Para ahli tafsir sepakat berpendapat bahwa bahwa surat al-Burûj diturunkan di Makkah setelah surat asy-Syams([1]).
Surat ini masih membahas dan menekankan masalah akidah dan penguatan
keyakinan tentang hari akhir. Di samping itu tambahan yang ada dalam
surat ini selain pembahasan tersebut adalah tentang kisah ashabul ukhdud (para penggali parit) yaitu sebuah cerita tentang pengorbanan dan tebusan jiwa dalam membertahankan akidah dan iman([2]).
Dalam surat ini Allah kembali bersumpah dengan langit ciptaan-Nya yang
memiliki gugusan-gugusan bintang, tempat bintang-bintang berpusat dan
beredar, serta demi hari yang telah dijanjikan-Nya yaitu hari kiamat,
sekaligus menyampaikan kedahsyatan kekuasaan Allah yang tiada batas([3]).
Kesaksian-Kesaksian
“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang.
Dan hari yang dijanjikan. Dan yang menyaksikan dan yang disaksikan”.
(QS. 85: 1-3)
Allah bersumpah dengan empat hal dalam surat ini.
Pertama, demi langit yang mempunyai gugusan-gugusan
bintang. Langit yang luasnya hanya diketahui oleh-Nya itu memiliki
gugusan, tempat semayam bintang-bintang yang menjadi penghias alam
semesta sekaligus sebagai pelempar untuk setan-setan([4]).
Hal ini agar manusia berpikir bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah itu
jelas, bisa dilihat dan dirasakan, kemudian bisa ditadabburi dan pada
akhirnya diperintah untuk mengambil kesimpulan. Memang sampai saat ini
tak ada yang bisa mencapai langit, bahkan melihatnya pun tidak sanggup.
Namun, manusia bisa melihat dan memperhatikan bintang-bintang yang
dijadikan Allah sebagai penghias langit dunia.
Kedua, Allah bersumpah dengan hari yang dijanjikan.
Para ahli tafsir sepakat bahwa hari yang dimaksud dalam ayat ini adalah
hari kiamat. Ketiga dan keempat, Allah bersumpah dengan syâhid (yang menyaksikan) dan masyhûd (yang disaksikan). Ibnu Abbas, Hasan al-Bashry dan Said bin Jubair menafsirkan syâhid yaitu Allah dan masyhûd adalah yang selainnya([5]).Sedangkan Mujahid dan Ikrimah berpendapat bahwa syâhid adalah manusia dan masyhûd adalah yang bisa dilihatnya([6]). Dan Sahal bin Abdullah mengatakan bahwa syâhid adalah malaikat dan masyhûd adalah manusia dan amalnya ([7]). Hal tersebut juga sekaligus mengingatkan manusia akan adanya pengawasan dan pengadilan agung.
Sumpah-sumpah di atas terjawab dengan ayat keempat, “Binasa
dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit. Yang berapi
(dinyalakan dengan) kayu bakar. Ketika mereka duduk di sekitarnya.
Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang
yang beriman” (QS. 85: 4-7)
Ayat ini berkisah tentang ashâbul ukhdûd (penggali parit) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim([8]) dan at-Tirmizi([9]) dari riwayat sahabat Shuhaib ar-Rumy ra. Rasululullah bercerita tentang ashâbul ukhdûd, “Dahulu ada seorang raja([10])
yang memiliki penasehat seorang ahli sihir yang ternama. Usianya sudah
sangat lanjut. Penyihir tersebut hendak mencari penerus dan pewaris
ilmunya yang kelak akan menggantikan posisinya sebagai penasehat raja.
Hingga didapatlah seorang anak laki-laki yang cerdas. Sayangnya sang
anak tersebut (ghulam) sering berbeda pendapat dan perangai dengan sang
penyihir tersebut. Di tengah jalan antara rumahnya dan istana, terdapat
sebuah gua yang dihuni oleh seorang rahib. Setiap ghulam lewat tempat
tersebut ia selalu bertanya beberapa hal kepada sang rahib. Hingga sang
rahib mengaku bahwa dia menyembah Allah dan mengesakannya. Lambat laun
Ghulam lebih suka berlama-lama di tempat rahib untuk belajar dan selalu
terlambat datang ke tempat tukang sihir. Hingga suatu saat kerajaan
memerintahkan menjemput ke rumah karena hampir saja ia tidak hadir pada
suatu hari. Ghulam memberitahu perihal ini kepada rahib. Sang rahib
menjawab mencarikan rasionalisasi: Jika penyihir itu bertanya di mana
engkau, jawab saja aku ada di rumahku. Jika keluargamu menanyakan
keberadaanmu maka beritahu mereka bahwa engkau berada di tempat
penyihir. Suatu hari, ketika Ghulam sedang di jalan ia menjumpai
sekelompok orang terhenti jalannya karena ada binatang buas (singa) yang
menghalangi mereka. Ghulam segera mengambil batu dan berkata: Ya Allah
jika yang dikatakan sang rahib benar maka izinkan aku membunuh binatang
ini. Jika apa yang dikatakan sang penyihir yang benar maka aku meminta
supaya engkau menggagalkanku membunuh binatang ini. Kemudian ia lempar
batu tersebut dan binatang itu mati seketika. Orang-orang pun
terperanjat setelah tahu bahwa anak kecil itu yang membunuhnya. Mereka
berkata: anak itu tahu suatu ilmu yang tidak diketahui oleh orang lain.
Hingga didengarlah oleh seorang pejabat kerajaan yang buta. Ia
mendatangi ghulam dan berkata: Jika engkau kembalikan penglihatanku maka
akan aku beri hadiah ini dan itu. Ghulam menjawab: Aku tak memerlukan
itu dari Anda. Jika aku bisa mengembalikan penglihatanmu apakah engkau
beriman kepada Dzat yang mengembalikan penglihatanmu? Dia menjawab: ya.
Maka sang buta tersebut dapat melihat dan beriman pada ghulam. Berita
ini tersiar sampai ke kerajaan. Hingga sang raja marah besar dan
membunuhi siapa saja yang mengikuti ajaran sang ghulam. Hingga
ditangkaplah sang rahib dan sang buta yang telah melihat. Mereka berdua
dibunuh dengan sadis, yaitu dibelah badannya dengan gergaji. Ghulam yang
ditangkap akhirnya dibawa ke atas gunung bersama beberapa tentara
kerajaan untuk dilempar dari atas gunung. Namun, tak ada yang selamat
dari atas gunung kecuali ghulam dan ia pun kembali. Sang raja
memerintahkan untuk membawa ghulam ke tengah laut untuk dibuang di sana.
Badai pun menyerang mereka. Tak ada yang selamat kecuali ghulam. Ia pun
kembali lagi. Setiap makar yang dibuat untuk membunuhnya selalu gagal.
Akhirnya ghulam berkata kepada sang raja: Engkau takkan bisa membunuhku
kecuali dengan menyalibku di depan rakyatmu kemudian memanahku sambil
berkata “bismillah rabbil ghulam” [dengan nama Allah Tuhan anak
kecil ini]. Setelah disalib dan sang raja mengucapkan kata-kata tersebut
dengan keras, panah yang meluncur dari busur sang raja itupun menancap
di tubuh ghulam dan menewaskannya sebagai seorang syahid. Orang-orang di
sekitarnya berkata: ghulam tahu ilmu yang tidak diketahui orang lain,
kita harus beriman kepada Tuhannya. Sang raja murka dan memerintahkan
untuk menggali parit dan menyalakan api. Barang siapa yang tak mau
meninggalkan agamanya (agama ghulam) maka akan dilempar ke dalam parit
yang menyala-nyala tersebut. Hingga ada seorang ibu yang menyusui
anaknya sedang ragu-ragu. Sang bayi yang ada dalam buaiannya pun berkata
meyakinkannya: Ibu, sabarlah. Sesungguhnya engkau berada dalam pihak
yang benar ” ([11]).
Dalam peristiwa pembakaran dan pembunuhan kaum mukminin ini gugur sebagai syuhada ribuan orang-orang yang beriman kepada Allah([12]).
Raja Najran tersebut mengerahkan segala tentaranya untuk membunuh kaum
beriman dengan cara membakar mereka hidup-hidup di dalam parit besar
yang mereka sediakan. Mereka saling menyaksikan dan dengan bodohnya
mereka melakukan kezhaliman. Hati nurani mereka yang jernih telah
terkeruhkan oleh angkara dan nafsu kekuasaan.
Semena-Mena terhadap Kaum Beriman
“Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu
melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha
Perkasa lagi Maha Terpuji. Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan
Allah Maha menyaksikan segala sesuatu” (QS. 85: 8-9)
Apa yang dilakukan oleh ashabul ukhdûd bukanlah
sesuatu hal baru. Bani Israil bahkan membunuh dan mengejar-ngejar
nabi-nabi dan rasul yang diutus Allah kepada mereka. Hal seperti ini
akan terulang terus sepanjang waktu. Karena dalam realita akan selalu
ada tokoh antagonis yang memusuhi risalah yang dibawa oleh utusan Allah
dan diimani oleh orang-orang mukminin. Orang-orang kafir yang dengki dan
iri tersebut tidaklah berbuat keji dan menyiksa kaum mukminin kecuali
hanya karena keyakinan yang mereka pegang dengan sepenuh jiwa. Kaum
mukminin tersebut disiksa hanya karena beriman pada Dzat Yang Esa,
pemilik kerajaan langit dan bumi.
Hal ini juga dirasakan oleh para sahabat Nabi saw. as-sâbiqûn al-awwalûn
pada periode Makkah. Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri tak luput dari
intimidasi ini. Terlebih sepeninggal Khadijah ra. dan paman beliau Abu
Thalib. Bani Tsaqif yang tadinya diharapkan mau melindungi beliau
ternyata memusuhinya. Tua, muda, laki-laki, perempuan dari segala umur
dikerahkan untuk melempari beliau. Hingga beliau terusir dari Thaif
dengan tubuh berdarah-darah. Semoga Allah merahmati beliau –shallalLâhu ‘alaihi wa sallam- orang mulia yang tak pernah menyimpan dendam. Bahkan kepada mereka yang dengan tega memperlakukannya seperti di atas.
“Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan
kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka
tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab
(neraka) yang membakar”. (QS. 85: 10)
Orang-orang yang berlaku kejam dan aniaya terhadap
orang-orang beriman seperti di atas kelak akan dibalas Allah dengan
neraka yang lebih panas daya bakar dan apinya. Padahal Allah membuka
pintu taubat. Dengan syarat taubat tersebut dilakukan sebelum
diturunkannya adzab dan sebelum nyawa mereka dicabut oleh malaikat
pencabut nyawa([13]).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; Itulah keberuntungan yang besar”. (QS. 85: 11)
Sementara itu orang-orang yang bersabar dan mampu tsabat
dalam mempertahankan akidahnya di tengah himpitan dan aniaya orang-orang
jahat tersebut, bagi mereka balasan Allah yang tiada bandingannya.
Orang-orang beriman itu akan dihadiahi Allah kebun-kebun yang sangat
luas, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai yang jernih airnya. Itulah
sebenar-benar kemenangan yang besar dan hakiki.
Kesempurnaan Sifat dan Kekuasaan-Nya
Dzat yang bisa dqan mampu berlaku apa saja
terhadap orang-orang zhalim serta pasti memberikan balasan yang baik
bagi hamba-Nya yang bersabar di atas adalah Dzat Yang Maha Sempurna yang
tak memiliki kekurangan sedikitpun. Di dalam ayat ini di sebutkan
beberapa karakteristik yang sesuai dengan maqam cerita ashabul ukhdud serta setting umat Islam pada periode Makkah yang sangat tertindas.
- Sifat Pertama, “Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar keras”. (QS. 85: 12)
Penempatan sifat ini mungkin dimaksudkan sebagai peringatan
keras bagi orang-orang zhalim. Sebagai ancaman sekaligus teguran, juga
membuka peluang bagi mereka untuk bertaubat. Karena Dia sanggup
menangguhkan adzab-Nya sekaligus membalas kekeja-man orang-orang zhalim
tersebut dengan balasan yang sangat pedih dan setimpal pula.
- Sifat Kedua, “Sesungguhnya Dia-lah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali)”. (QS. 85: 13)
Adapun penguasa hari kebangkitan sekaligus sang pencipta
yang tak tertandingi ini adalah Dzat yang sanggup menciptakan apapun
dari permulaannya. Apalagi sekedar mengembalikan dari yang pernah ada
tentunya hal tersebut sangat mudah. Dan setelah dihidupkan lagi mereka
semua menerima konsekuensinya. Yang baik akan dibalas dengan kebaikan
dan yang buruk akan menerima pembalasan yang setimpal
- Sifat Ketiga, “Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”. (QS. 85: 14)
Luar biasa karunia dan kasih sayang-Nya. Betapapun ulah
zhalim dan melampaui batas dari hamba-hamba-Nya, tapi Allah tak pernah
sekalipun menutup pintu taubat-Nya. Allah selalu memanggil
hamba-hamba-Nya. Setiap saat. Setiap hari di sepertiga malam terakhir.
Siapa yang mendatangi-Nya dengan segala tadharru’ meski ia
ber-gelimang dosa, Allah akan mengampuninya. Allah bahkan mengasihi
semua makhluk-Nya. Tak memperdulikan keadaan mereka yang taat dan yang
bejat, semuanya dibagi dan diberi rizki yang sesuai. Subsidi
kenikmatan-Nya tak pernah sedetik pun berhenti kepada para makhluk-Nya.
- Sifat Keempat, “Yang mempunyai ‘Arsy, lagi Maha Mulia”. (QS. 85: 15)
Kelak sebagaimana janji-Nya kita akan bertemu dengan puncak
kemuliaan, saat menjumpai-Nya di “singgasana”-Nya, di Arys-Nya. Kita –allhumma amin-
insyaallah akan diizinkan melihat dan berjumpa dengan Dzat Yang Maha
Mulia ini. Yang kemuliaan dan sifat pendermanya tiada batas. Raja,
penguasa yang ada di dunia ini mungkin bisa jadi sangat membanggakan
istana dan singgasananya. Namun, hal itu tiada sebanding dengan Arsy-Nya
yang luas dan dimuliakan seluruh penduduk langit.
- Sifat Kelima, “Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya”. (QS. 85: 16)
Sangat laik -memang- jika Allah lah yang menyandang sifat
ini. Dia yang maha berkehendak dan berkuasa berbuat apapun sesuai
titah-Nya. Takkan ada yang sanggup mencegah keinginan-Nya.
Belajar dari Sejarah Masa Lalu
“Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang (yaitu kaum) Fir’aun dan (kaum) Tsamud?”.(QS. 85: 17-18)
Siapa yang tak mengenal Fir’aun ini. Penguasa yang sangat
lalim dan keji serta menghalalkan apa saja untuk mempertahankan
kekuasaannya. Meskipun ia berhasil membangun peradaban bangsanya
sehingga dikenal oleh dunia sepanjang masa. Namun, kemegahan dan
kejayaan yang dibangun di atas puing-puing derita dan kezhaliman takkan
pernah membahagiakan pemiliknya. Allah akan binasakan orang-orang zhalim
dan pongah seperti ini. Hingga saat ini, kita –seharusnya- bisa belajar
dari kisah sejarah keangkuhan dan kesombongan ini. Megahnya peradaban
Mesir kuno, tak banyak membawa manfaat bila para pelakunya zhalim dan
mendurhakai Allah. Mereka tak kuasa melawan takdir Allah saat digulung
air laut yang menelan mereka, Fir’aun dengan semua tentaranya dan segala
keangkuhannya.
Juga Kaum Tsamud, kaum yang tak kalah cerdik dan pandainya. Kaum yang sangat kuat dan berperadaban paling maju di zamannya.
“… kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah”(QS. 7: 74)
Para pemahat gunung, seniman agung dan pemilik
gedung-gedung raksasa dari bahan serba batu itu pun tak kuasa membendung
kekuasaan Allah. Tidak dengan kepandaian mereka. Juga tidak dengan
kekuatan fisik mereka yang melebihi orang-orang modern. Jika saat adzab
tiba, saat pintu taubat telah tertutup mereka benar-benar menjumpai
kebinasaannya. “Adapun kaum Tsamud, Maka mereka telah dibinasakan
dengan kejadian yang luar biasa (sambaran petir dan suara yang
memekakkan telinga)”. (QS. 69: 5)
Seharusnya dengan dua peristiwa tersebut membuat kita lebih
bisa merenung dan berpikir bahwa ketika Allah masih memberi peluang
kita mesti gunakan sengan sebaik-baiknya. Supaya kelak kita tidak
terlalu menyesal karena kelalaian dan sifat yang suka menunda-nunda.
“Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan. Padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka”. (QS. 85: 19-20)
Sayangnya orang-orang kafir selalu ada. Orang-orang lalai
dan terlena dengan dunia selalu saja memiliki pengikut dan pembela. Dan
mereka selalu melecehkan ajakan berbuat baik dan bahkan membaliknya
dengan tuduhan keji dan hina. Mereka dengan sangat congkak mendustakan
risalah kebenaran yang dibawa Rasul-Nya. Salah satu yang paling mereka
dustakan adalah hari kiamat dan pembalasan.
Tidakkah mereka tahu bahwa Allah Maha Melihat dan
Mendengar. Dzat yang serba maha tersebut tidak pernah lalai sedetikpun
untuk memperhatikan semua gerak-gerik hamba-Nya. Bahkan sampai sesuatu
yang terdetik dalam hati mereka Dia selalu mengetahuinya secara detil.
Imam al-Alusy mempunyai penakwilan yang menarik tentang ayat di atas. Kata “min wara’ihim”
yang berarti dari belakang mereka, seolah menggambarkan sedemikian
zhalimnya orang-orang yang mendustakan ajaran Allah di atas. Mereka
membelakangi Allah, meletakkan ajaran Allah di belakang mereka dan
selalu mengedepankan hawa nafsu dan dunia yang sangat mereka cintai
melebihi segala-galanya ([14]).
Keberanian yang Melampaui Batas
Orang-orang yang digambarkan di atas sungguh berbuat apa
saja dalam hidup mereka. Mereka bahkan sangat yakin bahwa hari akhir
adalah sebuah mitos belaka. Karena itu mereka mendustakan hari akhir dan
segala hal yang menjadi keniscayaannya, hari kehancuran, hari
kebangkitan, hari penghitungan amal dan hisab serta kemudian hari
pembalasan dan kesudahan dari segalanya. Dan… “bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh” (QS. 85: 21-22)
Jika yang mereka dustakan dan mereka anggap mitos adalah
al-Qur’an, berarti sama saja dengan menuduh bahwa Allah adalah pembohong
besar. Dan inilah petaka yang sangat besar karena mendatangkan
kemurkaan Allah. Menuduh Allah dengan tuduhan keji dan sembarangan serta
tanpa bukti sedikitpun. Dan mereka meremehkan perbuatan tersebut.
Padahal kelak Allah akan mintai pertanggungjawaban dari semua tuduhan
jahat tersebut.
Tahukah mereka bahwa yang mereka dustakan adalah kalam suci
yang tersimpan di lauh mahfuzh. Menurut Ibnu Abbas luasnya melebihi
luas langit dan bumi. Warnanya putih cemerlang, lembarannya terbuat dari
permata yaqut merah yang mengkilat penanya adalah cahaya. Allah
menengoknya dalam sehari 300 kali. Dia mencipta dan memberi rizki. Dia
menghidupkan dan mematikan. Dia memuliakan seseorang dan merendahkan
yang lainnya. Dia melakukan semuanya sesuka-Nya, sesuai kehendak-Nya,
tanpa ada yang menghalangi([15]).
Semoga takdir kita yang termaktub dalam lauh mahfuzh sebagai hamba-hamba-Nya yang shalih dan dirahmati selalu oleh Allah, baik di dunia maupun kelak di akhirat. Amin.