...semoga semua pihak yang terlibat dengan tulisan ini medampat pahala dari Allah, penulis maupun yg membaca Nya...Insya Allah...amin....

freej

Tuesday, 4 November 2014

Surat Al Ghasiyah (QS 88)





Bismillahhirrohmannirrohim,

 Surah ini dibagi ke dalam dua bagian. Pertama tentang Hari Kebangkitan, dunia berikutnya, surga dan neraka. Kedua, tentang pesan tauhid yang dalam dan meliputi semua yang diberikan kepada kita agar kita merenungkan apa yang terdekat kepada kita dalam penciptaan sehingga kita bisa melihat kesempurnaan dan keesaannya. Al Ghasiyah diambil dari kata al ghosya - yaghsa yang artinya pingsan. Al Ghasiyah artinya hari kiamat.

Hari kiamat dinamai oleh Allah dengan banyak nama, dan semua nama tersebut menakutkan dan menggetarkan hati, termasuk Al Ghasiyah. Al Ghasiyah diambil dari ayat pertama di surat tersebut. Setelah Allah SWT menyebutkan sebagian dari suasana hari kiamat dalam surat Al A'la, Allah swt menjelaskan dengan lebih detail lagi tentang hari kiamat, surga dan neraka serta apa yang dialami oleh para penghuninya dalam surat Al Ghasiyah ini.

Allah swt menjelaskan bagaimana nasib ahli neraka yang penuh dengan penderitaan dan para penghuni surga yang penuh dengan kebahagaiaan. Diantara keutamaan surat ini adalah bahwa Rasulullah saw sangat mencintai surat ini. Beliau selalu membaca surat al A'la dan surat Al Ghasiyah pada hari Jumat dan hari raya (hr.imam muslim, abu dawud,nasa’i)ayat 1:
artinya :
"Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan?" Pertanyaan retorik ini merupakan penggambaran akan kebesaran /kedahsyatan dari apa yang ditanyakan. Adalah sudah menjadi kebiasaan manusia ketika hendak menggambarkan suatu hal yang sangat dahsyat dengan menanyakan "Tahu-kah kamu akan...?". Demikianlah dalam ayat ini, melalui pertanyaan retorik tersebut, Allah swt menggambarkan kedahsyatan dari apa yang ditanyakan tersebut, yakni Al Ghasiyah, hari kiamat. Ayat 2: Artinya: "Banyak muka pada hari itu tunduk terhina" Allah swt menerangkan kondisi orang-orang kafir, yakni wajah mereka penuh ketakutan, hina, tertunduk. Di dunia mereka merasa tinggi, merasa hebat dan merasa sombong. Di akhirat mereka dibuat hina oleh Allah swt. Ayat 3 Artinya: "Bekerja keras lagi kepayahan" Mereka capek-capek bekerja di dunia. Ayat 4 Artinya: "Memasuki api yang sangat panas (neraka)" Akan tetapi akhirnya mereka di bakar dalam api neraka. Kata "haamiyah" berarti panas yang sangat panas, puncaknya panas. Ayat 5 Artinya: "Diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas" Minumannya dari air yang sangat panas... Kata "aaniyah", memiliki arti yang sama dengan "haamiyah" pada ayat sebelumnya, yakni panas yang sangat panas, yang merupakan puncaknya panas. Ayat 6 Artinya: "Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri" Tidak ada makanan lagi bagi mereka kecuali kayu dhorii' yakni sejenis pohon berduri yang sangat menjijikan lagi pahit rasanya. Tidak ada satu binatangpun yang mau memakannya. Pada keadaan yang masih segar, pohon itu disebut sibriq. Unta masih mau memakan yang segar ini, tetapi setelah menjadi dhorii', tidak ada lagi yang mau memakannya. Ayat 7 Artinya: "yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar" Semakin dimakan semakin terasa lapar... Inilah gambaran Allah tentang neraka. Begitu mengerikannya sehingga para sahabat ketika mendengar ayat-ayat ini tersungkur menangis karena merasa takut. Kondisi tersebut tidak kita dapati sekarang ini, dimana ayat-ayat ini hanya menjadi informasi saja yang tidak menyentuh hati. Secara logika, jika untuk mencari kesenangan duniawi saja seseorang harus bekerja keras, apatah lagi untuk bisa masuk surga, dimana kesenangan tiada batasnya. Rasulullah saw dan para sahabat tidak pernah berhenti bekerja keras. Kondisi umat islam dewasa ini hampir menyerupai kaum kafir, dimana mereka bekerja keras tiada kenal lelah untuk mencari kehidupan dunia. Hanya, orang muslim diselingi dengan sebentar shalat. Itupun secukupnya saja. Pada ayat-ayat selanjutnya kemudian Allah swt menceritakan kondisi orang-orang beriman... Ayat 8 Artinya: "Banyak muka pada hari itu berseri-seri" Wajah orang2 yang mentaati Allah akan penuh dengan kesenangan. Orang-orang yang dimaksud disini bukan hanya beriman, tetapi adalah orang-orang yang mentaati Allah swt dalam segala halnya. Termasuk yang bersungguh-sungguh mencari ilmu. Kewajiban mencari ilmu yang diisyaratkan oleh Allah swt dan rasulnya adalah kewajiban mencari ilmu agama, bukan ilmu duniawi. Untuk urusan duniawi, Allah swt sudah memberikan kemampuan kepada manusia dan makhluk-makhluk lainnya untuk bisa bertahan dan memperkembangkan hidupnya. Ayat 9 Artinya: "Merasa senang karena usahanya" Tafsir dari ustad: Karena usaha yang mereka lakukan di dunia diridhoi Allah swt. Perlu diperhatikan bahwa untuk mencapai ridho Allah diperlukan ilmu. Fenomena yang banyak ditemui adalah banyak orang islam masih salah dalam melaksanakan ibadahnya, seperti wudhu, shalat, dan ibadah-ibadah lainnya. Bagaimana mungkin amalan-amalannya tersebut diridhoi Allah swt kalau dilakukan dengan salah? Orang yang berprofesi sebagai karyawan seringkali berkorban untuk perusahaan, akan tetapi untuk mengorbankan waktu sedikit untuk Allah swt jarang sekali dilakukan. Bagaimana mungkin Allah swt meridhoinya jika demikian adanya. Rasulullah sw mengatakan bahwa Allah sangat pencemburu, tidak ada yang lebih pencemburu dibanding Allah swt. Kebanyakan manusia memprioritaskan urusan-urusan dengan Allah pada urutan belakang dibandingkan dengan urusan-urusan dunia, bagaimana mungkin Allah meridhoi? Ayat 10 Artinya: "dalam surga yang tinggi" Ayat 11 Artinya: "tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna" dalam surga itu tidak ada pembiaraan yang sia-sia. semua pembicaraan disana bermanfaat. Ini mengajarkan kita untuk berbicara hanya yang bermanfaat. Seorang muslim akan memilih untuk diam ketimbang berbicara yang tidak ada manfaatnya, karena yakin bahwa setiap ucapannya, sekecil apapun, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt. Bisa jadi hal yang dianggap sepele dari perkataannya malah menjerumuskannya ke jurang neraka, na'udzubillah... Ayat 12 Artinya: "Di dalamnya ada mata air yang mengalir" di surga ada air yang mengalir terus menerus... dari berbagai jenisnya... madu, susu, khamr dan lain sebagainya... Air yang mengalir merupakan simbol keindahan, karena itu banyak manusia membauat rumah-rumah mewah dengan air mengalir di dalamnya. Akan tetapi banyak manusia yang berbuat maksiat dihadapan keindahan milik Allah tersebut. Ayat 13 Artinya: "Di dalamnya ada tahta-tahta yang ditinggikan" Di surga ada kasur-kasur yang empuk dan tinggi (tebal)... ini juga merupakan lambang keindahan, kenikmatan dan kemewahan. Ayat 14 Artinya: "dan gelas-gelas yang terletak (didekatnya)" dan gelas-gelas yang tersedia... dimana kita berada, disana tersedia gelas-gelas tersebut, apa yang diinginkan, maka akan segera didapatinya yang diinginkannya itu... Itu semua karena di dunia mereka memilih yang halal daripada yang haram. Ketika Rasulullah saw mi'raj beliau melihat seseorang yang memakan bangkai daging yang busuk padahal disebelahnya ada daging yang baik. Jibril menjelaskan bahwa itu adalah seorang pezina, yang lebih memilih wanita yang haram daripada istrinya yang halal. Ayat 15 Artinya: "dan bantal-bantal sandaran yang tersusun" dan bantal-bantal yang berjajar... dimana kita berjalan disitulah bantal-bantal berjajar, siap untuk menjadi tempat beristirahat dan bersenang-senang... Ayat 16 Artinya: "dan permadani-permadani yang terhampar" Dan permadani yang dihampar... sebagai lambang kebesran dan kemewahan... semua penguni surga dihamparkan permadani... Akan tetapi banyak manusia yang lalai... Setelah itu Allah swt menyebutkan bukti2 akan kepastian hari kiamat... Ayat 17 Artinya: "Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan" Allah swt menyebutkan unta karena unta adalah binatang yang sangat dekat dengan mereka. Penciptaan dan fenomena unta merupakan suatu hal yang sangat menakjubkan. Unta menyimpan air di pori-pori kulitnya dan di punuknya untukbisa bertahan dalam waktu yang lama... Ayat 18 Artinya: "dan langit, bagaimana ia ditinggikan?" langit diangkat oleh Allah swt tanpa tiang... tidak ada yang dapat menandingi ciptaan Allah tsb... Sehebat-hebatnya bangunan yang dibuat manusia masih memerlukan tiang, tidak demikian dengan langit... Maha Besar Allah... Ayat 19 Artinya: "dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?" dan gunung bagaimana ia ditegakkan... gunung merupakan pasak-pasak yang menahan bumi dari keguncangan. Jika gunung dicabut maka bumi akan hancur, jika gunung berguncang maka bumi juga akan berguncang... Ayat 20 Artinya: "dan bumi bagaimana ia dihamparkan?" dan bagaimana bumi dihamparkan... padahal bumi ini bulat... padahal bumi ini bergerak dengan cepat, berputar mengelilingi matahari, berputar di porosnya, mengapa manusia tidak terlempar keluar dari bumi? Ayat 21 Artinya: "Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan" maka sampaikanlah peringatan kepada mereka sesungguhnya kewajiban kamu menyampaikan peringatan... Ayat 22 Artinya: "kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka" tetapi bukan memaksa Ayat 23 Artinya: "tetapi orang yang berpaling dan kafir" kecuali orang-orang yang berpaling dan kafir... Ayat 24 Artinya: "maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar" mereka pasti diazab oleh allah dengan azab yang pedih... Ayat 25 Artinya: "Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka" Sesungguhya mereka pasti kembali kepada Allah. Ayat 26 Artinya: "kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka" Allah swt pasti akan menghisab/ menghitung semua perbuatannya... semua yang dilakukan didunia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt. Demikianlah tujuan Allah swt menciptakan manusia, akan ada pertanggungjawaban dan perhitungan di hari akhirat nanti. Mustahil Allah swt menciptakan manusia tanpa ada tujuannya. Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya mengatakan bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawabannya atas empat hal, yakni usia, kesehatan, ilmu, harta.

Surat Al Ghasiyah diturunkan sebagai peringatan bagi umat manusia, maka kita diwajibkan untuk mempercayai, meyakini dan menjalankan makna dari surat ini dalam kehidupan kita, agar kita selamat.

Tuesday, 14 October 2014

SURAT AL-A'LA (QS 87)



(1) Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi, (2) Yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), (3) Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, (4) Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, (5) Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman. (6) Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa, (7) Kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. (8) Dan kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah. (9) Oleh sebab itu berikanlah peringatan Karena peringatan itu bermanfaat, (10) Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, (11) Dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya, (12) (yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). (13) Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. (14) Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), (15) Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. (16) Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. (17) Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (18) Sesungguhnya Ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (19) (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa. (QS Al-A’la: 1-19)

Surat ini terdiri atas 19 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah (yang diturunkan di Mekkah) dan diturunkan sesudah surat At-Takwiir. Nama Al-A’laa diambil dari kata “al-A’laa” yang terdapat pada ayat pertama, yang artinya “Maha Tinggi”. Dalam riwayat-riwayat hadis, surat ini juga disebut sebagai surat “Sabbih/sabbaha” (Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah).

Fadhilah Surat Ini
Menurut Imam Muslim dalam kitab Al Jumu’ah, dan diriwiyatkan juga oleh Ashhaabul Sunan, surat ini biasa dibaca oleh Rasulullah saw. pada shalat dua hari raya (Fitri dan Adha) dan hari Jum’at.
“Dari Nu’man Ibnu Basyir bahwa Rasulullah saw pada shalat dua hari raya dan shalat Jum’at membaca surat Al A’laa pada rakaat pertama dan surat Al Ghaasyiyah pada rakaat kedua.”
Imam Ahmad dalam kitab Musnad juga meriwayatkan hadits dari Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu anha beliau berkata “Adalah Rasulullah saw membaca sabbihismarabbikal a’laa pada rakaat pertama shalal witir, kemudian pada rakaat kedua dan ketiga beliau membaca Al-Kafirun dan Al-Ikhlas.
Kandungan Surat Ini
Surat Al-A’laa berisi keterangan asal-usul dan tujuan penciptaan manusia, adanya surga dan neraka, dan perintah untuk menyampaikan peringatan kepada manusia. Menurut Sayyid Sabiq, surat ini biasa dibacakan oleh Rasulullah pada pagi hari, dimana pada waktu itu manusia masih dalam kondisi yang sempurna, telah beristirahat dan pikiran masih jernih – belum tercemari hal-hal duniawi, sehingga ayat-ayat didalam surat ini mudah dicerna dan dihayati.
Surat ini diawali dengan perintah untuk bertasbih, menyucikan dan meninggikan nama Allah. Kata “sabbih” atau “sucikanlah” adalah kata perintah, yaitu perintah untuk menyebut nama Allah (bertasbih) sebagai satu-satunya Dzat yang harus ditinggikan dan diagungkan diatas nama-nama atau hal-hal yang lain.
Kemudian Rasulullah saw memerintahkan kepada sahabatnya untuk menjadikannya sebagai bacaan sujud, seperti sabda beliau: “Jadikanlah ia sebagai bacaan pada sujud kalian” (HR.Abu Daud dan Ibnu Majah). Lalu Rasulullah saw mencontohkan bacaan sujud tersebut, yaitu: “Subhana Rabbiyal A’laa.”
Pada ayat ke-2, Allah menyebutkan bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menyempurnakan ciptaan-Nya. Allah adalah Sang Pencipta.
Kemudian pada ayat ke-3, Allah menyebutkan bahwa ciptaanNya itu telah ditentukan kadarnya masing-masing, dan Allah telah memberi petunjuk. Para mufassirin mengartikan kadar itu sebagai batas waktu atau umur ciptaan-Nya. Sementara petunjuk yang dimaksud adalah al Qur’an.
Pada ayat ke-4 dan ke-5,Allah menyebutkan tentang penciptaan alam yaitu siklus hidup rumput, sebagai penjelasan tentang apa yang disebutkan diatas bahwa Allah yang telah menentukan kadar ciptaan-Nya. Artinya Allah-lah yang mengadakan dan memusnahkan ciptaanNya.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Amr bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menentukan segala sesuatu sebelum Allah menciptakan langit dan bumi lima puluh ribu tahun, dan Arsy-Nya diatas air”
Lalu pada ayat ke-6 dan ke-7 Allah menyebutkan bahwa Al Qur’an itu dibacakan (oleh Jibril) kepada Nabi saw dan Nabi saw tidak akan lupa atas bacaan tersebut, kecuali kalau Allah menghendaki (kelupaan) itu, karena Allah yang mengetahui segala yang terang (jahar) dan yang tersembunyi (yakhfa).
Pada satu riwayat dikemukakan bahwa apabila Jibril datang membawa wahyu kepada Nabi saw, beliau mengulang kembali wahyu itu sebelum Jibril selesai menyampaikannya (membacakannya) karena beliau saw takut lupa lagi. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai jaminan bahwa Rasulullah saw tidak akan lupa pada wahyu yang telah diturunkan kepadanya .(Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Didalam sanadnya terdapat Juwaibir yang lemah daya ingatnya)
Kemudian pada ayat ke-8, Allah menyebutkan bahwa Dia akan memberikan taufik ke jalan yang mudah. Jalan yang mudah diartikan oleh para ahli tafsir sebagai jalan yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.
Setelah nama Allah yang Maha Tinggi disucikan, petunjuk berupa wahyu (Al Qur`an) telah diturunkan, dan taufik telah dianugerahkan, maka pada ayat ke-9 Allah memerintahkan manusia untuk memberikan peringatan kepada manusia yang lainnya. Tentang isi peringatan itu Allah telah menjelaskan pada wahyu sebelumnya yaitu Surat Thahaa (20) ayat 99 dan al Anbiyaa’ (21) ayat 24, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai peringatan itu adalah al-Qur`an.
Allah swt berfirman: …dan sesungguhnya telah kami berikan kepadamu dari sisi kami suatu peringatan (al-Qur`aan).” (QS. Thahaa: 99)
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah: “Tunjukkanlah hujjahmu! (al Quran) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku[956].” Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” (QS. al-Anbiyaa’:24)
Kalimat “fadzakkir innafa’atidz dzikraa diartikan sebagai “berilah peringatan karena peringatan itu berguna”, bukan diartikan sebagai “berilah peringatan jika peringatan itu berguna”. Artinya kita jangan berhenti memberi peringatan, karena peringatan itu akan berguna, yaitu jika bukan kepada yang diperingati, pasti untuk yang memperingati. Manfaatnya antara lain sang pemberi peringatan akan mendapatkan ganjaran yang baik dari Allah Azza wa Jalla.
Sebagai pewaris ajaran Nabi saw kita diperintahkan untuk mengajak umat manusia ke jalan yang mudah (lagi benar) dengan petunjuk berupa al Qur`an. Dan para kader da’wah (penyeru) tidak boleh berputus asa dalam memberi peringatan ini, meski hasil yang diperoleh belum memuaskan. Intinya, jangan berhenti mengajak! Bukankah Nabi Nuh a.s. saja berdakwah kepada kaumnya selama “seribu tahun kurang lima puluh” ? (QS. Al-Ankabut:14). Karena itu jangan pernah putus asa dalam mengajak!
Disini kita perlu pula mempelajari dan menggunakan yang baik dalam memberi peringatan agar tepat sasaran dan mencapai tujuan.
Kembali pada Surat al-A’laa, pada ayat ke 10, disebutkan bahwa “orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran” dengan adanya peringatan tersebut.
Lalu pada ayat selanjutnya dinyatakan bahwa “orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya” (menjauhi peringatan/al-Qur`an tersebut—pen).
Disinilah Allah menjelaskan perbedaan antara orang mu’min dan orang kafir, dalam menerima peringatan. Jadi, jika ada diantara orang-orang yang kita seru kepada al-Qur`aan menjauhinya bahkan menolak, itulah orang-orang yang kafir terhadap Allah Azza wa Jalla.
Dua ayat selanjutnya, menjelaskan lebih jauh tentang keadaan orang yang menjauhi peringatan tersebut, yaitu “… akan memasuki api yang besar (neraka)” dan “dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.”
Kemudian pada ayat selanjutnya Allah swt membandingkannya dengan orang yang mau menerima petunjuk, yang Dia sebut sebagai orang yang beruntung karena mau membersihkan dirinya (beriman). Yang cirri-cirinya dijelaskan Allah swt pada ayat ke-15 yaitu “dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.”
Ayat ini disambungkan dengan kalimat.”Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” (QS.20:16). Padahal “kehidupan akhirat (surga—pen) adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Kemudian surat Al-A’laa ini ditutup dengan dua ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.” Lalu disambungkan dengan: “(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa“. Ayat ini menyatakan bahwa sesungguhnya peringatan atau ayat-ayat yang tercantum dalam al-Qur’an itu (khususnya dalam surat al A’laa tersebut) telah disampaikan juga oleh Nabi Ibrahim dan Musa a.s. kepada kaumnya dan termaktub dalam kitab-kitabnya. Hal ini dinyatakan Allah sebagai hujjah terhadap orang kafir. Wallahu ta’ala A’lam bishawab.

Tadabbur QS Al-A’laa

Ditulis oleh • Jun 28th, 2010 • Kategori: Kajian Al-Qur'an
(1) Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi, (2) Yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), (3) Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, (4) Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, (5) Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman. (6) Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa, (7) Kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. (8) Dan kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah. (9) Oleh sebab itu berikanlah peringatan Karena peringatan itu bermanfaat, (10) Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, (11) Dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya, (12) (yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). (13) Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. (14) Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), (15) Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. (16) Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. (17) Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (18) Sesungguhnya Ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (19) (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa. (QS Al-A’la: 1-19)
Surat ini terdiri atas 19 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah (yang diturunkan di Mekkah) dan diturunkan sesudah surat At-Takwiir. Nama Al-A’laa diambil dari kata “al-A’laa” yang terdapat pada ayat pertama, yang artinya “Maha Tinggi”. Dalam riwayat-riwayat hadis, surat ini juga disebut sebagai surat “Sabbih/sabbaha” (Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah).
Fadhilah Surat Ini
Menurut Imam Muslim dalam kitab Al Jumu’ah, dan diriwiyatkan juga oleh Ashhaabul Sunan, surat ini biasa dibaca oleh Rasulullah saw. pada shalat dua hari raya (Fitri dan Adha) dan hari Jum’at.
“Dari Nu’man Ibnu Basyir bahwa Rasulullah saw pada shalat dua hari raya dan shalat Jum’at membaca surat Al A’laa pada rakaat pertama dan surat Al Ghaasyiyah pada rakaat kedua.”
Imam Ahmad dalam kitab Musnad juga meriwayatkan hadits dari Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu anha beliau berkata “Adalah Rasulullah saw membaca sabbihismarabbikal a’laa pada rakaat pertama shalal witir, kemudian pada rakaat kedua dan ketiga beliau membaca Al-Kafirun dan Al-Ikhlas.
Kandungan Surat Ini
Surat Al-A’laa berisi keterangan asal-usul dan tujuan penciptaan manusia, adanya surga dan neraka, dan perintah untuk menyampaikan peringatan kepada manusia. Menurut Sayyid Sabiq, surat ini biasa dibacakan oleh Rasulullah pada pagi hari, dimana pada waktu itu manusia masih dalam kondisi yang sempurna, telah beristirahat dan pikiran masih jernih – belum tercemari hal-hal duniawi, sehingga ayat-ayat didalam surat ini mudah dicerna dan dihayati.
Surat ini diawali dengan perintah untuk bertasbih, menyucikan dan meninggikan nama Allah. Kata “sabbih” atau “sucikanlah” adalah kata perintah, yaitu perintah untuk menyebut nama Allah (bertasbih) sebagai satu-satunya Dzat yang harus ditinggikan dan diagungkan diatas nama-nama atau hal-hal yang lain.
Kemudian Rasulullah saw memerintahkan kepada sahabatnya untuk menjadikannya sebagai bacaan sujud, seperti sabda beliau: “Jadikanlah ia sebagai bacaan pada sujud kalian” (HR.Abu Daud dan Ibnu Majah). Lalu Rasulullah saw mencontohkan bacaan sujud tersebut, yaitu: “Subhana Rabbiyal A’laa.”
Pada ayat ke-2, Allah menyebutkan bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menyempurnakan ciptaan-Nya. Allah adalah Sang Pencipta.
Kemudian pada ayat ke-3, Allah menyebutkan bahwa ciptaanNya itu telah ditentukan kadarnya masing-masing, dan Allah telah memberi petunjuk. Para mufassirin mengartikan kadar itu sebagai batas waktu atau umur ciptaan-Nya. Sementara petunjuk yang dimaksud adalah al Qur’an.
Pada ayat ke-4 dan ke-5,Allah menyebutkan tentang penciptaan alam yaitu siklus hidup rumput, sebagai penjelasan tentang apa yang disebutkan diatas bahwa Allah yang telah menentukan kadar ciptaan-Nya. Artinya Allah-lah yang mengadakan dan memusnahkan ciptaanNya.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Amr bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menentukan segala sesuatu sebelum Allah menciptakan langit dan bumi lima puluh ribu tahun, dan Arsy-Nya diatas air”
Lalu pada ayat ke-6 dan ke-7 Allah menyebutkan bahwa Al Qur’an itu dibacakan (oleh Jibril) kepada Nabi saw dan Nabi saw tidak akan lupa atas bacaan tersebut, kecuali kalau Allah menghendaki (kelupaan) itu, karena Allah yang mengetahui segala yang terang (jahar) dan yang tersembunyi (yakhfa).
Pada satu riwayat dikemukakan bahwa apabila Jibril datang membawa wahyu kepada Nabi saw, beliau mengulang kembali wahyu itu sebelum Jibril selesai menyampaikannya (membacakannya) karena beliau saw takut lupa lagi. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai jaminan bahwa Rasulullah saw tidak akan lupa pada wahyu yang telah diturunkan kepadanya .(Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Didalam sanadnya terdapat Juwaibir yang lemah daya ingatnya)
Kemudian pada ayat ke-8, Allah menyebutkan bahwa Dia akan memberikan taufik ke jalan yang mudah. Jalan yang mudah diartikan oleh para ahli tafsir sebagai jalan yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.
Setelah nama Allah yang Maha Tinggi disucikan, petunjuk berupa wahyu (Al Qur`an) telah diturunkan, dan taufik telah dianugerahkan, maka pada ayat ke-9 Allah memerintahkan manusia untuk memberikan peringatan kepada manusia yang lainnya. Tentang isi peringatan itu Allah telah menjelaskan pada wahyu sebelumnya yaitu Surat Thahaa (20) ayat 99 dan al Anbiyaa’ (21) ayat 24, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai peringatan itu adalah al-Qur`an.
Allah swt berfirman: …dan sesungguhnya telah kami berikan kepadamu dari sisi kami suatu peringatan (al-Qur`aan).” (QS. Thahaa: 99)
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah: “Tunjukkanlah hujjahmu! (al Quran) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku[956].” Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” (QS. al-Anbiyaa’:24)
Kalimat “fadzakkir innafa’atidz dzikraa diartikan sebagai “berilah peringatan karena peringatan itu berguna”, bukan diartikan sebagai “berilah peringatan jika peringatan itu berguna”. Artinya kita jangan berhenti memberi peringatan, karena peringatan itu akan berguna, yaitu jika bukan kepada yang diperingati, pasti untuk yang memperingati. Manfaatnya antara lain sang pemberi peringatan akan mendapatkan ganjaran yang baik dari Allah Azza wa Jalla.
Sebagai pewaris ajaran Nabi saw kita diperintahkan untuk mengajak umat manusia ke jalan yang mudah (lagi benar) dengan petunjuk berupa al Qur`an. Dan para kader da’wah (penyeru) tidak boleh berputus asa dalam memberi peringatan ini, meski hasil yang diperoleh belum memuaskan. Intinya, jangan berhenti mengajak! Bukankah Nabi Nuh a.s. saja berdakwah kepada kaumnya selama “seribu tahun kurang lima puluh” ? (QS. Al-Ankabut:14). Karena itu jangan pernah putus asa dalam mengajak!
Disini kita perlu pula mempelajari dan menggunakan yang baik dalam memberi peringatan agar tepat sasaran dan mencapai tujuan.
Kembali pada Surat al-A’laa, pada ayat ke 10, disebutkan bahwa “orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran” dengan adanya peringatan tersebut.
Lalu pada ayat selanjutnya dinyatakan bahwa “orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya” (menjauhi peringatan/al-Qur`an tersebut—pen).
Disinilah Allah menjelaskan perbedaan antara orang mu’min dan orang kafir, dalam menerima peringatan. Jadi, jika ada diantara orang-orang yang kita seru kepada al-Qur`aan menjauhinya bahkan menolak, itulah orang-orang yang kafir terhadap Allah Azza wa Jalla.
Dua ayat selanjutnya, menjelaskan lebih jauh tentang keadaan orang yang menjauhi peringatan tersebut, yaitu “… akan memasuki api yang besar (neraka)” dan “dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.”
Kemudian pada ayat selanjutnya Allah swt membandingkannya dengan orang yang mau menerima petunjuk, yang Dia sebut sebagai orang yang beruntung karena mau membersihkan dirinya (beriman). Yang cirri-cirinya dijelaskan Allah swt pada ayat ke-15 yaitu “dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.”
Ayat ini disambungkan dengan kalimat.”Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” (QS.20:16). Padahal “kehidupan akhirat (surga—pen) adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Kemudian surat Al-A’laa ini ditutup dengan dua ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.” Lalu disambungkan dengan: “(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa“. Ayat ini menyatakan bahwa sesungguhnya peringatan atau ayat-ayat yang tercantum dalam al-Qur’an itu (khususnya dalam surat al A’laa tersebut) telah disampaikan juga oleh Nabi Ibrahim dan Musa a.s. kepada kaumnya dan termaktub dalam kitab-kitabnya. Hal ini dinyatakan Allah sebagai hujjah terhadap orang kafir. Wallahu ta’ala A’lam bishawab.
- See more at: http://ikadijatim.org/tadabbur-qs-al-alaa/#sthash.XMrsU5m2.dpuf

Tadabbur QS Al-A’laa

Ditulis oleh • Jun 28th, 2010 • Kategori: Kajian Al-Qur'an
(1) Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi, (2) Yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), (3) Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, (4) Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, (5) Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman. (6) Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa, (7) Kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. (8) Dan kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah. (9) Oleh sebab itu berikanlah peringatan Karena peringatan itu bermanfaat, (10) Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, (11) Dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya, (12) (yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). (13) Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. (14) Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), (15) Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. (16) Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. (17) Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (18) Sesungguhnya Ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (19) (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa. (QS Al-A’la: 1-19)
Surat ini terdiri atas 19 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah (yang diturunkan di Mekkah) dan diturunkan sesudah surat At-Takwiir. Nama Al-A’laa diambil dari kata “al-A’laa” yang terdapat pada ayat pertama, yang artinya “Maha Tinggi”. Dalam riwayat-riwayat hadis, surat ini juga disebut sebagai surat “Sabbih/sabbaha” (Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah).
Fadhilah Surat Ini
Menurut Imam Muslim dalam kitab Al Jumu’ah, dan diriwiyatkan juga oleh Ashhaabul Sunan, surat ini biasa dibaca oleh Rasulullah saw. pada shalat dua hari raya (Fitri dan Adha) dan hari Jum’at.
“Dari Nu’man Ibnu Basyir bahwa Rasulullah saw pada shalat dua hari raya dan shalat Jum’at membaca surat Al A’laa pada rakaat pertama dan surat Al Ghaasyiyah pada rakaat kedua.”
Imam Ahmad dalam kitab Musnad juga meriwayatkan hadits dari Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu anha beliau berkata “Adalah Rasulullah saw membaca sabbihismarabbikal a’laa pada rakaat pertama shalal witir, kemudian pada rakaat kedua dan ketiga beliau membaca Al-Kafirun dan Al-Ikhlas.
Kandungan Surat Ini
Surat Al-A’laa berisi keterangan asal-usul dan tujuan penciptaan manusia, adanya surga dan neraka, dan perintah untuk menyampaikan peringatan kepada manusia. Menurut Sayyid Sabiq, surat ini biasa dibacakan oleh Rasulullah pada pagi hari, dimana pada waktu itu manusia masih dalam kondisi yang sempurna, telah beristirahat dan pikiran masih jernih – belum tercemari hal-hal duniawi, sehingga ayat-ayat didalam surat ini mudah dicerna dan dihayati.
Surat ini diawali dengan perintah untuk bertasbih, menyucikan dan meninggikan nama Allah. Kata “sabbih” atau “sucikanlah” adalah kata perintah, yaitu perintah untuk menyebut nama Allah (bertasbih) sebagai satu-satunya Dzat yang harus ditinggikan dan diagungkan diatas nama-nama atau hal-hal yang lain.
Kemudian Rasulullah saw memerintahkan kepada sahabatnya untuk menjadikannya sebagai bacaan sujud, seperti sabda beliau: “Jadikanlah ia sebagai bacaan pada sujud kalian” (HR.Abu Daud dan Ibnu Majah). Lalu Rasulullah saw mencontohkan bacaan sujud tersebut, yaitu: “Subhana Rabbiyal A’laa.”
Pada ayat ke-2, Allah menyebutkan bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menyempurnakan ciptaan-Nya. Allah adalah Sang Pencipta.
Kemudian pada ayat ke-3, Allah menyebutkan bahwa ciptaanNya itu telah ditentukan kadarnya masing-masing, dan Allah telah memberi petunjuk. Para mufassirin mengartikan kadar itu sebagai batas waktu atau umur ciptaan-Nya. Sementara petunjuk yang dimaksud adalah al Qur’an.
Pada ayat ke-4 dan ke-5,Allah menyebutkan tentang penciptaan alam yaitu siklus hidup rumput, sebagai penjelasan tentang apa yang disebutkan diatas bahwa Allah yang telah menentukan kadar ciptaan-Nya. Artinya Allah-lah yang mengadakan dan memusnahkan ciptaanNya.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Amr bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menentukan segala sesuatu sebelum Allah menciptakan langit dan bumi lima puluh ribu tahun, dan Arsy-Nya diatas air”
Lalu pada ayat ke-6 dan ke-7 Allah menyebutkan bahwa Al Qur’an itu dibacakan (oleh Jibril) kepada Nabi saw dan Nabi saw tidak akan lupa atas bacaan tersebut, kecuali kalau Allah menghendaki (kelupaan) itu, karena Allah yang mengetahui segala yang terang (jahar) dan yang tersembunyi (yakhfa).
Pada satu riwayat dikemukakan bahwa apabila Jibril datang membawa wahyu kepada Nabi saw, beliau mengulang kembali wahyu itu sebelum Jibril selesai menyampaikannya (membacakannya) karena beliau saw takut lupa lagi. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai jaminan bahwa Rasulullah saw tidak akan lupa pada wahyu yang telah diturunkan kepadanya .(Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Didalam sanadnya terdapat Juwaibir yang lemah daya ingatnya)
Kemudian pada ayat ke-8, Allah menyebutkan bahwa Dia akan memberikan taufik ke jalan yang mudah. Jalan yang mudah diartikan oleh para ahli tafsir sebagai jalan yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.
Setelah nama Allah yang Maha Tinggi disucikan, petunjuk berupa wahyu (Al Qur`an) telah diturunkan, dan taufik telah dianugerahkan, maka pada ayat ke-9 Allah memerintahkan manusia untuk memberikan peringatan kepada manusia yang lainnya. Tentang isi peringatan itu Allah telah menjelaskan pada wahyu sebelumnya yaitu Surat Thahaa (20) ayat 99 dan al Anbiyaa’ (21) ayat 24, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai peringatan itu adalah al-Qur`an.
Allah swt berfirman: …dan sesungguhnya telah kami berikan kepadamu dari sisi kami suatu peringatan (al-Qur`aan).” (QS. Thahaa: 99)
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah: “Tunjukkanlah hujjahmu! (al Quran) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku[956].” Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” (QS. al-Anbiyaa’:24)
Kalimat “fadzakkir innafa’atidz dzikraa diartikan sebagai “berilah peringatan karena peringatan itu berguna”, bukan diartikan sebagai “berilah peringatan jika peringatan itu berguna”. Artinya kita jangan berhenti memberi peringatan, karena peringatan itu akan berguna, yaitu jika bukan kepada yang diperingati, pasti untuk yang memperingati. Manfaatnya antara lain sang pemberi peringatan akan mendapatkan ganjaran yang baik dari Allah Azza wa Jalla.
Sebagai pewaris ajaran Nabi saw kita diperintahkan untuk mengajak umat manusia ke jalan yang mudah (lagi benar) dengan petunjuk berupa al Qur`an. Dan para kader da’wah (penyeru) tidak boleh berputus asa dalam memberi peringatan ini, meski hasil yang diperoleh belum memuaskan. Intinya, jangan berhenti mengajak! Bukankah Nabi Nuh a.s. saja berdakwah kepada kaumnya selama “seribu tahun kurang lima puluh” ? (QS. Al-Ankabut:14). Karena itu jangan pernah putus asa dalam mengajak!
Disini kita perlu pula mempelajari dan menggunakan yang baik dalam memberi peringatan agar tepat sasaran dan mencapai tujuan.
Kembali pada Surat al-A’laa, pada ayat ke 10, disebutkan bahwa “orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran” dengan adanya peringatan tersebut.
Lalu pada ayat selanjutnya dinyatakan bahwa “orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya” (menjauhi peringatan/al-Qur`an tersebut—pen).
Disinilah Allah menjelaskan perbedaan antara orang mu’min dan orang kafir, dalam menerima peringatan. Jadi, jika ada diantara orang-orang yang kita seru kepada al-Qur`aan menjauhinya bahkan menolak, itulah orang-orang yang kafir terhadap Allah Azza wa Jalla.
Dua ayat selanjutnya, menjelaskan lebih jauh tentang keadaan orang yang menjauhi peringatan tersebut, yaitu “… akan memasuki api yang besar (neraka)” dan “dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.”
Kemudian pada ayat selanjutnya Allah swt membandingkannya dengan orang yang mau menerima petunjuk, yang Dia sebut sebagai orang yang beruntung karena mau membersihkan dirinya (beriman). Yang cirri-cirinya dijelaskan Allah swt pada ayat ke-15 yaitu “dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.”
Ayat ini disambungkan dengan kalimat.”Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” (QS.20:16). Padahal “kehidupan akhirat (surga—pen) adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Kemudian surat Al-A’laa ini ditutup dengan dua ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.” Lalu disambungkan dengan: “(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa“. Ayat ini menyatakan bahwa sesungguhnya peringatan atau ayat-ayat yang tercantum dalam al-Qur’an itu (khususnya dalam surat al A’laa tersebut) telah disampaikan juga oleh Nabi Ibrahim dan Musa a.s. kepada kaumnya dan termaktub dalam kitab-kitabnya. Hal ini dinyatakan Allah sebagai hujjah terhadap orang kafir. Wallahu ta’ala A’lam bishawab.
- See more at: http://ikadijatim.org/tadabbur-qs-al-alaa/#sthash.XMrsU5m2.dpuf

Tadabbur QS Al-A’laa

Ditulis oleh • Jun 28th, 2010 • Kategori: Kajian Al-Qur'an
(1) Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi, (2) Yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), (3) Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, (4) Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, (5) Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman. (6) Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa, (7) Kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. (8) Dan kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah. (9) Oleh sebab itu berikanlah peringatan Karena peringatan itu bermanfaat, (10) Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, (11) Dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya, (12) (yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). (13) Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. (14) Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), (15) Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. (16) Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. (17) Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (18) Sesungguhnya Ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (19) (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa. (QS Al-A’la: 1-19)
Surat ini terdiri atas 19 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah (yang diturunkan di Mekkah) dan diturunkan sesudah surat At-Takwiir. Nama Al-A’laa diambil dari kata “al-A’laa” yang terdapat pada ayat pertama, yang artinya “Maha Tinggi”. Dalam riwayat-riwayat hadis, surat ini juga disebut sebagai surat “Sabbih/sabbaha” (Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah).
Fadhilah Surat Ini
Menurut Imam Muslim dalam kitab Al Jumu’ah, dan diriwiyatkan juga oleh Ashhaabul Sunan, surat ini biasa dibaca oleh Rasulullah saw. pada shalat dua hari raya (Fitri dan Adha) dan hari Jum’at.
“Dari Nu’man Ibnu Basyir bahwa Rasulullah saw pada shalat dua hari raya dan shalat Jum’at membaca surat Al A’laa pada rakaat pertama dan surat Al Ghaasyiyah pada rakaat kedua.”
Imam Ahmad dalam kitab Musnad juga meriwayatkan hadits dari Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu anha beliau berkata “Adalah Rasulullah saw membaca sabbihismarabbikal a’laa pada rakaat pertama shalal witir, kemudian pada rakaat kedua dan ketiga beliau membaca Al-Kafirun dan Al-Ikhlas.
Kandungan Surat Ini
Surat Al-A’laa berisi keterangan asal-usul dan tujuan penciptaan manusia, adanya surga dan neraka, dan perintah untuk menyampaikan peringatan kepada manusia. Menurut Sayyid Sabiq, surat ini biasa dibacakan oleh Rasulullah pada pagi hari, dimana pada waktu itu manusia masih dalam kondisi yang sempurna, telah beristirahat dan pikiran masih jernih – belum tercemari hal-hal duniawi, sehingga ayat-ayat didalam surat ini mudah dicerna dan dihayati.
Surat ini diawali dengan perintah untuk bertasbih, menyucikan dan meninggikan nama Allah. Kata “sabbih” atau “sucikanlah” adalah kata perintah, yaitu perintah untuk menyebut nama Allah (bertasbih) sebagai satu-satunya Dzat yang harus ditinggikan dan diagungkan diatas nama-nama atau hal-hal yang lain.
Kemudian Rasulullah saw memerintahkan kepada sahabatnya untuk menjadikannya sebagai bacaan sujud, seperti sabda beliau: “Jadikanlah ia sebagai bacaan pada sujud kalian” (HR.Abu Daud dan Ibnu Majah). Lalu Rasulullah saw mencontohkan bacaan sujud tersebut, yaitu: “Subhana Rabbiyal A’laa.”
Pada ayat ke-2, Allah menyebutkan bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menyempurnakan ciptaan-Nya. Allah adalah Sang Pencipta.
Kemudian pada ayat ke-3, Allah menyebutkan bahwa ciptaanNya itu telah ditentukan kadarnya masing-masing, dan Allah telah memberi petunjuk. Para mufassirin mengartikan kadar itu sebagai batas waktu atau umur ciptaan-Nya. Sementara petunjuk yang dimaksud adalah al Qur’an.
Pada ayat ke-4 dan ke-5,Allah menyebutkan tentang penciptaan alam yaitu siklus hidup rumput, sebagai penjelasan tentang apa yang disebutkan diatas bahwa Allah yang telah menentukan kadar ciptaan-Nya. Artinya Allah-lah yang mengadakan dan memusnahkan ciptaanNya.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Amr bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menentukan segala sesuatu sebelum Allah menciptakan langit dan bumi lima puluh ribu tahun, dan Arsy-Nya diatas air”
Lalu pada ayat ke-6 dan ke-7 Allah menyebutkan bahwa Al Qur’an itu dibacakan (oleh Jibril) kepada Nabi saw dan Nabi saw tidak akan lupa atas bacaan tersebut, kecuali kalau Allah menghendaki (kelupaan) itu, karena Allah yang mengetahui segala yang terang (jahar) dan yang tersembunyi (yakhfa).
Pada satu riwayat dikemukakan bahwa apabila Jibril datang membawa wahyu kepada Nabi saw, beliau mengulang kembali wahyu itu sebelum Jibril selesai menyampaikannya (membacakannya) karena beliau saw takut lupa lagi. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai jaminan bahwa Rasulullah saw tidak akan lupa pada wahyu yang telah diturunkan kepadanya .(Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Didalam sanadnya terdapat Juwaibir yang lemah daya ingatnya)
Kemudian pada ayat ke-8, Allah menyebutkan bahwa Dia akan memberikan taufik ke jalan yang mudah. Jalan yang mudah diartikan oleh para ahli tafsir sebagai jalan yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.
Setelah nama Allah yang Maha Tinggi disucikan, petunjuk berupa wahyu (Al Qur`an) telah diturunkan, dan taufik telah dianugerahkan, maka pada ayat ke-9 Allah memerintahkan manusia untuk memberikan peringatan kepada manusia yang lainnya. Tentang isi peringatan itu Allah telah menjelaskan pada wahyu sebelumnya yaitu Surat Thahaa (20) ayat 99 dan al Anbiyaa’ (21) ayat 24, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai peringatan itu adalah al-Qur`an.
Allah swt berfirman: …dan sesungguhnya telah kami berikan kepadamu dari sisi kami suatu peringatan (al-Qur`aan).” (QS. Thahaa: 99)
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah: “Tunjukkanlah hujjahmu! (al Quran) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku[956].” Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” (QS. al-Anbiyaa’:24)
Kalimat “fadzakkir innafa’atidz dzikraa diartikan sebagai “berilah peringatan karena peringatan itu berguna”, bukan diartikan sebagai “berilah peringatan jika peringatan itu berguna”. Artinya kita jangan berhenti memberi peringatan, karena peringatan itu akan berguna, yaitu jika bukan kepada yang diperingati, pasti untuk yang memperingati. Manfaatnya antara lain sang pemberi peringatan akan mendapatkan ganjaran yang baik dari Allah Azza wa Jalla.
Sebagai pewaris ajaran Nabi saw kita diperintahkan untuk mengajak umat manusia ke jalan yang mudah (lagi benar) dengan petunjuk berupa al Qur`an. Dan para kader da’wah (penyeru) tidak boleh berputus asa dalam memberi peringatan ini, meski hasil yang diperoleh belum memuaskan. Intinya, jangan berhenti mengajak! Bukankah Nabi Nuh a.s. saja berdakwah kepada kaumnya selama “seribu tahun kurang lima puluh” ? (QS. Al-Ankabut:14). Karena itu jangan pernah putus asa dalam mengajak!
Disini kita perlu pula mempelajari dan menggunakan yang baik dalam memberi peringatan agar tepat sasaran dan mencapai tujuan.
Kembali pada Surat al-A’laa, pada ayat ke 10, disebutkan bahwa “orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran” dengan adanya peringatan tersebut.
Lalu pada ayat selanjutnya dinyatakan bahwa “orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya” (menjauhi peringatan/al-Qur`an tersebut—pen).
Disinilah Allah menjelaskan perbedaan antara orang mu’min dan orang kafir, dalam menerima peringatan. Jadi, jika ada diantara orang-orang yang kita seru kepada al-Qur`aan menjauhinya bahkan menolak, itulah orang-orang yang kafir terhadap Allah Azza wa Jalla.
Dua ayat selanjutnya, menjelaskan lebih jauh tentang keadaan orang yang menjauhi peringatan tersebut, yaitu “… akan memasuki api yang besar (neraka)” dan “dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.”
Kemudian pada ayat selanjutnya Allah swt membandingkannya dengan orang yang mau menerima petunjuk, yang Dia sebut sebagai orang yang beruntung karena mau membersihkan dirinya (beriman). Yang cirri-cirinya dijelaskan Allah swt pada ayat ke-15 yaitu “dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.”
Ayat ini disambungkan dengan kalimat.”Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” (QS.20:16). Padahal “kehidupan akhirat (surga—pen) adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Kemudian surat Al-A’laa ini ditutup dengan dua ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.” Lalu disambungkan dengan: “(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa“. Ayat ini menyatakan bahwa sesungguhnya peringatan atau ayat-ayat yang tercantum dalam al-Qur’an itu (khususnya dalam surat al A’laa tersebut) telah disampaikan juga oleh Nabi Ibrahim dan Musa a.s. kepada kaumnya dan termaktub dalam kitab-kitabnya. Hal ini dinyatakan Allah sebagai hujjah terhadap orang kafir. Wallahu ta’ala A’lam bishawab.
- See more at: http://ikadijatim.org/tadabbur-qs-al-alaa/#sthash.XMrsU5m2.dpuf