Tema surat ini masih berkisar tentang hari akhirat. Adapun
poros utama pembicaraan adalah tentang manusia, rahasia penciptaan serta
tahapan-tahapannya kemudian memuat tanda-tanda kekuasaan Allah yang
tiada batasnya. Dan pembenaran terhadap al-Qur’an sebagai wahyu dan
kitab Allah yang menjadi pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Muatan
surat ini ditutup dengan hiburan kepada Nabi Muhammad supaya tidak
terlalu menanggapi tekanan dari kaum kafir Quraisy. Agar beliau terus
bekerja dan berdakwah tanpa memikirkan resiko. Karena Allah yang akan
menangani dan mengurusi mereka.
Yang Datang pada Malam Hari
“Demi langit dan yang datang pada malam hari. Tahukah
kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (yaitu) bintang yang
cahayanya menembus” (QS. 86: 1-3)
Allah kembali bersumpah dengan langit yang
bertingkat-tingkat yang diciptakan-Nya tinggi menjulang tanpa ada tiang
penyangganya. Luas dan dihuni oleh malaikat-malaikat-Nya yang mulia dan
dimuliakan.
Menariknya Allah menggandengkan sumpah dengan langit dengan
sesuatu yang datang di malam hari yang oleh sebagian besar pakar tafsir
dianggap sebagai bintang terang yang muncul di malam hari. Ini
diperkuat dengan ayat ketiga yang menjelaskannya; yaitu bintang yang
cahayanya menembus kegelapan malam.
Jika saja benda mati seperti bintang itu mampu menembus
kegelapan malam sehingga sampai cahayanya di bumi, tentu
malaikat-malaikat Allah mampu menembus apapun dengan titah-Nya. Karena …
“Tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada penjaganya” (QS. 86: 4).
Siapakah penjaga tersebut? Yaitu para penjaga yang selalu
mempunyai akses langsung terhadap setiap jiwa manusia. Sebagian ahli
tafsir ada yang mengatakan bahwa ini demi menjaga manusia dari godaan
setan. Secara umum, yang dimaksud di sini adalah pencatat amal manusia.
Karena ia selalu menyertainya dengan berbagai tindakan dan amal yang
dikerjakannya. Tindakan yang dikerjakan manusia tersebut dijaga dan tak
akan dilewatkan sedetikpun. Semua direkam dengan teliti dan detil.
Rahasia Penciptaan Manusia
Untuk kepentingan apakah hal di atas perlu diingatkan
kepada para manusia? Hal ini bisa diketahui dengan perintah Allah pada
ayat selanjutnya. Yaitu perintah kepada setiap manusia yang disebut
secara langsung di sini untuk memperhatikan penciptaannya. Dari apa ia
diciptakan? Bagimana ia berubah menjadi seperti sekarang? Hingga
kemudian ia akan mati dan dikembalikan kepada asalnya.
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan. Yang keluar dari
antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan” (QS. 86: 5-7)
Manusia diciptakan dari air yang memancar. Yang secara
kasat mata seolah tiada kehidupan di sana. Dari air yang kelihatannya
tak ada kehidupan itulah manusia diciptakan. Kemudian dimatikan dan
kelak dihidupkan lagi.
Siapakah yang membuat air tersebut memancar. Siapakah yang
menurunkan syariat supaya kedua air itu bertemu. Dengan sah dan halal.
Pertemuan kedua air itu bukanlah sekedar untuk melepas syahwat antara
laki-laki dan perempuan. Pertemuan kedua air itu juga bukan sesuatu yang
sepele. Bukan sesuatu yang kebetulan. Tapi itu adalah ibadah yang
mengemban misi penampakan ayat-ayat dan tanda kekuasaan Allah. Dan Maha
Besar Allah yang memberikan tugas berat tersebut dengan diberikan sebuah
kenikmatan dalam menjalaninya.
Siapakah yang mempertemukan kedua air tersebut. Dan dari
air itu kemudian diubah menjadi sebuah kehidupan dengan ritme yang
teratur dan tahapan yang sangat luar biasa. Siapakah yang sanggup
melakukan hal itu?
Air yang dipancarkan dan dicampurkan di atas diproduksi
dari tulang punggung (belakang) laki-laki dan dari tulang dada
perempuan. Air yang sangat cair dan sangat lunak tersebut diproduksi di
dalam benda yang sangat keras. Yaitu tulang. Satu diciptakan dari arah
belakang dan satu lagi di ciptakan dari arah depan. Inilah sebenarnya
kodrat manusia. Laki-laki dan perempuan.
Bahwa manusia secara fitrah adalah berpasangan dan saling
melengkapi. Laki-laki dan perempuan. Ada depan dan belakang. Karena
memang seharusnya demikian. Misi kekhilafahan manusia hanya bisa
dikerjakan bersama oleh laki-laki dan perempuan, sebagaimana ada bulan
dan matahari, ada malam dan siang.
“Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk
mengembalikannya (hidup sesudah mati). Pada hari dinampakkan segala
rahasia. Maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatan pun
dan tidak (pula) seorang penolong” (QS. 86: 8-10)
Dzat yang mencipta manusia dari bahan dan proses seperti
yang dijelaskan di atas, sudah tentu sanggup dan kuasa untuk mematikan
sekaligus menghidupkan manusia setelah kematiannya.
Dan sebagaimana penciptaan manusia, kebangkitannya juga
tidaklah merupakan hal yang kebetulan saja. Pada hari kebangkitan
manusia akan diadili dan kemudian ditentukan balasan amalannya ketika
berada di dunia. Hari itu tak satu pun makhluk-Nya yang sanggup
merahasiakan sekecil apapun dari-Nya. Hari itu semua rahasia terbongkar.
Baik yang bersifat bagus ataupun rahasia-rahasia dan konspirasi
kejahatan dan keburukan.
Tanda Kekuasaan Allah
“Demi langit yang mengandung hujan. Dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan” (QS. 86: 11-12)
Kemudian Allah kembali bersumpah dengan langit.
Jika di awal surat ini langit dihubungkan dengan kegelapan dan bintang
yang menerangi dan menghiasnya, maka pada ayat ini Allah menggandengkan
langit dengan bumi. Menggandengkan langit dengan hujan serta bumi dengan
tumbuh-tumbuhan.
Dikatakan raj’i sebagai hujan karena air
hujan pada dasarnya berasal dari bumi dan akan dikembalikan ke bumi ke
tempat asalnya untuk mengairi tumbuhan yang bermacam-macam.
Siapakah yang sanggup mengembalikan air ke bumi
dengan bentuk yang tidak menyakit-kan bagi manusia. Air itu dijatuhkan
ke bumi dan dikemballikan setelah berproses dengan bentuk
tetesan-tetesan air yang kecil yang datang dalam jumlah yang berbeda
sesuai kadarnya. Ada kalanya sedikit dan hanya menjadi gerimis ada
kalanya banyak dan deras menjelma menjadi air yang melimpah.
Hasan al-Bashry mengatakan bahwa hujan di sebut raj’i
karena kembali dari langit dengan membawa rizki, padahal tadinya
berasal dari bumi berupa air saja. Adapun Ibnu Zaid menafsirkan raj’i dengan bulan, matahari dan bintang-bintang yang memiliki orbit tempat kembali mereka.
Dan dari air yang sama itu kemudian ketika sampai di bumi berubah menjadi tumbuhan yang bermacam-macam. Di namakan ash-shad’u
karena aslinya terbelah. Biji-bijian dan benih yang tadinya di dalam
tanah kemudian muncul dengan membelah tanah di atasnya, meskipun tak
semua tumbuhan berasal dari dalam tanah.
Tanda-tanda kekuasaan Allah tersebut, langit
dan bumi serta sebagian fenomena yang diungkap dalam ayat ini digunakan
Allah bersumpah. Semata untuk meneguhkan hakikat al-Qur’an yang
didustakan oleh orang-orang kafir saat diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw.
“Sesungguhnya al-Quran itu benar-benar
firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil. Dan sekali-kali
bukanlah dia senda gurau”. (QS. 86: 13-14)
Al-Qur’an tidaklah seperti yang mereka tuduhkan. Bukan
gurauan atau mitos sebagaimana klaim mereka. Al-Qur’an adalah kalam suci
yang diturunkan sebagai pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Di
dalamnya termuat kaidah dan risalah serta ajaran yang mengajak kepada
kebenaran serta konsekuensinya. Juga memuat rambu-rambu dan batas-batas
yang menyelamatkan manusia dari kerugian abadi dan kesengsaraan.
Namun, sayang orang-orang kadir tersebut “… merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya” (QS. 86: 15). Tidak tahukah mereka bahwa Allah pun “… membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya” (QS. 86: 16).
Dan makar serta rencana yang disiapkan Allah tentu jauh
lebih sempurna. Baik untuk membalas kesabaran dan keteguhan kaum beriman
ataupun untuk membalas kezhaliman orang-orang kafir tersebut, termasuk
menghalangi kemudharatan dan menahan kemanfaatan bagi suatu kaum.
Maka, kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Muhammad Saw untuk bersabar. “Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar”
(QS. 86: 17). Janganlah kau sibukkan diri dengan membalas dendam
kelakuan mereka atau memikirkan terlalu dalam ejekan dan hinaan mereka.
Tangguhkan sebentar. Biarlah Allah yang mengurusi mereka. Allah yang
serba maha lebih tahu bagaimana memperlakukan mereka, baik di dunia
maupun menyediakan tempat yang sangat menyeramkan untuk mereka di
akhirat, kelak.
Kata ruwaida (sebentar) mengindikasikan bahwa
seberapa lama seseorang hidup di dunia tidaklah memakan waktu yang lama
karena kehidupan dunia tidaklah bisa dibandingkan dengan masa yang
sangat panjang dengan kehidupan di akhirat yang hanya diketahui oleh
Allah saja. Asal kata ruwaidan, diambil dari angin yang bertiup dengan tiupan yang lemah.