Surat ini terdiri atas 19 ayat,
termasuk golongan surat-surat Makkiyah (yang diturunkan di Mekkah) dan
diturunkan sesudah surat At-Takwiir. Nama Al-A’laa diambil dari kata “al-A’laa”
yang terdapat pada ayat pertama, yang artinya “Maha Tinggi”. Dalam
riwayat-riwayat hadis, surat ini juga disebut sebagai surat “Sabbih/sabbaha”
(Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah).
Fadhilah Surat Ini
Menurut Imam Muslim dalam kitab Al
Jumu’ah, dan diriwiyatkan juga oleh Ashhaabul Sunan, surat ini biasa dibaca
oleh Rasulullah saw. pada shalat dua hari raya (Fitri dan Adha) dan hari
Jum’at.
“Dari Nu’man Ibnu Basyir bahwa
Rasulullah saw pada shalat dua hari raya dan shalat Jum’at membaca surat Al
A’laa pada rakaat pertama dan surat Al Ghaasyiyah pada rakaat kedua.”
Imam Ahmad dalam kitab Musnad juga
meriwayatkan hadits dari Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu anha beliau berkata
“Adalah Rasulullah saw membaca sabbihismarabbikal a’laa pada rakaat pertama
shalal witir, kemudian pada rakaat kedua dan ketiga beliau membaca Al-Kafirun
dan Al-Ikhlas.
Kandungan Surat Ini
Surat Al-A’laa berisi keterangan
asal-usul dan tujuan penciptaan manusia, adanya surga dan neraka, dan perintah
untuk menyampaikan peringatan kepada manusia. Menurut Sayyid Sabiq, surat ini
biasa dibacakan oleh Rasulullah pada pagi hari, dimana pada waktu itu manusia
masih dalam kondisi yang sempurna, telah beristirahat dan pikiran masih jernih
– belum tercemari hal-hal duniawi, sehingga ayat-ayat didalam surat ini mudah
dicerna dan dihayati.
Surat ini diawali dengan perintah
untuk bertasbih, menyucikan dan meninggikan nama Allah. Kata “sabbih” atau
“sucikanlah” adalah kata perintah, yaitu perintah untuk menyebut nama Allah
(bertasbih) sebagai satu-satunya Dzat yang harus ditinggikan dan diagungkan
diatas nama-nama atau hal-hal yang lain.
Kemudian Rasulullah saw
memerintahkan kepada sahabatnya untuk menjadikannya sebagai bacaan sujud,
seperti sabda beliau: “Jadikanlah ia sebagai bacaan pada sujud kalian” (HR.Abu
Daud dan Ibnu Majah). Lalu Rasulullah saw mencontohkan bacaan sujud tersebut,
yaitu: “Subhana Rabbiyal A’laa.”
Pada ayat ke-2, Allah menyebutkan
bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menyempurnakan ciptaan-Nya.
Allah adalah Sang Pencipta.
Kemudian pada ayat ke-3, Allah
menyebutkan bahwa ciptaanNya itu telah ditentukan kadarnya masing-masing, dan
Allah telah memberi petunjuk. Para mufassirin mengartikan kadar itu sebagai
batas waktu atau umur ciptaan-Nya. Sementara petunjuk yang dimaksud adalah al
Qur’an.
Pada ayat ke-4 dan ke-5,Allah
menyebutkan tentang penciptaan alam yaitu siklus hidup rumput, sebagai
penjelasan tentang apa yang disebutkan diatas bahwa Allah yang telah menentukan
kadar ciptaan-Nya. Artinya Allah-lah yang mengadakan dan memusnahkan
ciptaanNya.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah
hadits dari Abdullah bin Amr bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah telah menentukan segala sesuatu sebelum Allah menciptakan langit dan bumi
lima puluh ribu tahun, dan Arsy-Nya diatas air”
Lalu pada ayat ke-6 dan ke-7 Allah
menyebutkan bahwa Al Qur’an itu dibacakan (oleh Jibril) kepada Nabi saw dan
Nabi saw tidak akan lupa atas bacaan tersebut, kecuali kalau Allah menghendaki
(kelupaan) itu, karena Allah yang mengetahui segala yang terang (jahar)
dan yang tersembunyi (yakhfa).
Pada satu riwayat dikemukakan bahwa
apabila Jibril datang membawa wahyu kepada Nabi saw, beliau mengulang kembali
wahyu itu sebelum Jibril selesai menyampaikannya (membacakannya) karena beliau
saw takut lupa lagi. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai jaminan bahwa
Rasulullah saw tidak akan lupa pada wahyu yang telah diturunkan kepadanya
.(Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Didalam
sanadnya terdapat Juwaibir yang lemah daya ingatnya)
Kemudian pada ayat ke-8, Allah
menyebutkan bahwa Dia akan memberikan taufik ke jalan yang mudah. Jalan yang
mudah diartikan oleh para ahli tafsir sebagai jalan yang akan membawa
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Setelah nama Allah yang Maha Tinggi
disucikan, petunjuk berupa wahyu (Al Qur`an) telah diturunkan, dan taufik telah
dianugerahkan, maka pada ayat ke-9 Allah memerintahkan manusia untuk memberikan
peringatan kepada manusia yang lainnya. Tentang isi peringatan itu Allah telah
menjelaskan pada wahyu sebelumnya yaitu Surat Thahaa (20) ayat 99 dan al
Anbiyaa’ (21) ayat 24, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai peringatan
itu adalah al-Qur`an.
Allah swt berfirman: …dan
sesungguhnya telah kami berikan kepadamu dari sisi kami suatu peringatan
(al-Qur`aan).” (QS. Thahaa: 99)
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan
selain-Nya? Katakanlah: “Tunjukkanlah hujjahmu! (al Quran) ini adalah
peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang
yang sebelumku[956].” Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui
yang hak, karena itu mereka berpaling.”
(QS. al-Anbiyaa’:24)
Kalimat “fadzakkir innafa’atidz
dzikraa diartikan sebagai “berilah peringatan karena peringatan itu
berguna”, bukan diartikan sebagai “berilah peringatan jika peringatan itu
berguna”. Artinya kita jangan berhenti memberi peringatan, karena peringatan
itu akan berguna, yaitu jika bukan kepada yang diperingati, pasti untuk yang
memperingati. Manfaatnya antara lain sang pemberi peringatan akan mendapatkan
ganjaran yang baik dari Allah Azza wa Jalla.
Sebagai pewaris ajaran Nabi saw kita
diperintahkan untuk mengajak umat manusia ke jalan yang mudah (lagi benar)
dengan petunjuk berupa al Qur`an. Dan para kader da’wah (penyeru) tidak boleh
berputus asa dalam memberi peringatan ini, meski hasil yang diperoleh belum
memuaskan. Intinya, jangan berhenti mengajak! Bukankah Nabi Nuh a.s. saja
berdakwah kepada kaumnya selama “seribu tahun kurang lima puluh” ? (QS.
Al-Ankabut:14). Karena itu jangan pernah putus asa dalam mengajak!
Disini kita perlu pula mempelajari
dan menggunakan yang baik dalam memberi peringatan agar tepat sasaran dan
mencapai tujuan.
Kembali pada Surat al-A’laa, pada
ayat ke 10, disebutkan bahwa “orang yang takut kepada Allah akan mendapat
pelajaran” dengan adanya peringatan tersebut.
Lalu pada ayat selanjutnya
dinyatakan bahwa “orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya” (menjauhi
peringatan/al-Qur`an tersebut—pen).
Disinilah Allah menjelaskan
perbedaan antara orang mu’min dan orang kafir, dalam menerima peringatan. Jadi,
jika ada diantara orang-orang yang kita seru kepada al-Qur`aan menjauhinya
bahkan menolak, itulah orang-orang yang kafir terhadap Allah Azza wa Jalla.
Dua ayat selanjutnya, menjelaskan
lebih jauh tentang keadaan orang yang menjauhi peringatan tersebut, yaitu “…
akan memasuki api yang besar (neraka)” dan “dia tidak akan mati di dalamnya dan
tidak (pula) hidup.”
Kemudian pada ayat selanjutnya Allah
swt membandingkannya dengan orang yang mau menerima petunjuk, yang Dia sebut
sebagai orang yang beruntung karena mau membersihkan dirinya (beriman). Yang
cirri-cirinya dijelaskan Allah swt pada ayat ke-15 yaitu “dan dia ingat nama
Tuhannya, lalu dia sembahyang.”
Ayat ini disambungkan dengan
kalimat.”Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.”
(QS.20:16). Padahal “kehidupan akhirat (surga—pen) adalah lebih baik
dan lebih kekal.”
Kemudian surat Al-A’laa ini ditutup
dengan dua ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam
kitab-kitab yang dahulu.” Lalu disambungkan dengan: “(yaitu) Kitab-kitab
Ibrahim dan Musa“. Ayat ini menyatakan bahwa sesungguhnya peringatan atau
ayat-ayat yang tercantum dalam al-Qur’an itu (khususnya dalam surat al A’laa
tersebut) telah disampaikan juga oleh Nabi Ibrahim dan Musa a.s. kepada kaumnya
dan termaktub dalam kitab-kitabnya. Hal ini dinyatakan Allah sebagai hujjah
terhadap orang kafir. Wallahu ta’ala A’lam bishawab.
Tadabbur QS Al-A’laa
Ditulis oleh admin • Jun 28th, 2010 • Kategori: Kajian Al-Qur'anSurat ini terdiri atas 19 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah (yang diturunkan di Mekkah) dan diturunkan sesudah surat At-Takwiir. Nama Al-A’laa diambil dari kata “al-A’laa” yang terdapat pada ayat pertama, yang artinya “Maha Tinggi”. Dalam riwayat-riwayat hadis, surat ini juga disebut sebagai surat “Sabbih/sabbaha” (Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah).
Fadhilah Surat Ini
Menurut Imam Muslim dalam kitab Al Jumu’ah, dan diriwiyatkan juga oleh Ashhaabul Sunan, surat ini biasa dibaca oleh Rasulullah saw. pada shalat dua hari raya (Fitri dan Adha) dan hari Jum’at.
“Dari Nu’man Ibnu Basyir bahwa Rasulullah saw pada shalat dua hari raya dan shalat Jum’at membaca surat Al A’laa pada rakaat pertama dan surat Al Ghaasyiyah pada rakaat kedua.”
Imam Ahmad dalam kitab Musnad juga meriwayatkan hadits dari Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu anha beliau berkata “Adalah Rasulullah saw membaca sabbihismarabbikal a’laa pada rakaat pertama shalal witir, kemudian pada rakaat kedua dan ketiga beliau membaca Al-Kafirun dan Al-Ikhlas.
Kandungan Surat Ini
Surat Al-A’laa berisi keterangan asal-usul dan tujuan penciptaan manusia, adanya surga dan neraka, dan perintah untuk menyampaikan peringatan kepada manusia. Menurut Sayyid Sabiq, surat ini biasa dibacakan oleh Rasulullah pada pagi hari, dimana pada waktu itu manusia masih dalam kondisi yang sempurna, telah beristirahat dan pikiran masih jernih – belum tercemari hal-hal duniawi, sehingga ayat-ayat didalam surat ini mudah dicerna dan dihayati.
Surat ini diawali dengan perintah untuk bertasbih, menyucikan dan meninggikan nama Allah. Kata “sabbih” atau “sucikanlah” adalah kata perintah, yaitu perintah untuk menyebut nama Allah (bertasbih) sebagai satu-satunya Dzat yang harus ditinggikan dan diagungkan diatas nama-nama atau hal-hal yang lain.
Kemudian Rasulullah saw memerintahkan kepada sahabatnya untuk menjadikannya sebagai bacaan sujud, seperti sabda beliau: “Jadikanlah ia sebagai bacaan pada sujud kalian” (HR.Abu Daud dan Ibnu Majah). Lalu Rasulullah saw mencontohkan bacaan sujud tersebut, yaitu: “Subhana Rabbiyal A’laa.”
Pada ayat ke-2, Allah menyebutkan bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menyempurnakan ciptaan-Nya. Allah adalah Sang Pencipta.
Kemudian pada ayat ke-3, Allah menyebutkan bahwa ciptaanNya itu telah ditentukan kadarnya masing-masing, dan Allah telah memberi petunjuk. Para mufassirin mengartikan kadar itu sebagai batas waktu atau umur ciptaan-Nya. Sementara petunjuk yang dimaksud adalah al Qur’an.
Pada ayat ke-4 dan ke-5,Allah menyebutkan tentang penciptaan alam yaitu siklus hidup rumput, sebagai penjelasan tentang apa yang disebutkan diatas bahwa Allah yang telah menentukan kadar ciptaan-Nya. Artinya Allah-lah yang mengadakan dan memusnahkan ciptaanNya.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Amr bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menentukan segala sesuatu sebelum Allah menciptakan langit dan bumi lima puluh ribu tahun, dan Arsy-Nya diatas air”
Lalu pada ayat ke-6 dan ke-7 Allah menyebutkan bahwa Al Qur’an itu dibacakan (oleh Jibril) kepada Nabi saw dan Nabi saw tidak akan lupa atas bacaan tersebut, kecuali kalau Allah menghendaki (kelupaan) itu, karena Allah yang mengetahui segala yang terang (jahar) dan yang tersembunyi (yakhfa).
Pada satu riwayat dikemukakan bahwa apabila Jibril datang membawa wahyu kepada Nabi saw, beliau mengulang kembali wahyu itu sebelum Jibril selesai menyampaikannya (membacakannya) karena beliau saw takut lupa lagi. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai jaminan bahwa Rasulullah saw tidak akan lupa pada wahyu yang telah diturunkan kepadanya .(Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Didalam sanadnya terdapat Juwaibir yang lemah daya ingatnya)
Kemudian pada ayat ke-8, Allah menyebutkan bahwa Dia akan memberikan taufik ke jalan yang mudah. Jalan yang mudah diartikan oleh para ahli tafsir sebagai jalan yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.
Setelah nama Allah yang Maha Tinggi disucikan, petunjuk berupa wahyu (Al Qur`an) telah diturunkan, dan taufik telah dianugerahkan, maka pada ayat ke-9 Allah memerintahkan manusia untuk memberikan peringatan kepada manusia yang lainnya. Tentang isi peringatan itu Allah telah menjelaskan pada wahyu sebelumnya yaitu Surat Thahaa (20) ayat 99 dan al Anbiyaa’ (21) ayat 24, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai peringatan itu adalah al-Qur`an.
Allah swt berfirman: …dan sesungguhnya telah kami berikan kepadamu dari sisi kami suatu peringatan (al-Qur`aan).” (QS. Thahaa: 99)
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah: “Tunjukkanlah hujjahmu! (al Quran) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku[956].” Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” (QS. al-Anbiyaa’:24)
Kalimat “fadzakkir innafa’atidz dzikraa diartikan sebagai “berilah peringatan karena peringatan itu berguna”, bukan diartikan sebagai “berilah peringatan jika peringatan itu berguna”. Artinya kita jangan berhenti memberi peringatan, karena peringatan itu akan berguna, yaitu jika bukan kepada yang diperingati, pasti untuk yang memperingati. Manfaatnya antara lain sang pemberi peringatan akan mendapatkan ganjaran yang baik dari Allah Azza wa Jalla.
Sebagai pewaris ajaran Nabi saw kita diperintahkan untuk mengajak umat manusia ke jalan yang mudah (lagi benar) dengan petunjuk berupa al Qur`an. Dan para kader da’wah (penyeru) tidak boleh berputus asa dalam memberi peringatan ini, meski hasil yang diperoleh belum memuaskan. Intinya, jangan berhenti mengajak! Bukankah Nabi Nuh a.s. saja berdakwah kepada kaumnya selama “seribu tahun kurang lima puluh” ? (QS. Al-Ankabut:14). Karena itu jangan pernah putus asa dalam mengajak!
Disini kita perlu pula mempelajari dan menggunakan yang baik dalam memberi peringatan agar tepat sasaran dan mencapai tujuan.
Kembali pada Surat al-A’laa, pada ayat ke 10, disebutkan bahwa “orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran” dengan adanya peringatan tersebut.
Lalu pada ayat selanjutnya dinyatakan bahwa “orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya” (menjauhi peringatan/al-Qur`an tersebut—pen).
Disinilah Allah menjelaskan perbedaan antara orang mu’min dan orang kafir, dalam menerima peringatan. Jadi, jika ada diantara orang-orang yang kita seru kepada al-Qur`aan menjauhinya bahkan menolak, itulah orang-orang yang kafir terhadap Allah Azza wa Jalla.
Dua ayat selanjutnya, menjelaskan lebih jauh tentang keadaan orang yang menjauhi peringatan tersebut, yaitu “… akan memasuki api yang besar (neraka)” dan “dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.”
Kemudian pada ayat selanjutnya Allah swt membandingkannya dengan orang yang mau menerima petunjuk, yang Dia sebut sebagai orang yang beruntung karena mau membersihkan dirinya (beriman). Yang cirri-cirinya dijelaskan Allah swt pada ayat ke-15 yaitu “dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.”
Ayat ini disambungkan dengan kalimat.”Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” (QS.20:16). Padahal “kehidupan akhirat (surga—pen) adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Kemudian surat Al-A’laa ini ditutup dengan dua ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.” Lalu disambungkan dengan: “(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa“. Ayat ini menyatakan bahwa sesungguhnya peringatan atau ayat-ayat yang tercantum dalam al-Qur’an itu (khususnya dalam surat al A’laa tersebut) telah disampaikan juga oleh Nabi Ibrahim dan Musa a.s. kepada kaumnya dan termaktub dalam kitab-kitabnya. Hal ini dinyatakan Allah sebagai hujjah terhadap orang kafir. Wallahu ta’ala A’lam bishawab.
Tadabbur QS Al-A’laa
Ditulis oleh admin • Jun 28th, 2010 • Kategori: Kajian Al-Qur'anSurat ini terdiri atas 19 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah (yang diturunkan di Mekkah) dan diturunkan sesudah surat At-Takwiir. Nama Al-A’laa diambil dari kata “al-A’laa” yang terdapat pada ayat pertama, yang artinya “Maha Tinggi”. Dalam riwayat-riwayat hadis, surat ini juga disebut sebagai surat “Sabbih/sabbaha” (Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah).
Fadhilah Surat Ini
Menurut Imam Muslim dalam kitab Al Jumu’ah, dan diriwiyatkan juga oleh Ashhaabul Sunan, surat ini biasa dibaca oleh Rasulullah saw. pada shalat dua hari raya (Fitri dan Adha) dan hari Jum’at.
“Dari Nu’man Ibnu Basyir bahwa Rasulullah saw pada shalat dua hari raya dan shalat Jum’at membaca surat Al A’laa pada rakaat pertama dan surat Al Ghaasyiyah pada rakaat kedua.”
Imam Ahmad dalam kitab Musnad juga meriwayatkan hadits dari Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu anha beliau berkata “Adalah Rasulullah saw membaca sabbihismarabbikal a’laa pada rakaat pertama shalal witir, kemudian pada rakaat kedua dan ketiga beliau membaca Al-Kafirun dan Al-Ikhlas.
Kandungan Surat Ini
Surat Al-A’laa berisi keterangan asal-usul dan tujuan penciptaan manusia, adanya surga dan neraka, dan perintah untuk menyampaikan peringatan kepada manusia. Menurut Sayyid Sabiq, surat ini biasa dibacakan oleh Rasulullah pada pagi hari, dimana pada waktu itu manusia masih dalam kondisi yang sempurna, telah beristirahat dan pikiran masih jernih – belum tercemari hal-hal duniawi, sehingga ayat-ayat didalam surat ini mudah dicerna dan dihayati.
Surat ini diawali dengan perintah untuk bertasbih, menyucikan dan meninggikan nama Allah. Kata “sabbih” atau “sucikanlah” adalah kata perintah, yaitu perintah untuk menyebut nama Allah (bertasbih) sebagai satu-satunya Dzat yang harus ditinggikan dan diagungkan diatas nama-nama atau hal-hal yang lain.
Kemudian Rasulullah saw memerintahkan kepada sahabatnya untuk menjadikannya sebagai bacaan sujud, seperti sabda beliau: “Jadikanlah ia sebagai bacaan pada sujud kalian” (HR.Abu Daud dan Ibnu Majah). Lalu Rasulullah saw mencontohkan bacaan sujud tersebut, yaitu: “Subhana Rabbiyal A’laa.”
Pada ayat ke-2, Allah menyebutkan bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menyempurnakan ciptaan-Nya. Allah adalah Sang Pencipta.
Kemudian pada ayat ke-3, Allah menyebutkan bahwa ciptaanNya itu telah ditentukan kadarnya masing-masing, dan Allah telah memberi petunjuk. Para mufassirin mengartikan kadar itu sebagai batas waktu atau umur ciptaan-Nya. Sementara petunjuk yang dimaksud adalah al Qur’an.
Pada ayat ke-4 dan ke-5,Allah menyebutkan tentang penciptaan alam yaitu siklus hidup rumput, sebagai penjelasan tentang apa yang disebutkan diatas bahwa Allah yang telah menentukan kadar ciptaan-Nya. Artinya Allah-lah yang mengadakan dan memusnahkan ciptaanNya.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Amr bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menentukan segala sesuatu sebelum Allah menciptakan langit dan bumi lima puluh ribu tahun, dan Arsy-Nya diatas air”
Lalu pada ayat ke-6 dan ke-7 Allah menyebutkan bahwa Al Qur’an itu dibacakan (oleh Jibril) kepada Nabi saw dan Nabi saw tidak akan lupa atas bacaan tersebut, kecuali kalau Allah menghendaki (kelupaan) itu, karena Allah yang mengetahui segala yang terang (jahar) dan yang tersembunyi (yakhfa).
Pada satu riwayat dikemukakan bahwa apabila Jibril datang membawa wahyu kepada Nabi saw, beliau mengulang kembali wahyu itu sebelum Jibril selesai menyampaikannya (membacakannya) karena beliau saw takut lupa lagi. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai jaminan bahwa Rasulullah saw tidak akan lupa pada wahyu yang telah diturunkan kepadanya .(Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Didalam sanadnya terdapat Juwaibir yang lemah daya ingatnya)
Kemudian pada ayat ke-8, Allah menyebutkan bahwa Dia akan memberikan taufik ke jalan yang mudah. Jalan yang mudah diartikan oleh para ahli tafsir sebagai jalan yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.
Setelah nama Allah yang Maha Tinggi disucikan, petunjuk berupa wahyu (Al Qur`an) telah diturunkan, dan taufik telah dianugerahkan, maka pada ayat ke-9 Allah memerintahkan manusia untuk memberikan peringatan kepada manusia yang lainnya. Tentang isi peringatan itu Allah telah menjelaskan pada wahyu sebelumnya yaitu Surat Thahaa (20) ayat 99 dan al Anbiyaa’ (21) ayat 24, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai peringatan itu adalah al-Qur`an.
Allah swt berfirman: …dan sesungguhnya telah kami berikan kepadamu dari sisi kami suatu peringatan (al-Qur`aan).” (QS. Thahaa: 99)
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah: “Tunjukkanlah hujjahmu! (al Quran) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku[956].” Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” (QS. al-Anbiyaa’:24)
Kalimat “fadzakkir innafa’atidz dzikraa diartikan sebagai “berilah peringatan karena peringatan itu berguna”, bukan diartikan sebagai “berilah peringatan jika peringatan itu berguna”. Artinya kita jangan berhenti memberi peringatan, karena peringatan itu akan berguna, yaitu jika bukan kepada yang diperingati, pasti untuk yang memperingati. Manfaatnya antara lain sang pemberi peringatan akan mendapatkan ganjaran yang baik dari Allah Azza wa Jalla.
Sebagai pewaris ajaran Nabi saw kita diperintahkan untuk mengajak umat manusia ke jalan yang mudah (lagi benar) dengan petunjuk berupa al Qur`an. Dan para kader da’wah (penyeru) tidak boleh berputus asa dalam memberi peringatan ini, meski hasil yang diperoleh belum memuaskan. Intinya, jangan berhenti mengajak! Bukankah Nabi Nuh a.s. saja berdakwah kepada kaumnya selama “seribu tahun kurang lima puluh” ? (QS. Al-Ankabut:14). Karena itu jangan pernah putus asa dalam mengajak!
Disini kita perlu pula mempelajari dan menggunakan yang baik dalam memberi peringatan agar tepat sasaran dan mencapai tujuan.
Kembali pada Surat al-A’laa, pada ayat ke 10, disebutkan bahwa “orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran” dengan adanya peringatan tersebut.
Lalu pada ayat selanjutnya dinyatakan bahwa “orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya” (menjauhi peringatan/al-Qur`an tersebut—pen).
Disinilah Allah menjelaskan perbedaan antara orang mu’min dan orang kafir, dalam menerima peringatan. Jadi, jika ada diantara orang-orang yang kita seru kepada al-Qur`aan menjauhinya bahkan menolak, itulah orang-orang yang kafir terhadap Allah Azza wa Jalla.
Dua ayat selanjutnya, menjelaskan lebih jauh tentang keadaan orang yang menjauhi peringatan tersebut, yaitu “… akan memasuki api yang besar (neraka)” dan “dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.”
Kemudian pada ayat selanjutnya Allah swt membandingkannya dengan orang yang mau menerima petunjuk, yang Dia sebut sebagai orang yang beruntung karena mau membersihkan dirinya (beriman). Yang cirri-cirinya dijelaskan Allah swt pada ayat ke-15 yaitu “dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.”
Ayat ini disambungkan dengan kalimat.”Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” (QS.20:16). Padahal “kehidupan akhirat (surga—pen) adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Kemudian surat Al-A’laa ini ditutup dengan dua ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.” Lalu disambungkan dengan: “(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa“. Ayat ini menyatakan bahwa sesungguhnya peringatan atau ayat-ayat yang tercantum dalam al-Qur’an itu (khususnya dalam surat al A’laa tersebut) telah disampaikan juga oleh Nabi Ibrahim dan Musa a.s. kepada kaumnya dan termaktub dalam kitab-kitabnya. Hal ini dinyatakan Allah sebagai hujjah terhadap orang kafir. Wallahu ta’ala A’lam bishawab.
Tadabbur QS Al-A’laa
Ditulis oleh admin • Jun 28th, 2010 • Kategori: Kajian Al-Qur'anSurat ini terdiri atas 19 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah (yang diturunkan di Mekkah) dan diturunkan sesudah surat At-Takwiir. Nama Al-A’laa diambil dari kata “al-A’laa” yang terdapat pada ayat pertama, yang artinya “Maha Tinggi”. Dalam riwayat-riwayat hadis, surat ini juga disebut sebagai surat “Sabbih/sabbaha” (Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah).
Fadhilah Surat Ini
Menurut Imam Muslim dalam kitab Al Jumu’ah, dan diriwiyatkan juga oleh Ashhaabul Sunan, surat ini biasa dibaca oleh Rasulullah saw. pada shalat dua hari raya (Fitri dan Adha) dan hari Jum’at.
“Dari Nu’man Ibnu Basyir bahwa Rasulullah saw pada shalat dua hari raya dan shalat Jum’at membaca surat Al A’laa pada rakaat pertama dan surat Al Ghaasyiyah pada rakaat kedua.”
Imam Ahmad dalam kitab Musnad juga meriwayatkan hadits dari Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu anha beliau berkata “Adalah Rasulullah saw membaca sabbihismarabbikal a’laa pada rakaat pertama shalal witir, kemudian pada rakaat kedua dan ketiga beliau membaca Al-Kafirun dan Al-Ikhlas.
Kandungan Surat Ini
Surat Al-A’laa berisi keterangan asal-usul dan tujuan penciptaan manusia, adanya surga dan neraka, dan perintah untuk menyampaikan peringatan kepada manusia. Menurut Sayyid Sabiq, surat ini biasa dibacakan oleh Rasulullah pada pagi hari, dimana pada waktu itu manusia masih dalam kondisi yang sempurna, telah beristirahat dan pikiran masih jernih – belum tercemari hal-hal duniawi, sehingga ayat-ayat didalam surat ini mudah dicerna dan dihayati.
Surat ini diawali dengan perintah untuk bertasbih, menyucikan dan meninggikan nama Allah. Kata “sabbih” atau “sucikanlah” adalah kata perintah, yaitu perintah untuk menyebut nama Allah (bertasbih) sebagai satu-satunya Dzat yang harus ditinggikan dan diagungkan diatas nama-nama atau hal-hal yang lain.
Kemudian Rasulullah saw memerintahkan kepada sahabatnya untuk menjadikannya sebagai bacaan sujud, seperti sabda beliau: “Jadikanlah ia sebagai bacaan pada sujud kalian” (HR.Abu Daud dan Ibnu Majah). Lalu Rasulullah saw mencontohkan bacaan sujud tersebut, yaitu: “Subhana Rabbiyal A’laa.”
Pada ayat ke-2, Allah menyebutkan bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menyempurnakan ciptaan-Nya. Allah adalah Sang Pencipta.
Kemudian pada ayat ke-3, Allah menyebutkan bahwa ciptaanNya itu telah ditentukan kadarnya masing-masing, dan Allah telah memberi petunjuk. Para mufassirin mengartikan kadar itu sebagai batas waktu atau umur ciptaan-Nya. Sementara petunjuk yang dimaksud adalah al Qur’an.
Pada ayat ke-4 dan ke-5,Allah menyebutkan tentang penciptaan alam yaitu siklus hidup rumput, sebagai penjelasan tentang apa yang disebutkan diatas bahwa Allah yang telah menentukan kadar ciptaan-Nya. Artinya Allah-lah yang mengadakan dan memusnahkan ciptaanNya.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Amr bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menentukan segala sesuatu sebelum Allah menciptakan langit dan bumi lima puluh ribu tahun, dan Arsy-Nya diatas air”
Lalu pada ayat ke-6 dan ke-7 Allah menyebutkan bahwa Al Qur’an itu dibacakan (oleh Jibril) kepada Nabi saw dan Nabi saw tidak akan lupa atas bacaan tersebut, kecuali kalau Allah menghendaki (kelupaan) itu, karena Allah yang mengetahui segala yang terang (jahar) dan yang tersembunyi (yakhfa).
Pada satu riwayat dikemukakan bahwa apabila Jibril datang membawa wahyu kepada Nabi saw, beliau mengulang kembali wahyu itu sebelum Jibril selesai menyampaikannya (membacakannya) karena beliau saw takut lupa lagi. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai jaminan bahwa Rasulullah saw tidak akan lupa pada wahyu yang telah diturunkan kepadanya .(Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Didalam sanadnya terdapat Juwaibir yang lemah daya ingatnya)
Kemudian pada ayat ke-8, Allah menyebutkan bahwa Dia akan memberikan taufik ke jalan yang mudah. Jalan yang mudah diartikan oleh para ahli tafsir sebagai jalan yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.
Setelah nama Allah yang Maha Tinggi disucikan, petunjuk berupa wahyu (Al Qur`an) telah diturunkan, dan taufik telah dianugerahkan, maka pada ayat ke-9 Allah memerintahkan manusia untuk memberikan peringatan kepada manusia yang lainnya. Tentang isi peringatan itu Allah telah menjelaskan pada wahyu sebelumnya yaitu Surat Thahaa (20) ayat 99 dan al Anbiyaa’ (21) ayat 24, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai peringatan itu adalah al-Qur`an.
Allah swt berfirman: …dan sesungguhnya telah kami berikan kepadamu dari sisi kami suatu peringatan (al-Qur`aan).” (QS. Thahaa: 99)
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah: “Tunjukkanlah hujjahmu! (al Quran) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku[956].” Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” (QS. al-Anbiyaa’:24)
Kalimat “fadzakkir innafa’atidz dzikraa diartikan sebagai “berilah peringatan karena peringatan itu berguna”, bukan diartikan sebagai “berilah peringatan jika peringatan itu berguna”. Artinya kita jangan berhenti memberi peringatan, karena peringatan itu akan berguna, yaitu jika bukan kepada yang diperingati, pasti untuk yang memperingati. Manfaatnya antara lain sang pemberi peringatan akan mendapatkan ganjaran yang baik dari Allah Azza wa Jalla.
Sebagai pewaris ajaran Nabi saw kita diperintahkan untuk mengajak umat manusia ke jalan yang mudah (lagi benar) dengan petunjuk berupa al Qur`an. Dan para kader da’wah (penyeru) tidak boleh berputus asa dalam memberi peringatan ini, meski hasil yang diperoleh belum memuaskan. Intinya, jangan berhenti mengajak! Bukankah Nabi Nuh a.s. saja berdakwah kepada kaumnya selama “seribu tahun kurang lima puluh” ? (QS. Al-Ankabut:14). Karena itu jangan pernah putus asa dalam mengajak!
Disini kita perlu pula mempelajari dan menggunakan yang baik dalam memberi peringatan agar tepat sasaran dan mencapai tujuan.
Kembali pada Surat al-A’laa, pada ayat ke 10, disebutkan bahwa “orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran” dengan adanya peringatan tersebut.
Lalu pada ayat selanjutnya dinyatakan bahwa “orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya” (menjauhi peringatan/al-Qur`an tersebut—pen).
Disinilah Allah menjelaskan perbedaan antara orang mu’min dan orang kafir, dalam menerima peringatan. Jadi, jika ada diantara orang-orang yang kita seru kepada al-Qur`aan menjauhinya bahkan menolak, itulah orang-orang yang kafir terhadap Allah Azza wa Jalla.
Dua ayat selanjutnya, menjelaskan lebih jauh tentang keadaan orang yang menjauhi peringatan tersebut, yaitu “… akan memasuki api yang besar (neraka)” dan “dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.”
Kemudian pada ayat selanjutnya Allah swt membandingkannya dengan orang yang mau menerima petunjuk, yang Dia sebut sebagai orang yang beruntung karena mau membersihkan dirinya (beriman). Yang cirri-cirinya dijelaskan Allah swt pada ayat ke-15 yaitu “dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.”
Ayat ini disambungkan dengan kalimat.”Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” (QS.20:16). Padahal “kehidupan akhirat (surga—pen) adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Kemudian surat Al-A’laa ini ditutup dengan dua ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.” Lalu disambungkan dengan: “(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa“. Ayat ini menyatakan bahwa sesungguhnya peringatan atau ayat-ayat yang tercantum dalam al-Qur’an itu (khususnya dalam surat al A’laa tersebut) telah disampaikan juga oleh Nabi Ibrahim dan Musa a.s. kepada kaumnya dan termaktub dalam kitab-kitabnya. Hal ini dinyatakan Allah sebagai hujjah terhadap orang kafir. Wallahu ta’ala A’lam bishawab.