang
yang mengingkari-Nya pada hari itu terpaksa mengakuinya dengan berjuta
penyesalan. Karena murka dan azdab-Nya sangat pedih dan menyakitkan. Tiada yang
sanggup menghindar dari siksaaan-Nya. Tidak pula ada yang sanggup
menghalangi-Nya untuk berbuat apa saja. Semua hijab telah dibuka. Karena hari
itu adalah hari pembalasan. Selesailah hari perjuangan dan amal. Hanya tinggal
menunggu hasil dan ganjarannya saja.
Jiwa yang Tenang
“Hai
jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam
surga-Ku”. (QS. 89: 27-30)
Adapun orang-orang beriman yang memiliki jiwa yang tenang, saat perpisahan
dengan jasad pun malaikat-malaikat-Nya memperlakukan dan memanggilnya dengan
lembut. Sang pencabut nyawa juga berusaha tidak menyakiti saat memisahkan ruh
dari jasad orang baik tersebut. Meskipun tetap saja usaha tersebut tidak
berhasil, karena perpisahan jiwa dan raga tetap menyisakan rasa sakit yang tak
terperikan. Saat raga di pendam di dalam perut bumi, jiwa yang tenang tersebut mi’raj
ke langit.
“Jiwa yang tenang tinggalkanlah dunia dengan segala kepenatannya. Dengan
tenang temui Tuhanmu” Demikian Abu Abdirrahman As-Sulamy mengomentari ayat
di atas([17]).
Ia telah ditunggu penduduk langit yang menantikannya. Ia disambut dengan
senyum. Ia segera bergabung dengan kafilah orang-orang salih dan bertaqwa.
Kemudian ia nikmati fasilitas yang serba mewah yang telah Allah sediakan
untuknya dan hamba-hamba-Nya yang baik. Semoga kita termasuk ke dalam golongan
jiwa yang tenang. Amin.