Surat ini bernama al-Muzammil, yang
berarti orang yang berselimut. Yang dimaksudkan ialah Nabi Muhammad s.a.w.
sendiri. Surat yang ke-73 dalam susunan Mushhaf Usmani, terdiri dari 20 ayat.
“Al-Muzzammil” sebagai nama dari surat, ditemukan pada ayat yang pertama.
Ada beberapa riwayat yang
menyebabkan kenapa disebut yang berselimut. Riwayat yang umum ialah Surat ini
turun sesudah Nabi Muhammad s.a.w turun dari gua Hira’, menerima ayat-ayat
al-Quran yang pertama kali turun, yaitu lima ayat dari Surat al-Alaq “Iqra’
bismi rabbikal ladzi khalaq” dan seterusnya, beliau pun pulang ke rumahnya
mendapati isterinya Siti Khadiah. Beliau berkata; “Zammiluuni, Zammiluuni”,
selimutilah aku, selimutilah aku. Karena beliau merasa kedinginan setelah
beliau dipeluk keras oleh Jibril, sebagai pengalaman pertama beliau menerima
wahyu.
Satu riwayat lagi mengatakan bahwa
arti berselimut disini bukanlah benar-benar berselimut kain karena kedinginan.
Melainkan tanggungjawab nubuwwat dan risalat yang diberikan Allah kepada
beliau, saking beratnya, seakan-akan membuat badan jadi “panas-dingin”, yaitu
suatu perintah dari Allah yang wajib dia sampaikan kepada manusia terutama
terlebih dahulu kepada kaumnya yang terdekat yang masih sangat kuat mempertahankan
jahiliyah dan kemusyrikan. Dari semula beliau telah merasakan bahwa pekerjaan
itu tidaklah mudah. Lantaran itu maka dia dipanggil Allah dengan “Muzzammil”,
yang boleh diartikan orang yang diselimuti seluruh dirinya oleh tugas yang
berat.
Yang ketiga ialah bahwa ayat ini
turun di malam hari, sedang Nabi s.a.w. enak tidur dan berselimut. Maka datang
perintah menyuruh berdiri mengerjakan sembahyang malam. Untuk sembahyang malam
itu selimut hendaklah disingkirkan, segera bangun, ambil wudhu’ dan sembahyang.
Ini pun dapat dipertalikan dengan ayat 79 daripada Surat 17, al-Isra’; “Dan
pada sebahagian dari malam berbangkitlah bangun sebagai tambahan.”
Tahajjud ialah bangun menyentak,
melepaskan selimut.
Dari ketiga keterangan itu, yang
satu menguatkan yang lain dan semuanya dapat diterima, jelaslah termaktub salah
satu gelar kehormatan Nabi Muhammad s.a.w. yaitu; “al-Muzzammil”, di samping
gelar-gelar kehormatan beliau yang lain.
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (١)قُمِ
اللَّيْلَ إِلا قَلِيلا (٢)نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلا (٣)أَوْ زِدْ
عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا (٤)إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلا
ثَقِيلا (٥)إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلا
(٦)إِنَّ لَكَ فِي اَلنَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلا (٧)وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ
وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلا (٨)رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لا إِلَهَ
إِلا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلا (٩)
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah
lagi Maha Pengasih.
(1) Wahai orang yang berselimut.
(2) Bangunlah di malam hari, kecuali sedikit.
(3) Seperduanya atau kurangilah daripadanya sedikit.
(4) Atau tambah daripadanya, dan bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan.
(5) Sesungguhnya Kami hendak menurunkan kepada engkau perkataan yang berat.
(6) Sesungguhnya bangun malam itu adalah lebih mantap dan bacaan lebih
berkesan.
(7) Sesungguhnya bagi engkau pada siang hari adalah urusan-urusan yang panjang.
(8) Dan sebutlah nama Tuhan engkau dan tunduklah kepadanya sebenar-benar
tunduk.
(9) Tuhan dari masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia; maka ambillah
Dia jadi pelindung.
Orang Yang Berselimut
“Wahai orang yang berselimut.” (ayat
1). Ucapan wahyu Tuhan terhadap RasulNya yang membayangkan rasa kasih-sayang
yang mendalam, baik karena sedang dia enak tidur dibangunkan atau karena berat
tanggungjawab yang dipikulkan ke atas dirinya.
“Bangunlah di malam hari.” (pangkal
ayat 2). Yaitu bangun buat mengerjakan sembahyang. Perintah Tuhan buat
mengerjakan sembahyang selalu disebut dengan “Qiyam” dalam al-Quran
“kerjakanlah sembahyang”. Sebab dengan menyebut bangunlah atau berdirilah
sembahyang, atau mendirikan sembahyang, jelas bahwa sembahyang itu didirikan
dengan sungguh-sungguh dan dengan kesadaran yang penuh; “Kecuali sedikit.”
(ujung ayat 2). Yaitu tinggalkanlah malam itu buat istirahat agak sedikit,
namun yang terbanyak hendaklah untuk melakukan sembahyang.
“Seperduanya.” (pangkal ayat 3).
Artinya, perdualah malam itu; yang seperdua gunakan untuk mendirikan sembahyang
dan yang seperdua untuk istirahat; “Atau kurangilah daripadanya sedikit.”
(ujung ayat 3). Kalau dikurangi dari seperdua, jadilah dia dua pertiga untuk
istirahat.
“Atau tambah daripadanya.” (pangkal
ayat 4). Atau tambah dari seperdua malam, menjadi lebih banyak sembahyangnya
dari tidurnya; “Dan bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan.” (ujung ayat 4).
Selain dari mengerjakan sembahyang
malam itu, baik dua pertiga malam, atau separuh malam ataupun sepertiga malam,
dan itu terserah kepada kekuatan mengerjakannya, hendaklah pula al-Quran yang
telah diturunkan kepada engkau itu, selalu engkau baca dengan perlahan-lahan.
Jangan dibaca dengan tergesa-gesa. Biar sedikit terbaca, asal isi kata-kata
al-Quran itu masuk benar ke dalam hatimu dan engkau fahamkan dengan mendalam.
Menurut sebuah Hadis yang dirawikan
oleh Bukhari dan Anas bin Malik, ada ditanyakan kepada Anas bagaimana cara Nabi
s.a.w. membaca al-Quran. Lalu Anas memberikan keterangan bahwa Nabi bila
membaca al-Quran ialah dengan suara tenang panjang, tidak tergesa terburu. Anas
membuat misal kalau Nabi membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim, Bismillah beliau
baca dengan panjang, Arrahman dengan panjang dan Arrahim dengan panjang pula.
Dan menurut riwayat Ibnu Juraij yang diterima dari Ummi Salamah, isteri
Rasulllah, kalau beliau membaca surah al-Fatihah, tiap-tiap ayat yang beliau
baca seayat demi seayat dengan terpisah. Bismillahir-Rahmanir-Rahim. Beliau
berhenti lalu beliau baca Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, demikian pula
seterusnya. Sebab itu tidaklah beliau membacanya dengan tergesa-gesa
bersambung-sambung tiada perhentian (washal).
Itulah contoh teladan daripada Nabi
s.a.w. sendiri di dalam hal membaca al-Quran. Malahan beliau anjurkan supaya
dilagukan membacanya. Bahkan beliau suruh baca dengan perasaan sedih,
seakan-akan hendak menangis, supaya dia lebih masuk ke dalam jiwa. Abu Musa
al-Asy’ari ketika beliau dengan bagus bacaan Qurannya, beliau puji dan beliau
katakan; “Suaramu laksana bacaan Mazmur Nabi Daud.” Karena Nabi Daud terkenal
keindahan suara beliau ketika munajat kepada Allah dengan Mazmurnya yang
terkenal.
Abdullah bin Mas’ud, sahabat Rasulullah
s.a.w. memberi ingat kalau membaca al-Quran jangan tergesa-gesa, jangan
terburu-buru, bahkan bacalah dengan perlahan, jangan sebagai mendendangkan
syair. Kalau bertemu dengan keajaibannya berhentilah sejenak merenungkannya,
dan gerakan hati untuk memperhatikannya.
Oleh sebab itu bertalilah rupanya di
antara kedua ibadat ini, yaitu sembahyang malam dengan membaca al-Quran dengan
tartil. Dan itu pun lebih dianjurkan lagi oleh Nabi jika bulan Ramadhan; di
samping mengerjakan shalatul lail (sembahyang malam, tarawih) dianjurkan pula
membaca al-Quran dengan tartil, supaya jiwa lebih kuat dan hati bertambah dekat
kepada Tuhan, sehingga apa yang kita mohonkan kepada Tuhan akan mudah
dikabulkan.
Apakah sebab dan apa gunanya ibadat
sembahyang malam dan tartil al-Quran? Jawabnya ialah ayat yang selanjutnya;
“Sesungguhnya Kami hendak menurunkan kepada engkau perkataan yang berat.” (ayat
5).
Wahyu sungguh-sungguh adalah
perkataan yang berat. Berat bagi rohani dan berat bagi jasmani. Kedatangan
malaikat Jibril membawa wahyu itu bukanlah perkara yang enteng; bahkan memang
berat.
Menurut satu Hadis yang dirawikan
oleh Imam Ahmad, Abdullah bin Amer pernah bertanya kepada Nabi bagaimana
permulaan datangnya wahyu kepada beliau. Beliau jawab; “Mula-mula saya dengar
sebagai bunyi loceng, di waktu itu aku terdiam. Tiap-tiap wahyu turun, rasanya
sebagai akan matilah aku.”
Harits bin Hisyam pun pernah
menanyakan kepada beliau tentang turunnya wahyu. Beliau menjawab seperti itu
juga; yaitu terdengar mulanya sebagai bunyi loceng, aku pun terpana ketika
mendengar itu; setelah itu mengertilah aku semua apa yang dikatakan malaikat
itu. Kadang-kadang malaikat itu sendiri berkata kepadaku, lalu aku faham apa
yang dikatakannya itu.
Aisyah mengatakan bahwa dia pernah
melihat ketika suatu hari Rasulullah menerima wahyu, ketika itu hari sangat
dingin. Namun keringat mengalir di dahi Rasulullah s.a.w.
Hisyam bin ‘Urwah bin Zubair
meriwayatkan bahwa kalau wahyu datang sedang Nabi berkenderaan, maka unta yang
beliau kenderai itu tidak sanggup melangkahkan kakinya. Zaid bin Tsabit
berceritera bahwa satu kali wahyu turun kepada Rasulullah, sedang kaki beliau
ketika duduk bersila terletak di atas kaki Zaid. Kata Zaid di waktu itu dia
merasakan sangat berat, sehingga dia tidak sanggup menggerakkan kakinya.
Ibnu Jarir dalam tafsirnya
mengatakan, bahwa wahyu itu berat dari dua pihak; Berat bagi badan, sebab
malaikat sedang datang. Dan berat bagi jiwa, karena berat tanggungjawabnya.
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
berkata; “Berat wahyu itu di alam dunia ini dan berat pula di akhirat kelak
pada timbangannya.”
“Sesungguhnya bangun malam itu
adalah lebih mantap.” (pangkal ayat 6). Karena di waktu malam gangguan sangat
berkurang. Malam adalah hening, keheningan malam berpengaruh pula kepada
keheningan fikiran. Di dalam suatu Hadis Qudsi Tuhan bersabda, bahwa pada
sepertiga malam Tuhan turun ke langit dunia buat mendengarkan keluhan hambaNya
yang mengeluh, buat menerima taubat orang yang taubat dan permohonan maghfirat
(ampunan) hambaNya yang memohonkan ampun. Maksudnya ialah bahwa hubungan kita
dengan langit pada waktu malam adalah sangat dekat. Orang ahli Ilmu Alam
menyebut bahwa udara ini dipenuhi oleh ether, maka ether di waktu malam itu
memperdekat hubungan. Memperdekat hati; ”Dan bacaan lebih berkesan.” (ujung
ayat 6). Baik bacaan sedang sembahyang ataupun membaca al-Quran dengan
perlahan-lahan di malam hari, dengan tidak mengganggu orang lain yang sedang
tidur.
“Sesungguhnya bagi engkau pada siang
hari adalah urusan-urusan yang panjang.” (ayat 7). Memang urusan pada siang
hari selalu sibuk. Tiap-tiap manusia ada saja urusannya. Dalam ayat yang lain,
sebagaimana tersebut kelak dalam Surat 78, an-Naba’, ayat 11: “Dan Kami jadikan
siang hari itu untuk penghidupan.”
Bercucuk tanam, menggembala, menjadi
nelayan, berniaga, berperang, berusaha yang lain, dalam segala bentuk
kehidupan. Dan Tuhan pula yang menyuruh tiap-tiap orang berusaha di muka bumi
di siang hari mencari rezeki yang halal. Maka waktu malam adalah waktu yang
tenang dan lapang.
“Dan sebutlah nama Tuhan engkau.”
(pangkal ayat 8). Wadzkur, artinya ialah sebut dan ingat. Diingat dalam hati
lalu dibaca dengan lidah, setali lafaz dengan makna, sesuai yang lahir dengan
yang batin. 99 nama Allah, yang bernama “al-Asmaul-Husnaa”, yang berarti
nama-nama yang indah. Sebutlah nama itu semuanya dengan mengingat artinya! Atau
segala zikir yang telah tertentu. Puncak zikir ialah Tahlil (La Ilaha
Illallah), Tahmid (Alhamdulillah), Tasbih (Subhanallah), Istighfar
(Astaghfirullah), Hauqalah (La haula walaa quwwata illa billah), Takbir
(Allahuakbar), dan sebagainya; “Dan tunduklah kepadanya sebenar-benar tunduk.”
(ujung ayat 8).
Lakukan muraqabah, yang berarti
mengintai waktu yang baik atau peluang untuk mengontakkan diri dengan Dia. Atau
Mujasabah yaitu memperhitungkan kebebalan dan kelalaian diri di samping nikmat
yang bengini besar dianugerahkan Allah.
Siapa yang wajib engkau sembah dan
engkau tunduk kepadanya itu?
Ialah “Tuhan masyriq dan maghrib.”
(pangkal ayat 9). Dia Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan perjalanan matahari
dari sebelah Timur ke sebelah Barat, teratur jalannya, tidak pernah berkisar
tempatnya, masa demi masa; “Tiada Tuhan melainkan Dia.” Ke sanalah hidup ini
ditujukan, daripadanyalah diambil kekuatan; “Maka ambillah Dia jadi pelindung.”
(ujung ayat 9).
Dengan cara yang demikianlah jasmani
dan rohani engkau akan dapat kuat dan teguh melakukan tugas. Karena engkau
tidak pernah jauh dari Tuhan.
* * * * *
(10) Dan bersabarlah engkau atas apa
yang mereka katakan itu dan hijrahlah dari mereka dengan hijrah yang indah.
(11) Dan biarkanlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu,
yang mempunyai kemewahan, dan berilah mereka tangguh sejenak.
(12) Sesungguhnya di sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang
bernyala-nyala.
(13) Dan makanan yang mempunyai sekangan dan azab yang pedih.
(14) Pada hari, yang akan bergoncang bumi dan gunung-gunung dan jadilah
gunung-gunung itu tumpukan pasir yang berterbangan.
(15) Sesungguhnya telah Kami utus kepada kamu seorang Rasul; yang akan jadi
saksi terhadap kamu, sebagaimana telah Kami utus kepada Fir’aun seorang Rasul.
(16) Maka mendurhakalah Fir’aun terhadap Rasul itu; maka Kami siksalah dia
dengan siksaan yang ngeri.
(17) Maka betapakah kamu akan dapat memelihara diri jika kamu kafir, pada hari
yang menyebabkan anak-anak pun akan tumbuh uban.
(18) Langit pun jadi pecah belah di hari itu; adalah janji Allah pasti berlaku.
(19) Ini adalah suatu peringatan; maka barangsiapa yang mau, niscaya
ditempuhnyalah jalan kepada Tuhannya.
“Dan bersabarlah engkau atas apa
yang mereka katakan itu.” (pangkal ayat 10). Macam-macamlah kata-kata yang
dilontarkan oleh kaum musyrikin itu terhadap Nabi s.a.w. untuk melepaskan rasa
dendam dan benci. Dituduh gila, dituduh tukang sihir, dituduh tukang tenung dan
sebagainya. Maka disuruh Tuhanlah Nabi bersabar, jangan naik darah, hendaklah
berkepala dingin mendengarkan kata-kata demikian. Karena jika kesabaran hilang,
pedoman jalan yang akan ditempuh atau rencana yang tengah diperbuat akan gagal
semua tersebab hilang kesabaran. Sabar adalah satu syarat mutlak bagi seorang
Nabi atau seorang pemimpin yang ingin berhasil dalam perjuangannya. “Dan
hijrahlah dari mereka dengan hijrah yang indah.” (ujung ayat 10).
Hijrah yang dimaksud di sini
belumlah hijrah negeri, khususnya belum hijrah ke Madinah. Hijrah di sini ialah
dengan menjauhi mereka, jangan dirapatkan pergaulan dengan mereka. Jika mereka
memaki-maki atau mencela, berkata yang tidak bertanggungjawab, sambutlah dengan
sabar dan jangan dibalas dengan sikap kasar pula. Hijrah yang indah ialah
membalas sikap mereka yang kasar itu dengan budi yang luhur, dengan akhlak yang
tinggi. Tentang keluhuran budi itu telah ada pengakuan Allah atas RasulNya pada
ayat 4 dari Surat 68, al-Qalam yang telah kita uraikan terlebih dahulu.
Lantaran itu bagaimanapun sakitnya telinga mendengarkan caci-maki mereka,
janganlah Nabi menghadapi mereka, jauhi saja mereka;
“Dan biarlah Aku bertindak terhadap
orang-orang yang mendustakan itu.” (pangkal ayat 11). Janganlah engkau menuntut
balas sendiri terhadap kekasaran sikap orang-orang yag mendustakan itu.
Teruskan saja melakukan da’wah yang ditugaskan Tuhan ke atas pundakmu. Tentang
menghadapi orang-orang seperti itu dan menentukan hukumnya, serahkan sajalah
kepada Allah; “Yang mempunyai kemewahan.” Biasanya mereka berani mendustakan
Rasul Allah mentang-mentang mereka kaya, mentang-mentang mereka hidup mewah
penuh nimat, sehingga mereka tidak mau mengingat bahwa nikmat yang mereka
gelimangi itu mereka terima dari Allah; “Dan berilah mereka tangguh sejenak.”
(ujung ayat 11). Artinya biarkanlah mereka bersenang-senang, bermewah-mewah
sebentar waktu. Akan berapalah lamanya dunia ini akan mereka pakai. Kemewahan
itu tidak akan lama. Ada-ada saja jalannya bagi Tuhan untuk mencabut kembali
nikmat itu kelak. Karena Tuhan itu Maha Kuasa memutar-balikkan sesuatu.
Sejauh-jauh perjalan hidup, akhirnya akan mati. Segagah-gagah badan waktu muda,
kalau umur panjang tentu akan tua. Sesihat-sihat badan, satu waktu akan sakit.
Atau harta itu sendiri licin tandas, sebagai mana tandasnya kebun yang terbakar
karena yang empunyanya bakhil semua, sebagai dijelaskan Tuhan dalam Surat 68
al-Qalam juga.
“Sesungguhnya di sisi Kami ada
belenggu-belenggu yang berat.” (pangkal ayat 12). Yang akan dibelenggukan
kepada kaki, tangan dan leher mereka kelak, karena kekafiran yang tidak mau
menerima Kebenaran itu; “Dan neraka yang bernyala-nyala.” (ujung ayat 12). Ke
dalam neraka yang bernyala-nyala itulah mereka akan dihalaukan di kemudian hari
sebagai makhluk yang hina karena penuh dengan kesalahan.
“Dan makanan yang mempunyai
sekangan.” (pangkal ayat 13). Ada semacam makanan dalam neraka yang
bernyala-nyalal itu nanti bila dimakan dia akan tersekang di kerongkongan;
masuk kedalam perut tidak mau, dikeluarkan kembali pun tidak mau; “Dan azab
yang pedih.” (ujung ayat 13). Artinya ada lagi beberapa siksaan lain yang akan
mereka derita. Pada waktu itu, azab siksaan yang mereka terima adalah sepadan
dengan kesombongan dan besar kepala mereka di kala kedatangan Nabi.
“Pada hari, yang akan bergoncang
bumi dan gunung-gunung.” (pangkal ayat 14). Karena kiamat ketika itu telah
datang; “Dan jadilah gunung-gunung itu tumpukan pasir yang berterbangan.”
(ujung ayat 4).
Meskipun pemuka-pemuka Quraisy yang
kena ancaman itu belum mendapati ketika bumi dan gunung-gunung akan bergoncang
karena kiamat, namun nasib mereka yang menantang Nabi tidak jugalah baik. Mana
yang tidak tunduk menemui kematian yang sengasara disertai malu keluarga yang
tinggal karena kekalahan di Perang Badar. Dan ancaman bahwa kiamat akan datang
adalah hal yang diyakini, sebab alam ini tidaklah kekal.
Kemudian itu datanglah peringatan
Allah untuk mendekatkan soal ini ke dalam hati orang-orang yang kafir itu;
“Sesungguhnya telah Kami utus kepada kamu seorang Rasul.” (pangkal ayat 15).
Peringatan kepada kaum Quraisy itu, bahwa yang datang kepada mereka ini adalah
Utusan Tuhan, Muhammad, dibangkitkan dalam kaum keluarga mereka sendiri, bukan
orang lain yang datang dari negeri lain; “Yang akan jadi saksi terhadap kamu.”
Artinya bahwa Rasul itu akan menjadi saksi di hadapan Tuhan siapa di antara
kamu yang taat, patuh dan percaya akan panggilan Rasul itu dan siapa pula yang
kafir, tidak mau percaya. “Sebagaimana telah Kami utus kepada Fir’aun seorang
Rasul.” (ujung ayat 15). Dibandingkan oleh Allah kedatangan Muhammad yang
sekarang kepada kaumnya, dengan kedatangan Musa kepada Fir’aun.
“Maka mendurhakalah Fir’aun terhadap
Rasul itu.” (pangkal ayat 16). Ditolak, dibantahnya dan dia membanggakan diri
kepada Musa, sampai Fir’aun itu mendakwakan bahwa dirinyalah yang Tuhan; “Maka
Kami siksalah dia dengan siksaan yang ngeri.” (ujung ayat 16). Kami
tenggelamkan Fir’aun itu ke dalam dasar laut dan mampus dia di sana bersama
tentera yang mengikuti dia, dan diselamatkan Allah Musa, Rasul Allah bersama
Rasul Allah Harun dan Bani Israil sampai ke seberang. Tapi sekarang orang Israel lupa diri (Safni)
Dengan menyebutkan hal ini Allah
memberikan peringatan bahwa kalau Fir’aun, Raja Besar bisa remuk redam kena
azab siksaan yang ngeri karena menentang Tuan, niscaya mereka itu, kaum Quraisy
yang masih kufur kalau masih tidak juga berobah mudah saja bagi Tuhan
menghukumnya.
“Maka betapakah kamu akan dapat
memelihara diri jika kamu kafir.” (pangkal ayat 17). Ke mana kamu akan lari?
Sedangkan Fir’aun dengan tetneranya yang besar tidak dapat memelihara dirinya
dari azab Allah Ta’alajika azab itu datang menimpa? “Pada hari yang menyebabkan
anak-anak pun akan tumbuh uban.” (ujung ayat 17). Ngeri sangat hari itu kelak.
Saking ngeriny, anak kecil yang belum dewasa pun bisa tumbuh ubah dibuatnya.
Inilah satu ungkapan melukiskan kengerian yang amat dahsyat. Sedangkan seorang
yang muda belia, belum patut tumbuh uban, jika diberi tanggungjawab yang berat,
bisa segera tumbuh uban, karena berfikir.
Orang bertanya kepada Abdulmalik bin
Marwan yang menjadi Khalifah pada usia masih muda, padahal belum cukup tiga
tahun memerintah, kepalanya sudah beruban. Lalu ada orang bertanya; “Mengapa
selekas ini tumbuh uban, ya Amirul Mu’minin?” Beliau menjawab; “Naik ke atas
mimbar berkhutbah tiap hari Jum’at itu menyebabkan kepalaku penuh uban.”
“Langit pun jadi pecah belah hari
itu.” (pangkal ayat 18). Dapatlah kita fahamkan dengan langit pecah belah itu
bahwa bintang-bintang tidak berjalan menurut ukuran insijam (harmonis)nya lagi.
Daya tarik yang ada di antara satu bintang dengan bintang yang lain telah
diputuskan, matahari telah terlepas hubungan dengan sekalian bintang yang jadi
satelitnya; “Adalah janji Allah pasti berlaku.” (ujung ayat 18).
Artinya bahwa semuanya itu pasti
terjadi, jangan dipandang enteng Kalam Allah ini.
“Ini adalah suatu peringatan.”
(pangkal ayat 19). Ang datang dari Tuhan sendiri dan Rasul Allah adalah
menyampaikan berita ini dengan jujur; “Maka barangsiapa yang mau, niscaya
ditempuhnyalah jalan kepada Tuhannya.” (ujung ayat 19). Sebab di ayat 17 di atas
sudah dijelaskan bahwa tidak seorang pun yang akan dapat berlepas diri atau
memelihara diri, atau mengelak dari datangnya hari itu; sebagaimana juga maut,
tidak seorang pun yang dapat mengelakkan diri dari cengekeramannya.
* * * * *
(20) Sesungguhnya Tuhan engkau mengetahui bahwasanya engkau berdiri hampir dari
dua pertiga malam dan seperdua malam dan sepertiganya dan satu segolongan dari
orang-orang yang bersama engkau. Dan Allah menentukan ukuran malam dan siang;
Tuhan telah tahu bahwa kamu sekali-kali tidak akan dapat memperhitungkannya.
Maka diberiNya taubatlah atas kamu. Sebab itu bacalah mana yang mudah dari
al-Quran. Tuhan telah tahu bahwa akan ada di antara kamu yang sakit. Dan yang
lain-lain mengembara di muka bumi karena mengharapkan kurnia dari Allah, dan
yang lain-lain berperang pada jalan Allah; maka bacalah mana yang mudah
daripadanya dan dirikanlah sembahyang dan berikanlah zakat dan beri pinjamlah
Allah, pinjaman yang baik. Dan apa jua pun yang kamu dahulukan untuk dirimu
dari kebajikan, akan kamu perdapat dia di sisi Allah, dia adalah baik dan
sebesar-besar ganjara. Dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah
adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Yang Berat Diringankan
Perintah Allah pada permulaan Surat
supaya Nabi Muhammad dan orang-orang ang beriman bangun sembahyang malam,
menurut yang ditentukan Tuhan, telah mereka laksanakan dengan baik.
Sekarang pada penutup Sura, ayat 20
datannglah penjelasan lagi dan penghargaan Tuhan karena mereka telah
melaksanakan perintah itu;
“Sesungguhnya Tuhan engkau
mengetahui bahwasanya engkau berdiri hampir dari dua pertiga malam dan seperdua
malam dan sepertiganya.” (pangkal ayat 20). Artinya segala perintah itu telah
engkau jalankan sebagaimana yang ditentukan oleh Tuhan; yang dekat dengan dua pertiga
sudah, yang seperdua malam pun sudah, demikian juga yang sepertiga. Semuanya
sudah dilaksanakan dengan baik; “Dan satu segolongan dari orang-orang yang
bersama engkau.” Artinya bahwa engkau telah memberikan teladan tentang bangun
sembahyang malam itu kepada pengikut-pengikut setia engkau dan mereka pun telah
berbuat demikian pula bersama engkau; “Dan Allah menentukan ukuran malam dan
siang.” Di musim dingin lebih pendek siang, lebih panjang malam; di musim panas
lebih panjang siang, lebih pendek malam. Di musim kembang terdapat persamaan
siang dengan malam. Ibnu Katsir memberikan tafsir bahwa inilah hikmatnya maka
sejak semula perintah ini didatangkan, Nabi boleh membuat dua pertiga malam
atau lebih, atau kurang, atau seperdua, atau sepertiga. Karena perimbangan
malam itu tidak sama. Yang perbedaan tidak seberapa ialah di negeri-negeri
Khatulistiwa sebagai kepulauan kita di Indonesia ini. “Tuhan telah tahu bahwa
kamu sekali-kali tidak akan dapat memperhitungkannya,” dengan teliti. Apatah
lagi di zaman itu ilmu hisab dan ilmu falak belum semaju sebagai sekarang.
Belum ada buat penelitian perjalanan musim dan pergantian hari sebagai yang ada
di Greenwich sekarang ini. Walaupun tahu, tidak pula semua orang wajib
mengetahuiya. “Maka diberiNya taubatlah atas kamu.” Artina bukanlah diberi
taubat karena ada suatu perintah yang dilanggar, melainkan beban yang berat
yang diringankan. “Sebab itu bacalah mana yang mudah dari al-Quran.” Artinya
janganlah kamu persukar dirimu karena pembacaan itu. Karena tadinya sudah diperintahkan
membaca al-Quran dengan perlahan-lahan, maka banyaklah di antara
sahabat-sahabat Rasulullah itu yang tekun membaca lalu sembahyang, dan membaca
lagi lalu sembahyang. Membaca di dalam sembahyang dan membaca di luar
sembahyang; semuanya karena ingin melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan.
Disuruh pilih di antara dua pertiga, boleh ditambah dan boleh dikurangi,
seperdua pun boleh sepertiga pun boleh, naumn banyak yang berbuat lebih dekat
kepada dua pertiga.
Ar-Razi menukilkan dalam tafsirnya perkataan
Muqatil; “Ada sahabat Rasulullah yang sembahyang seluruh malam, karena takut
kalau-kalau kurang sempurna mengerjakan sembahyang yang wajib. “Tuhan telah
tahu bahwa akan ada di antara kamu yang sakit.” Tentu saja orang yang sakit
tidak diberati dengan perintah. Dan lagi kalau ada orang yang sembahyang saja
tersu-terusan satu malam, niscaya dia akan kurang tidur. Kurang tidur pun bisa
menimbulkan sakit. Maksud Tuhan memerintahkan beribadat, buknlah supaya orang
jadi sakit, melainkan tetap sihat wal’afiat; “Dan yang lain-lain mengembara di
muka bumi karena mengharapkan kurnia dari Allah.” Yang dimaksudkan ialah
terutama sekali, berniaga, Atau bercucuk tanam, yang menghasilkan buah. Atau
berternak yang menghasilkan binatang peliharaan. Semuanya itu diperintahkan
belaka oleh Allah, sebagaimana tersebut di dalam Surat 67, al-Mulk ayat 15 yang
telah kita ketahui di pangkal Juzu’ 29 ini. Mencari rezeki yang halal dan yang
baik adalah suruhan pula dari Tuhan. Dengan suku ayat ini Ibnul Farash berkata
bahwa ayat yang menerangkan tentang pengembaraan di muka bumi ini mencari
kurnia dari Allah adalah satu galakan atau anjuran utama supaya berniaga. Dia
diserangkaikan dengan Jihad fi Sabilillah, dengan sambungan ayat; “Dan yang
lain-lain berperang pada jalan Allah.” Maka kalau kurang istirahat pada malam
hari, niscaya lemah bertempur dengan mush pada siang harinya.
Ibnu Katsir menerangkan pula. Sudah
sama diketahui bahwa Surat ini diturunkan di Makkah. Masyarakat Islam baru saja
tumbuh. Perintah Jihad belum ada. Tetapi sudah mula dibayangkan bahwa ini akan
terjadi. Inilah satu mu’jizat ari Nabi Muhammad s.a.w. “Maka bacalah mana yang
mudah daripadanya.” Berdasarkan kepada Hadis yang pernah dirawikan oleh
‘Ubbadah bin Shamit, bahwa Nabi pernah bersabda: “Tidaklah ada sembahyang, bagi
orang yang tidak membaca Fatihatil Kitab,” yang dirawikan oleh Bukhari dan
Muslim, maka Ulama-ulama menyatakan pendapat bahwa yang termuda dari al-Quran
itu ialah al-Fatihah. Tetapi Ulama-ulama dalam Mazhab Hanafi ada yang
berpendapat bahwa meskipun bukan Fatihah yang dibaca, asal saja ayat al-Quran,
walau satu ayat, sembahyangnya sah juga.
Selanjutnya sabda Tuhan; “Dan
dirikanlah sembahyang dan berikanlah zakat.” Perintah mengerjakan sembahyang di
dalam ayat ini menyebabkan jadi jelas bahwa di samping sembahyang malam dengan
perintah khas ini, Rasulullah s.a.w. sebelum Mi’raj telah mendapat juga
perintah melakukan sembahyang yang lain, meskipun belum diatur lima waktu.
Perintah memberikan zakat pun telah ada sejak dari Makkah, meskipun mengatur
nishab zakat baru diatur setelah hijrah ke Madinah. Maka orang-orang yang
beriman di masa Makkah dengan bimbingan Nabi sendiri telah sembahyang dan telah
berzakat. “Dan beri pinjamlah Allah, pinjaman yang baik.” Yaitu mengeluarkan
harta-benda untuk menegakkan kebajikan, untuk berjuang menegakkan jalan Allah,
untuk menegakkan agama, dipilih dari harta yang halal, membantu yang patut
dibantu, kikis dari diri penyakit bakhil yang sangat berbahaya itu. Tuhan di
sini memilih kata-kata “pinjam”, artinya; “Bayarkanlah terlebih dahulu rezeki
yang diberikan Allah yang ada dalam tanganmu itu, Allah berjanji akan
menggantinya kelak berlipat-gand. Orang yang pemurah tidaklah akan
berkekurangan.” – “Dan apa jua pun yang kamu dahulukan untuk dirimu dari
kebajikan.” Dalam susunan bahasa kita tiap hari; “Apa pun kebajikan yang kamu
dahulukan untuk kepentingan dan kebahagiaan dirimu; “Akan kamu perdapat dia di
sisi Allah.” Artinya tidak ada satu kebajikan pun yang telah diamalkan, baik
berderma, berwaqaf, bershadaqah, menolong dan berjuang menegakan kebenaran,
berjihad, tidak ada yang luput dari catatan Allah. “Dia adalah baik dan
sebesar-besar ganjaran.” Asal semuanya itu dikerjakan dengan ikhlas karena
Allah, ganjrannya di sisi Tuhan pun sangat baik. Perhatikanlah isi dari sabda
Tuhan itu; “Apa pun yang kamu dahulukan dari kebajikan.” Sebab segala amalan
kebajikan yang kita lakukan sementara hidup ini samalah artinya dengan
mengirimkannya lebih dahulu ke hadhrat Allah sebagai simpanan kekayaan yang
kelak pasti kita dapati dalam perhitungan di akhirat. Mana yang telah kita
belanjakan terlebih dahulu itulah yang terang buat kita. Yang lain belum tentu
buat kita.
Tiga Hadis yang sama artinya, satu
dirawikan oleh Bukhari, satu lagi oleh an-Nasa’i dan satu lagi dari Abu Ya’la,
tetapi ketiga Hadis itu melalui al-A’masy dari Ibrahim dan Harits bin Suwaid,
bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bertanya, “Siapakah di antara kamu yang lebih
suka kepada hartanya sendiri daripada harta yang dipunyai oleh warisnya?”
Sahabat-sahabat Rasulullah yang
hadir mendengar pertanyaan itu menjawab; “Tidak ada di antara kami seorang pun
yang lebih menyukai harta kepunyaan warisnya dari mencintai hartanya sendiri!”
Rasulullah berkata lagi, “Fikirkan benarlah apa yang kamu katakan itu!” Mereka
menjawab; “Tidak ada pengetahuan kami yang lain, ya Rasulullah, melainkan
begitulah yang kejadian,” harta sendiri yang lebih disukai daripada harta
kepunyaan waris. Lalu beliau berkata; “Yang benar-benar harta kamu ialah yang
lebih dahulu kamu nafkahkan, dan yang tinggal adalah harta kepunyaan waris
kamu!”
Sama jugalah makna dari sabda
Rasulullah itu dengan perumpamaan yang biasa kita dengar; “Jika burung terbang
sepuluh ekor, kamu tembak, lalu jatuh empat; berapa yang tinggal?” Orang yang
tidak sempat berfikir dijawabnya saja; “Enam yang tinggal.” Tetapi orang yang
berfikir lebih mendalam akan menjawab; “Yang tinggal ialah yang empat ekor
telah kena itu. Adapun yang enam telah terbang, belum tentu akan dapat lagi!”
Maka pada suatu hari singgahlah
penulis ini di kota Semarang menemui seorang dermawan yang patut dihargai di
zaman sebagai sekarang. Dia wakafkan sebahagian besar dari kekayaannya untuk
mendirikan sebuah rumah sakit dan diserahkannya mengurusnya kepada Perkumpulan Muhammadiyah.
Dia telah berkata kepada anak-anaknya ketika akan memberikan wakaf itu: “Harta
benda yang untuk kamu, wahai anak-anakku sudah ada ketentuannya di dalam
al-Quran. Jika ayah mati, maka di saat roh ayah bercerai dengan badan harta itu
semuanya sudah kamu yang empunya. Di saat itu tidak ada sebuah pun yang akan
ayah bawa ke akhirat, selain lapis kafan pembungkus diri ayah sampai hancur.
Sebab itu sebelum ayah meninggal ini, biarkanlah ayah mengirim lebih dahulu
harta yang akan ayah dapati di akhirat, dengan jalan mendirikan rumah sakit
untuk menolong orang-orang miskin yang tidak kuat membayar mahal dan dipelihara
oleh perkumpulan Islam yang dipercayai. Apa yang ayah amalkan dan kirimkan
“terlebih dahulu” itulah yang jelas harta ayah.”
Anak-anaknya pun menerima keinginan
ayahnya itu dengan ikhlas. “Dan mohonlah ampun kepada Allah.” Karena sebagai
manusia yang hidup, tidaklah akan sunyi kamu dari kealpaan dan kekhilafan. Yang
penting adalah mengakui kekurangan diri di hadapan Kebesaran Allah; ”Sesungguhnya
Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (ujung ayat 20).
Sebab bagaimanapun kebajikan yang
kita perbuat, amalan yang kita kerjakan, menolong orang yang kesusahan,
berjuang dan berjihad, akan ada sajalah kekurangan kita dan tidak akan ada yang
sempurna. Sebab Yang Maha Sempurna itu hanyalah Allah Ta’ala sendiri. Maka
dengan mengingat akan dua nama Allah, pertama GHAFUR artinya Maha Pengampun dan
kedua RAHIM, Maha Penyayang, masuklah kita daripada pintunya, moga-moga
terkabul apa yang kita harapkan. Sebab bagaimanapun kekurangan, namun niat
menuju Tuhan tidaklah pernah patah.
Beberapa keterangan berhubung degan
Surat al-Muzzammmil;
Suatu riwayat dari Ibnu Abbas; Tuhan
menyuruh NabiNya dan orang-orang yang beriman supaya bangun sembahyang malam,
keculai sedikit, artinya sediakan sedikit malam buat tidur. Rupanya setelah
dikerjakan oleh orang-orang Mu’min, nampak telah memberati. Lalu datanglah
perintah keringanan di akhir Surat. Maka segala puji bagi Allah.
Menurut riwayat dari Abu
Abdurrahman; ketika telah turun Surat “Ya Ayyuhal Muzzammil”, maka satu tahun
lamanya kaum beriman mengerjakan dengan tekun tiap malam, sampai kaki mereka
jadi pegal lantaran lamanya sembahyang. Lalu turunlah akhir Surat. Dengan
demikian terlepaslah mereka dari ibadat yang berat itu.
Riwayat dari Said bin Jubair,
al-Hasan al-Bishri dan Ikrimah begitu juga.
Al-Hafiz Ibnu Hajar menulis dalam
Syarah Bukhari; “Setengah Ulama berpendapat bahwa pada mulanya sembahyang
malamitu adalah wajib. Kemudian perintah itu dimansuhkan dengan bangun
sembahyang malam sekadar kuat, kemudian yang itu pun dimansukhkan dengan
perintah sembahyang lima waktu.”
Tetapi al-Maruzi membantah
keterangan itu.
Setengahnya lagi mengatakan sebelum
Nabi Mi’raj belum ada sembahyang yang difardhukan. As-Sayuthi berpendapat bahwa
ayat 20 itu memansukhkan kewajiban yang dipikulkan di pangkal Surat. Suatu
golongan Ulama mangatakan bahwa sembahyang malam itu tetap wajib atas Nabi
saja. Setengah Ulama lagi mengatakan bahwa atas ummat pun wajib juga, tetapi
berapa bilangannya tidaklah ditentukan, hanya asal berapa kuat saja.
Di antara ahli tafsir mengeluarkan
pendapat bahwa sejak semula Qiyamul Lail itu tetaplah nafilah atau mandub atau
sunnah (dianjurkan), tidak ada nasikh dan mansukh dalam perkara ini. Ayatnya
adalah ayat muhkam, artinya tetap berlaku. Tetapi meskipun dia perintah sunnat,
namun setengah orang yang beriman mengerjakannya dengan tekun sampai tidak
mengingat lagi akan kesihatan badan dan tidak mengingat lagi bahwa mereka pun
wajib pula berusaha mencari rezeki yang halal. Dan kemudian hari akan datang
waktunya mereka mesti pergi berperang pada jalan Allah. Maka diperingatkanlah
di akhir Surat, ayat 20 supaya ibadat itu dilakukan ala kadarnya saja, jangan
sampai memberati.
Ini pun dibuktikan pula dengan
beberapa Hadis, bahwa ada orang yang merentangkan tali tempat bergantung ketika
akan berdiri menyambung sembahyang di dalam mesjid, terutama setelah pindah ke
Madinah. Sedangkan dalam mengerjakan sembahyang tarawih atau qiyamul lail yang
bulan puasa, tersebut pula ada yang sampai sembahyang 41 rakaat dengan witir,
sampai sembahyangnya itu ditutp saja dengan makan sahur atau dengan waktu
Subuh. Maka diperingatkan oleh Tuhan agar diingat juga kewajiban-kewajiban lain
yang akan kita hadapi dalam hidup ini.
Sekian tafsir dari Surat
al-Muzzammil; Alhamdulillah!
Rujukan: Tafsir Al-Azhar, Juzu’ 29,
tulisan HAMKA