Bismillahirrohmanirrohim
Surat ini dimulai dengan pertanyaan yang mengisyaratkan dan
mengesankan besar dan agungnya hakikat yang mereka perselisihkan. Yaitu,
persoalan besar yang tidak ada keraguan padanya dan tidak ada syubhat.
Pertanyaan ini diakhiri dengan mengemukakan ancaman kepada mereka
terhadap hari yang kelak akan mereka ketahui hakikatnya,
‘Tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang berita yang
besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidal kelak
mereka akan mengetahui. Kemudian sekali-kali tidal kelak mereka akan
mengetahui. ” (An Naba’: 1-5)
Dari sana kemudian segmen berikutnya beralih dari makna pembicaraan
itu, dari berita ini, dan dibiarkannya ia hingga waktunya kemudian
dibawanya mereka beralih kepada sesuatu yang terjadi di hadapan mereka
dan di sekitar mereka, mengenai diri mereka sendiri dan alam semesta
yang padanya terdapat persoalan yang besar juga. Alam itu menunjukkan
sesuatu yang ada di baliknya dan mengisyaratkan kepada apa yang akan
dibacanya,
Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan,
gunung-gunung sebagai pasak, Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, Kami
jadikan tidurmu untuk istirahat, Kami jadikan malam sebagai pakaian,
Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, Kami bangun atas kamu
tujuh buah (langit) yang kokoh, Kami jadikan pelita yang amat terang
(matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya
Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan
kebun-kebun yang lebat?” (An Naba’: 6-16)
Dari kumpulan hakikat-hakikat, pemandangan-pemandangan,
lukisan-lukisan, dan kesan-kesan ini mereka dibawa kembali kepada berita
besar yang mereka perselisihkan dan yang diancamkan kepada mereka pada
hari mereka mengetahuinya, untuk dikatakan kepada mereka apakah ia dan
bagaimana terjadi.
‘Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan,
yaitu hari ( yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang
berkelompok-kelompok. Dibukakan langit, maka terdapatlah beberapa pintu;
dan Dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamorganalah ia.” (An Naba’: 17-20)
Kemudian dibentangkan lah pemandangan azab dengan segala kekuatan dan kekerasan nya,
‘Sesungguhnya neraka, jahanam itu (padanya) ada tempat pengintai,
lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas.
Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. Mereka tidak merasakan
kesejukan di dalamnya dan (tidak pula) mendapat minuman selain air yang
mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal. Sesungguhnya
mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami
dengan sesungguh-sungguhnya. Segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu
kitab. Karena itu, rasakanlah. Kami sekali-kali tidak akan menambah
kepada kamu selain dari azab.”(An Naba’: 21-30)
Kemudian ditunjukkan pula pemandangan nikmat yang memancar demikian derasnya,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan,
(yaitu) kebun-kebun, buah anggur, gadis-gadis remaja yang sebaya, dan
gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak
mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan) dusta.
Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak.” (An Naba’: 31-36)
Kemudian surat ini ditutup dengan memberikan kesan yang luhur
mengenai hakikat hari itu di dalam pemandangan yang ditampakkan padanya.
Juga dengan memberikan peringatan kepada manusia sebelum datangnya hari
yang padanya terdapat pemandangan yang agung ini,
‘Tuhan yang Memelihara langit dan bumi serta apa yang ada di
antara keduanya, yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan
Dia. Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf,
mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin
kepadanya oleh Tuhan yang Maha Pemurah, dan ia mengucapkan kata yang
benar. Itulah hari yang pasti terjadi. Karena itu, barangsiapa yang
menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.
Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir)
dengan siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah
diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, Alangkah
baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah. “‘ (An Naba’: 37-40)
Itulah berita besar yang mereka pertanyakan. Itulah berita besar yang kelak akan mereka ketahui.
Berita Besar
“Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidal kelak mereka akan mengetahui. Kemudian sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui. ” (An Naba’: 1-5)
Inilah bagian permulaan yang mengandung pertanyaan bernada ingkar
terhadap persoalan yang mereka pertanyakan dan mengandung keheranan
mengapa persoalan seperti itu mereka pertanyakan. Mereka mempertanyakan
hari kebangkitan dan berita tentang kiamat. Inilah persoalan yang mereka
perdebatkan dengan sengit, dan hampir-hampir mereka tidak pernah
membayangkan terjadinya, padahal inilah yang paling utama mereka
lakukan.
‘Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya ? ” (An Naba’: 1)
Persoalan apakah yang mereka perbincangkan? Kemudian dijawab.
Pertanyaan itu tidak dimaksudkan untuk mengetahui jawabannya dari
mereka, tetapi hanya untuk menunjukkan keheranan terhadap keadaan mereka
dan untuk mengarahkan perhatian terhadap keganjilan pertanyaan mereka.
Diungkaplah persoalan yang mereka pertanyakan dan dijelaskanlah hakikat
dan tabiatnya,
‘Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini.” (An Naba’: 2-3)
Tidak disebutkan batas tentang sesuatu yang mereka pertanyakan itu
dengan menyebutkan wujudnya, melainkan hanya disebutkan sifatnya saja.
Penyebutan sifatnya ini untuk menyampaikan berita yang besar dengan
menunjukkan ketakjuban. Juga untuk mengagungkan dan menunjukkan
perbedaan sikap terhadap hari itu antara orang-orang yang mengimaninya
dan orang-orang yang tidak mempercayai terjadinya. Adapun yang
mempertanyakannya hanyalah mereka saja. Kemudian tidak diberikan jawaban
tentang apa yang mereka pertanyakan itu. Tidak dipaparkan pula hakikat
sesuatu yang mereka pertanyakan itu, melainkan dibiarkan dengan
sifatnya saja yang besar. Kemudian pembicaraan beralih kepada ancaman
yang ditujukan kepada mereka. Hal ini lebih mengena daripada jawaban
secara langsung, dan lebih mendalam ketakutan yang ditimbulkannya,
“Sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui. Kemudian, sekali-kali tidal kelak mereka akan mengetahui. ” (An Naba’: 4-5)
Lafal “kallaa” sekali-kali tidak!’ diucapkan untuk membentak
dan menghardik. Karena itu, lafal ini sangat tepat dipakai di sini
sesuai dengan bayangan yang perlu disampaikan. Diulangnya lafal ini
beserta kalimatnya adalah untuk mengancam.
Fenomena Alam yang Perlu Diperhatikan
Kemudian, di luar tema berita besar yang mereka perselisihkan itu, di
bawalah mereka untuk melakukan perjalanan yang dekat di alam semesta
yang terlihat ini bersama sejumlah benda-benda yang berwujud,
fenomena-fenomena, hakikat-hakikat, dan pemandangan-pemandangan yang
menggetarkan hati yang mau merenungkannya,
‘Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan, gunung-gunung sebagai pasak, Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, Kami jadikan tidurmu untuk
istirahat, Kami jadikan malam sebagai pakaian, Kami jadikan siang untuk
mencari penghidupan, Kami bangun atas kamu tujuh buah (langit) yang
kokoh, Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami
turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan
dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang
lebat?” (An Naba’: 6-16)
Perjalanan di hamparan alam semesta yang luas dengan lukisan-lukisan
dan pemandangan-pemandangan nya yang besar, dikemas dengan kata-kata dan
kalimat kalimat singkat sehingga, memberikan kesan yang tajam, berat,
dan mengena. Ia seakan akan alat pengetuk yang mengetuk bertalu-talu dengan nada berhenti dan nada putusnya.
Kalimat tanya yang diarahkan kepada lawan bicara, yang menurut ilmu
bahasa menunjukkan penetapan, memang merupakan bentuk kalimat yang
sengaja dibuat demikian. Seakan-akan ia merupakan tangan kuat yang
mengguncangkan orang-orang lalai. Yakni, orang-orang yang mengarahkan
pandangan dan hali mereka kepada himpunan makhluk dan fenomenafenomena
yang mengisyaratkan adanya pengaturan dan penentuan di belakangnya. Juga
mengisyaratkan adanya kekuasaan yang mampu menciptakan dan mengulang
penciptaan itu kembali, dan mengisyaratkan adanya hikmah yang tidak
membiarkan makhluk (manusia) tanpa pertanggungjawaban, tanpa dihisab,
dan tanpa diberi pembalasan. Di sini, bertemulah ia dengan berita besar
yang mereka perselisihkan itu.
Sentuhan pertama dalam perjalanan ini adalah tentang bumi dan gunung-gunung,
‘Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan .dan gunung-gunung sebagai pasak?” (An Naba’: 6-7)
‘Al-mihaad’ berarti dihamparkan untuk tempat berjalan di
atasnya, dan hamparan yang lunak bagaikan buaian. Kedua makna ini
saling berdekatan. Ini adalah hakikat yang dapat dirasakan manusia apa
pun tingkat kebudayaan dan pengetahuannya. Sehingga, tidak memerlukan
pengetahuan yang banyak untuk memahaminya dalam bentuknya yang nyata.
Keberadaan gunung-gunung sebagai pasak bumi ini merupakan sebuah
fenomena yang dapat dilihat oleh mata orang pedalaman sekalipun. Baik
yang ini bumi dengan hamparannya maupun yang itu gunung yang menjadi
pasak bumi) memiliki kesan tersendiri di dalam perasaan apabila jiwa
manusia ter arahkan ke sana untuk merenungkannya. Akan tetapi, hakikat
ini lebih besar dan lebih luas ,jangkauannya daripada apa yang
diperkirakan oleh manusia badui (pedalaman) ketika ia semata-mata
menerima dengan indra nya. Setiap kali meningkat dan bertambah
pengetahuan manusia tentang tabiat dan perkembangannya, maka semakin
besarlah kesannya terhadap ini di dalam jiwanya. Lalu, mengerti lah ia
bahwa di balik itu terdapat kekuasaan Ilahi yang agung dan rencana-Nya
yang halus penuh hikmah. Demikian juga dengan adanya kesesuaian antara
anggota-anggota alam semesta ini dan kebutuhan-kebutuhannya, beserta
disiapkan nya bumi ini untuk menerima kehidupan manusia dan mengaturnya.
Juga disiapkan nya manusia untuk menyelesaikan diri dengan
lingkungannya dan untuk saling mengerti.
Dihamparkan nya bumi bagi kehidupan, dan bagi kehidupan manusia
secara khusus, menjadi saksi tak terbantahkan yang memberikan kesaksian
akan adanya akal yang mengatur di balik alam wujud yang nyata ini.
Karena itu, rusaknya salah satu kerelevanan penciptaan bumi dengan
semua kondisinya, atau rusaknya salah satu kerelevanan penciptaan
kehidupan untuk hidup di bumi, maka kerusakan di sini ataupun di sana
tidak akan menjadikan bumi sebagai hamparan. Juga tidak akan ada lagi
hakikat yang diisyaratkan oleh Al Qur’ an secara global, untuk
dimengerti oleh setiap manusia sesuai dengan tingkat ilmu dan
pengetahuannya.
Dijadikannya gunung sebagai pasak bagi bumi, dapat dimengerti oleh
manusia dari segi bentuknya dengan pandangannya semata-mata, karena ia
lebih mirip dengan pasak-pasak kemah yang diikatkan padanya. Adapun
hakikatnya kita terima dari informasi Al Qur’an. Darinya kita
mengetahui bahwa gunung-gunung itu memantapkan bumi dan menjaga
keseimbangannya. Mungkin karena gunung-gunung itu menyeimbangkan antara
kerendahan lautan dan ketinggian gunung-gunung; menyeimbangkan antara
pengerutan rongga bumi dan pengerutan atapnya; dan menekan bumi pada
titik tertentu hingga ia tidak lenyap dengan adanya gempa bumi, gunung
meletus, dan guncangan-guncangan dalam perutnya. Atau, mungkin karena
ada alasan lain yang belum terungkap hingga kini. Karena, banyak sekali
aturan dan hakikat-hakikat yang tidak
diketahui manusia yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an-Al-Karim, kemudian diketahui sebagiannya oleh manusia setelah beratus-ratus tahun berikutnya!
diketahui manusia yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an-Al-Karim, kemudian diketahui sebagiannya oleh manusia setelah beratus-ratus tahun berikutnya!
Sentuhan kedua adalah mengenai jiwa manusia, dalam beberapa segi dan hakikat yang berbeda-beda, “… Kami jadikan kamu berpasang pasangan…. ” (An Naba’: 8)
Ini juga merupakan satu fenomena yang perlu diperhatikan, yang dapat
diketahui oleh setiap manusia dengan mudah dan sederhana. Allah telah
menjadikan manusia terdiri dari laki-laki dan wanita, dan menjadikan
kehidupan dan pelestarian nya dengan adanya perbedaan jenis kelamin
yang berpasangan dan pertemuan antara kedua jenis kelamin yang berbeda
itu. Setiap orang mengetahui fenomena ini dan merasakan adanya
kegembiraan, kenikmatan, kesenangan, dan kebaruan suasana tanpa
memerlukan ilmu yang banyak. Karena itu, Al Qur’an membicarakan hal ini
kepada manusia di lingkungan manapun ia berada. Sehingga, ia
mengetahuinya dan terkesan olehnya apabila ia mengarahkan pikirannya ke
sana, dan merasakan adanya tujuan, kesesuaian, dan pengaturan padanya.
Di belakang perasaan-perasaan yang bersifat global terhadap nilai
hakikat ini dan kedalamannya, terdapat -pemikiran lain ketika manusia
itu meningkat pengetahuan dan perasaannya. Di sana terdapat pemikiran
tentang kekuasaan yang menjadikan nutfah (mani) itu anak laki-laki dan
nutfah ini anak wanita. Padahal, tidak ada sesuatu yang membedakan
secara jelas di dalam nutfah ini atau itu, yang menjadikannya menempuh
jalannya untuk menjadi anak laki-laki atau anak wanita.
Ya Allah, ini tidak lain kecuali karena adanya iradah kodrat yang
menciptakan dengan rencana yang halus, dan pengarahan yang lembut. Juga
pemberian ciri-ciri khusus yang dikehendaki-Nya pada nutfah ini dan
itu, untuk menciptakan dari keduanya dua insan berpasangan, guna
mengembangkan dan melestarikan kehidupan.
“…Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, Kami jadikan malam sebagai pakaian, Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan….”(An Naba’: 9-11)
Di antara pengaturan Allah terhadap manusia ialah menjadikan tidur
sebagai istirahat dan menghentikan mereka dari berpikir dan
beraktivitas. Dia menjadikan mereka dalam keadaan yang tidak mati dan
tidak pula hidup, untuk mengistirahatkan fisik dan syaraf-syarafnya.
Juga untuk memulihkan tenaga yang dikeluarkannya pada saat jaga,
bekerja, dan sibuk dengan urusan kehidupan. Semua ini terjadi dengan
cara menakjubkan yang manusia tidak mengerti caranya. Tidak ada andil
sedikit pun iradah manusia di dalam hal ini, dan tidak mungkin ia
mengetahui bagaimana hal ini berjalan dengan sempurna sedemikian rupa.
Ketika dalam keadaan jaga pun, ia tidak mengetahui bagaimana cars
kerjanya pada scat tidur. Apalagi dalam keadaan tertidur. Sudah tentu ia
tidak mengetahui keadaan ini dan tidak dapat memperhatikannya.
Ini adalah salah satu rahasia bangunan makhluk hidup yang tidak
diketahui kecuali oleh yang menciptakannya dan meletakkan rahasia itu
padanya, serta menjadikan kehidupannya bergantung atasnya. Maka, tidak
ada seorang pun yang mampu hidup tanpa tidur kecuali dalam waktu yang
sangat terbatas. Kalau ia memaksakan diri dengan menggunakan sarana
luar agar terus berjaga (tidak tidur), maka sudah tentu ia akan binasa.
Di dalam tidur pun terdapat rahasia yang tidak berkaitan dengan
kebutuhan fisik dan saraf yaitu, berhenti nya ruh dari melakukan
pergulatan hidup yang keras. Ketenangan mengunjunginya sehingga ia
meletakkan senjata dan meninggalkan kebunnya, senang ataupun tidak senang. Iamenyerah kepada saat kedamaian yang penuh keamanan, yang dibutuhkan
setiap orang sebagaimana kebutuhannya terhadap makanan dan minuman.
Terjadilah sesuatu yang mirip mukjizat pada saat saat tertentu ketika
rasa kantuk menimpa kelopak mata, ruh merasa berat, saraf-saraf telah
letih, jiwa gelisah, dan hati merasa takut. Kantuk ini yang
kadang-kadang hanya beberapa saat saja seakan akan membuat pembalikan
(perubahan) total bagi keberadaan manusia dan memperbarui bukan hanya
kekuatannya melainkan dirinya, sehingga ia seakan-akan sebagai wujud
baru setelah bangun. Kemukjizatan (keluarbiasaan) ini pernah terjadi
dalam bentuk yang jelas bagi kaum muslimin yang kelelahan dalam Perang
Badar dan Perang Uhud. Allah memberi kenikmatan dan ketenteraman kepada
mereka dengan kantuk ini sebagaimana yang terjadi pada banyak orang
dalam keadaan keadaan yang mirip. Firman Nya,
“(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman dari-Nya. “(Al Anfaal: 11)
‘Kemudian setelah kamu berduka cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kamu.”(Ali Imran: 154)
Maka, istirahat yakni menghentikan berpikir dan beraktivitas dengan
tidur ini merupakan suatu keharusan dari keharusan bangunan kehidupan. Ia
merupakan satu rahasia dari rahasia-rahasia kekuasaan yang mencipta
dan salah satu nikmat dari nikmat-nikmat Allah yang tidak ada seorang
pun yang mampu memberikannya selain Dia. Adapun mengarahkan perhatian
kepadanya sebagaimana yang dicontohkan Al Qur’an ini, mengingatkan dan
menyadarkan hati kepada kekhususan-kekhususan Dzat-Nya. Juga kepada
tangan yang mewujudkan eksistensinya dan menyentuh hati tersebut
dengan sentuhan yang membangkitkannya untuk memikirkan dan merenungkan
serta mengambil kesan darinya.
Di antara pengaturan Allah juga ialah Dia menjadikan gerakan alam
ini selaras dengan gerakan makhluk-makhluk hidup. Sebagaimana Dia
meletakkan pada manusia rahasia tidur dan istirahat sesudah bekerja dan
melakukan aktivitas, maka Dia meletakkan pada alam ini fenomena malam
sebagai pakaian penutup yang menjadikan istirahat dan pengenduran saraf
itu berjalan dengan sempurna. Juga meletakkan fenomena siang untuk
mencari penghidupan, yang dalam waktu siang inilah gerak dan aktivitas
dapat berjalan dengan sempurna.
Dengan demikian, selaras dan serasi lah ciptaan Allah, dan alam ini
pun sangat cocok bagi makhluk hidup dengan segala kekhususan nya.
Makhluk-makhluk hidup itu dibekali dengan susunan yang cocok dengan
gerak dan kebutuhan-kebutuhannya, sesuai dengan kekhususan dan
kesesuaian yang diletakkan pada alam semesta. Semua ini keluar dari
tangan kekuasaan yang mencipta dan mengatur dengan serapi-rapi nya.
Sentuhan ketiga adalah tentang penciptaan langit yang sangat serasi dan sesuai dengan bumi dan makhluk hidup,
‘Kami bangun di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, Kami
jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan
air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu
biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat?”(An Naba’: 12-16)
Tujuh buah langit yang kokoh yang dibangun Allah di atas bumi itu
adalah langit yang tujuh, yaitu tujuh petala langit sebagaimana
disebutkan di tempat lain. Dan, yang dimaksud dengannya dengan
pembatasan ini hanya Allah yang mengetahuinya. Mungkin
yang dimaksudkan adalah tujuh gugusan bintang, yang setiap satu gugusan
nya bisa mencapai ratusan bintang. Ketujuh gugusan inilah yang
mempunyai hubungan dengan bumi dan tata surya kita. Mungkin yang
dimaksudkan bukan ini dan bukan itu. Allah Maha Mengetahui apa yang ada
dalam susunan alam semesta ini, sedangkan yang diketahui oleh manusia
hanya sedikit.
Sesungguhnya ayat ini hanya mengisyaratkan bahwa tujuh buah langit
yang kokoh itu sangat kokoh dan kuat bangunannya, yang tidak mungkin
retak dan berantakan. Inilah yang kita lihat dan kita ketahui dari
tabiat tata surya dan benda-benda angkasa yang biasa kita sebut dengan
langit, yang dapat diketahui oleh setiap orang. Di samping itu, ayat ini
juga mengisyaratkan bahwa bangunan wajah langit yang kokoh itu serasi
dengan planet bumi dan manusia. Karena itulah, ia disebutkan di dalam
membicarakan pengaturan Allah dan penentuan Nya terhadap kehidupan
bumi dan manusia, yang ditunjuki oleh ayat sesudahnya, ‘Kami jadikan pelita yang amat terang.”(An Naba’:13), yaitu,
matahari yang bersinar terang benderang yang menimbulkan rasa panas
untuk hidupnya bumi dan makhluk-makhluk hidup di atasnya. Juga
menimbulkan pengaruh bagi terbentuknya awan yang membawa uap air dari
lautan yang luas di bumi dan menyalaminya ke lapisan lapisan udara yang
sangat tinggi. Itulah Al mu’shirat ‘awan’ sebagaimana disebutkan dalam ayat,
“… dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.”(An Naba’: 14)
Ketika ia diperas, lalu turun dan berjatuhan yang berupa air.
Siapakah yang memerasnya? Mungkin angin atau kehampaan aliran listrik
pada beberapa tingkatan udara. Di balik semua itu terdapat tangan
kekuasaan yang menimbulkan pengaruh-pengaruh pada alam semesta. Pada
pelita terdapat penyalaan, panas dan cahaya, yang semuanya terdapat pada
matahari. Karena itu, dipilihnya kata “siraj” ‘pelita’ di sini
merupakan pilihan yang sangat cermat dan jeli. Dari pelita yang amat
terang dengan segala cahaya terang dan panasnya, dan dari awan dengan
air yang diperas darinya hingga banyak tercurah, tumbuhlah biji-bijian
dan tumbuh-tumbuhan untuk dimakan, kebun-kebun yang lebat, serta
pohon-pohon yang rimbun dan bercabang-cabang.
Keserasian dan keselarasan di alam ini tidak mungkin terjadi kecuali
di baliknya ada tangan yang mengaturnya, ada kebijaksanaan yang
menentukannya, dan ada iradah yang menatanya. Hal ini dapat diketahui
oleh setiap insan dengan hati dan perasaannya ketika perasaannya
diarahkan ke sana. Apabila ilmu dan pengetahuannya meningkat, maka akan
terkuak lah keserasian dan kerapian ini sedemikian luas dengan
tingkatan-tingkatannya yang menjadikan akal dan pikiran kebingungan dan
terkagum-kagum. Juga menjadikan pendapat yang mengatakannya sebagai
kebetulan adalah pendapat yang tidak berbobot dan tidak perlu
ditanggapi, sebagaimana sikap orang yang tidak mau menghiraukan adanya
tujuan dan pengaturan pada alam ini hanyalah sikap keras kepala yang
tidak perlu dihormati.
Alam ini ada penciptanya. Di belakang alam ini, terdapat penataan,
penentuan, dan pengaturan. Hakikat-hakikat dan pemandangan-pemandangan
ini disebutkan secara beruntun di dalam nash Al Qur’an dengan urutan
seperti ini. Yaitu, dijadikannya bumi sebagai hamparan, gunung sebagai
pasak bagi bumi, manusia berpasang-pasangan, tidur mereka sebagai
istirahat (sesudah bergerak, berpikir, dan melakukan aktivitas), malam
sebagai pakaian untuk menutup dan menyelimuti, dan siang untuk mencari
penghidupan, berpikir, dan beraktivitas. Kemudian dibangunnya rajah
langit yang kokoh, dijadikannya pelita yang amat terang (matahari), dan
diturunkannya air yang tercurah dari awan untuk menumbuhkan
biji-bijian, tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun.
Keberuntungan hakikat-hakikat dan pemandangan-pemandangan yang
seperti ini mengesankan adanya pengaturan yang cermat, mengisyaratkan
adanya pengaturan dan penentuan, dan mengesankan adanya Sang Maha
Pencipta yang Maha Bijaksana lagi Maha Kuasa. Disentuhnya hali dengan
sentuhan-sentuhan yang mengesankan dan mengisyaratkan adanya maksud dan
tujuan di belakang kehidupan ini. Dari sini, bertemulah konteks ini
dengan berita besar yang mereka perselisihkan itu!
Hari Perhitungan dan Pembalasan
Semua itu adalah agar manusia bisa berbuat dan bersenang-senang, dan
di belakangnya terdapat perhitungan dan pembalasan. Hari keputusan itu
sudah ditentukan waktunya,
‘Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan, yaitu hari ( yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok. Dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu; dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamorganalah ia.” (An Naba’: 17-20)
Sesungguhnya manusia tidak diciptakan dengan sia-sia dan tidak
dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. Dzat yang telah menentukan
kehidupan mereka dengan ketentuan sebagaimana telah disebutkan di muka
dan menyerasikan kehidupan mereka dengan alam tempat hidup mereka, tidak
mungkin membiarkan mereka hidup tiada guna dan mati dengan sia-sia,
membiarkan mereka berbuat kebaikan atau kerusakan di bumi, lantas mereka
pergi ke dalam tanah dengan sia-sia begitu saja. Tidak mungkin Dia
membiarkan mereka mengikuti petunjuk jalan yang lurus dalam kehidupan
atau mengikuti jalan yang sesat, lantas semuanya dipertemukan dalam satu
tempat kembali. Tidak mungkin mereka berbuat adil dan berbuat zhalim,
lantas keadilan atau kezhaliman itu berlalu begitu saja tanpa
mendapatkan pembalasan.
Sungguh di sana akan ada suatu hari untuk memberikan ketetapan,
membedakan (antara yang benar dan yang salah, yang adil dan yang zhalim,
yang baik dan yang buruk), dan memberi keputusan terhadap segala
sesuatu. Yaitu, hari yang sudah ditentukan dan ditetapkan waktunya oleh
Allah,
“Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan. ” (An Naba’: 17)
Yaitu, hari yang ketika itu tatanan alam semesta sudah terbalik,
ikatan-ikatan peraturannya sudah berantakan dan tidak berlaku lagi.
“Yaitu, hari ( yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok. ” (An Naba’: 18)
Ash-shuur artinya ‘sangkakala’. Kita tidak mengetahui nama
lain selain itu. Kita tidak mengetahui kecuali akan ditiup. Kita tidak
perlu menyibukkan diri untuk memikirkan bagaimana caranya. Karena,
memikirkan cara peniupan nya itu tidak akan menambah keimanan kita dan
tidak ada pengaruhnya terhadap peristiwa itu. Allah telah memelihara
potensi kita agar tidak kita gunakan secara sewenang-wenang untuk
membicarakan apa yang ada di balik perkara gaib yang tersembunyi ini.
Dia telah memberikan kepada kita ukuran tertentu yang bermanfaat bagi
kita, sehingga kita tidak menambah-nambahnya. Kita hanya membayangkan
tiupan sangkakala yang membangkitkan dan mengumpulkan manusia untuk
datang berkelompok-kelompok. Kita bayangkan pemandangan ini dan
manusia-manusia yang telah hilang jati diri dan sosoknya dari generasi
demi generasi, dan meninggalkan permukaan bumi untuk ditempati oleh
orang-orang yang datang sesudahnya agar tidak menjadi sempit bagi mereka
permukaan bumi yang terbatas ini.
Kita bayangkan pemandangan yang berupa manusia secara keseluruhan
(sejak manusia pertama hingga manusia terakhir) bangun dan berdiri, lalu
datang berbondong-bondong dari setiap lembah menuju ke tempat mereka
dikumpulkan. Kita bayangkan kubur-kubur yang berserakan dan
manusia-manusia yang bangun darinya. Kita bayangkan semuanya berkumpul
menjadi satu dan ketika itu yang pertama tidak mengenal yang
belakangan. Kita bayangkan ketakutan yang ditimbulkan oleh berkumpulnya
manusia sedemikian rupa yang tidak pernah terjadi semua manusia
berkumpul dalam satu waktu seperti yang terjadi pada hari ini. Di mana?
Kita tidak tahu. Karena, di alam yang kita ketahui pernah terjadi
berbagai peristiwa dan hal-hal menakutkan yang bersifat fisik itu,
telah terjadi perubahan luar biasa,
‘Dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu; dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamorganalah ia.” (An Naba’: 19-20)
Langit yang dibangun dengan kokoh, dibuka lalu terdapat beberapa pintu. Ia
pecah terbelah, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat dan surat
lain. Langit berubah keadaannya dengan keadaan yang belum pernah kita
alami selama ini. Sedangkan, gunung-gunung yang menjadi pasak bumi
dijalankan sehingga menjadi fatamorgana. Ia dihancur-lebur kan,
berantakan, dan berhamburan ke udara, digerakkan oleh angin, sebagaimana
disebutkan dalam ayat-ayat dan surat-surat lain. Karena itu, ia tidak
ada wujudnya lagi bagaikan fatamorgana, atau ia yang telah menjadi debu
itu diterpa cahaya sehingga menjadi seperti fatamorgana. Sungguh
menakutkan dan mengerikan terjadinya ke-amburadul-an alam yang dapat
dipandang mata itu, sebagaimana menakutkan nya ketika manusia
dikumpulkan setelah ditiup nya sangkakala. Inilah hari keputusan yang
sudah ditentukan bakal terjadinya itu, dengan hikmah dan rencana Allah.
Neraka Jahannam dan Penghuninya
Ayat-ayat berikutnya melanjutkan perjalanan ke belakang peniupan
sangkakala dan pengumpulan manusia di padang mahsyar. Maka, dilukiskan
lah tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas dan orang-orang
yang bertaqwa. Pembahasan dimulai dengan membicarakan kelompok pertama
yang mendustakan dan mempertanyakan berita yang besar itu,
Sesungguhnya neraka jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang
yang melampaui batas. Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya.
Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat)
minuman, selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang
setimpal. Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka
mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya. Segala sesuatu
telah Kami catat dalam suatu kitab. Karena itu, rasakanlah. Kami
sekali-kali tidak akan menambah kepadamu selain azab. “( An Naba’: 21-30)
Sesungguhnya neraka Jahannam itu sudah diciptakan, sudah ada, dan
padanya ada tempat pengintai bagi orang-orang yang melampaui batas. Ia
menunggu dan menantikan mereka yang akan sampai juga ke sana, karena ia
memang disediakan dan disiapkan untuk menyambut mereka. Seakan-akan
mereka melakukan perjalanan (tour) di bumi, kemudian mereka kembali ke
tempat asalnya. Mereka datang ke tempat kembalinya ini untuk menetap di
sini dalam masa yang amat panjang, berabad-abad, ‘Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman.”(An Naba’: 24)
Kemudian dikecualikan, tetapi pengecualian ini lebih pahit dan lebih pedih,
“… selain air yang mendidih dan nanah. ” (An Naba’: 25)
Kecuali air yang panas mendidih, yang memanggang kerongkongan dan
perut. Nah, inilah kesejukan itu. Juga kecuali nanah yang meleleh dan
mengalir dari tubuh orang-orang yang dibakar itu. Maka, inilah
minumannya!
‘:..sebagai pembalasan yang setimpal. ” (An Naba’: 26)
Setimpal dengan tindakan dan kelakuan mereka pada masa lalu sewaktu di dunia dulu.
“Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab. ” (An Naba’: 27)
Mereka tidak takut pada tempat kembalinya nanti.
“.. dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya….” (An Naba’: 28)
Tekanan keras pada lafal ini mengisyaratkan sangat kerasnya
pendustaan dan kebandelan mereka. Allah menghitung atas mereka setiap
sesuatunya dengan hitungan yang amat cermat dan tidak satu pun yang
terluput,
“Segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. ” (An Naba’: 29)
Di sini datanglah ledekan yang memutuskannya dari segala harapan untuk mendapat perubahan atau keringanan,
“Karena itu, rasakanlah. Kami sekali-kali tidak akan menambah kepadamu selain dari azab!” (An Naba’: 30)
Keadaan Orang-rang yang Bertaqwa
Sesudah dibentangkan pemandangan orang-orang yang melampaui batas di
dalam air yang mendidih, dibeberkan lah pemandangan sebaliknya. Yakni,
pemandangan orang-orang bertaqwa yang ada di dalam surga,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan,
(yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, gadis-gadis remaja yang sebaya, dan
gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak
mendengarkan perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta.
Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak. ” (An Naba’: 31-36)
Apabila Jahannam itu menjadi pengintai dan tempat kembali bagi
orang-orang yang melampaui batas, yang mereka tidak dapat lepas dan
melintas darinya, maka orang-orang yang bertaqwa akan berkesudahan di
tempat keberuntungan dan keselamatan yang berupa “kebun-kebun dan buah anggur”. Disebutkan
nya buah anggur secara khusus dan tertentu di sini adalah karena anggur
itulah yang populer di kalangan orang-orang yang mendengar firman ini.
Juga gadis-gadis remaja yang sebaya “umur dan kecantikannya. ‘Dan, gelas gelas yang penuh” berisi minuman.
Ini adalah kenikmatan-kenikmatan yang lahirnya bersifat inderawi,
untuk mendekatkannya kepada apa yang dibayangkan manusia. Adapun hakikat
rasa dan kenikmatannya belum pernah dirasakan oleh penduduk dunia
karena mereka terikat dengan batas-batas dan gambaran-gambaran duniawi.
Di samping kenikmatan lahiriah yang demikian, mereka juga mengalami
keadaan yang dirasakan oleh hati dan perasaan,
‘Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta. ” (An Naba’: 35)
Kehidupan surgawi adalah kehidupan yang terpelihara dari kesia-siaan
dan kebohongan yang biasanya diiringi dengan bantahan dan sanggahan.
Maka, hakikat (keadaan yang sebenarnya) di sini diungkapkan, tidak ada
peluang untuk membantah dan mendustakan, sebagaimana tidak ada peluang
untuk berkata sia-sia yang tidak ada kebaikan padanya. Inilah suatu
keadaan dari keluhuran dan kesenangan yang cocok dengan negeri akhirat
yang kekal.
“Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak.”(An Naba’: 36)
Di sini kita menjumpai fenomena keindahan dalam ungkapannya dan
kesamaan bunyi pada kata dan sebagaimana kita rasakan juga iramanya
pada akhir setiap kalimatnya dengan bunyi yang hampir sama. Ini
merupakan fenomena yang jelas di dalam juz ini seluruhnya secara global.
Malaikat pun Merasa Takut
Untuk melengkapi pemandangan-pemandangan hari yang padanya sempurna
segala urusan itu, dan yang dipertanyakan oleh orang-orang yang
mempertanyakan, serta diperselisihkan oleh orang-orang yang
memperselisihkan, maka datanglah pemandangan terakhir dalam surat ini.
Yakni, ketika malaikat Jibril dan malaikat-malaikat lainnya berdiri
berbaris dengan khusyu di hadapan Allah yang Rahman, tanpa berkata
sepatah kata pun kecuali yang diizinkan oleh yang Rahman di tempat yang
menakutkan dan agung itu,
‘Tuhan yang Memelihara langit dan bumi serta apa yang ada di
antara keduanya, yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan
Dia. Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf,
mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin
kepadanya oleh Tuhan yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang
benar.” (An Naba’: 37-38)
Pembalasan yang dijelaskan pada segmen di atas adalah pembalasan bagi
orang-orang yang melampaui batas dan orang-orang yang bertaqwa.
Pembalasan ini adalah “dari Tuhanmu, Tuhan yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, yang Maha Pemurah”.
Kalimat ini serasi benar dengan sentuhan dan hakikat yang besar ini. Hakikat rububiyah ‘pemeliharaan
Tuhan’ yang Esa, meliputi seluruh manusia sebagaimana ia meliputi
langit dan bumi serta dunia dan akhirat, dan memberikan balasan kepada
perbuatan melampaui batas dan perbuatan takwa, serta berujung
padanyalah urusan akhirat dan dunia Kemudian, Dia adalah ‘Maha Pemurah, Pemilik dan Pemberi rahmat”.
Karena rahmat-Nya inilah, maka diberikan balasan kepada mereka ini
dan mereka itu. Sehingga, pemberian hukuman kepada orang-orang yang
melampaui batas itu bersumber dari rahmat Tuhan yang Rahman ini. Karena
rahmat ini pula, maka keburukan mendapatkan balasan yang tidak sama
dengan balasan bagi kebaikan di tempat kembali nanti.
Di samping rahmat dan keagungan ini, “mereka tidak dapat berbicara dengan Dia” pada hari yang menakutkan ketika malaikat Jibril as dan malaikat-malaikat lain berdiri “bershaf–shaf tanpa berbicara sepatah kata pun’ kecuali dengan adanya izin dari yang Maha Pemurah untuk mengucapkan perkataan yang benar. Maka, tidak ada yang diizinkan oleh Ar-Rahman kecuali yang sudah diketahui bahwa ia benar.
Hari yang Pasti Terjadi
Sikap orang-orang yang didekatkan kepada Allah, yang bersih dari
dosa-dosa dan kemaksiatan ini adalah diam tanpa berkata-kata sedikit
pun kecuali dengan adanya izin dari Allah dan dengan perhitungan.
Suasananya dipenuhi dengan ketakutan, kesedihan, keagungan, dan
ketundukan. Di bawah bayang-bayang pemandangan ini terdengarlah seruan
yang berisi peringatan dan mengguncang orang-orang yang tertidur dan
mabuk kepalang ,
“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka, barangsiapa yang menghendaki,
niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. Sesungguhnya Kami
telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) dengan siksa yang dekat,
pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua
tangannya, dan orang kafir berkata, Alangkah baiknya sekiranya aku
dahulu adalah tanah. ” (An Naba’: 39-40)
Inilah guncangan keras terhadap mereka yang hatinya dipenuhi keraguan
dan selalu mempertanyakan “hari yang Pasti terjadi” itu. Maka, tidak
ada peluang untuk mempertanyakan dan memperselisihkannya. Selagi masih
ada kesempatan, “maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia
menempuh jalan kembali kepada, Tuhannya “sebelum neraka Jahannam
mengintai nya dan menjadi tempat kembalinya.
Inilah peringatan untuk menyadarkan orang-orang yang mabuk kepalang, “Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kamu siksa yang dekat”. Maka, Jahannam itu senantiasa menantikan dan mengintaimu seperti yang kamu ketahui. Dunia ini secara keseluruhan adalah perjalanan yang pendek dan usia yang singkat!
Inilah azab yang mengerikan dan menakutkan, sehingga orang kafir lebih memilih hilang eksistensinya daripada masih berwujud,
‘Pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua
tangannya, dan orang kafir berkata, Alangkah baiknya sekiranya aku
dahulu hanyalah tanah. ” (An Naba’: 40)
Tidaklah orang berkata seperti ini kecuali dia berada dalam
kesempitan dan kesedihan yang sangat. Ini adalah kalimat yang memberikan
bayang-bayang ketakutan dan penyesalan. Sehingga, ia berangan-angan
untuk tidak pernah menjadi manusia, dan menjadi unsur yang diabaikan dan
disia-siakan (tak diperhitungkan). la melihat bahwa yang demi kian itu
lebih ringan daripada menghadapi keadaan yang menakutkan dan mengerikan.
Ini suatu sikap yang bertolak belakang dengan keadaan ketika mereka
mempertanyakan dan meragukan berita besar tersebut!!! Allahu a’lam